Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Mengintip Eksotisme Desa Adat Penglipuran

Oleh hayaaliyazaki 10 Nov 2015

“Mba, ini Bali bagian mana? Cakep banget!”

“Huaaa … Desa Penglipuran? Lucky you, Mba! Belum tentu kalau tur ke Bali diagendakan ke sini.”

“Wah, ini kan tempat syuting favorit di sinetron FTV! *banci FTV*”

Itu sebagian komentar teman-teman saat saya posting foto selfie dengan background Desa Penglipuran, Bali, tanggal 30 Oktober 2015 lalu. Jujur, sebelum ke sini, saya sama sekali no clue seperti apa Desa Penglipuran. Itinerary sudah diterima dari panitia tim Jelajah Gizi Bali, tapi saya sengaja tidak mencari tahu. Wes biar jadi surprais aja.

Dan … ternyata memang surprais! Berada di Desa Penglipuran seperti berada di taman kayangan milik para dewata. Indahnyaaa! Nuansa Bali kental terasa. Bukan lebay, tapi ketika sedang menempuh jalanan menuju ujung desa yang menapak naik, saya merasa seolah-olah sedang menempuh perjalanan menuju langit. Bangga menyeruak dari dalam dada. Masya Allah, beneran tempat indah ini ada di negara saya? Negara Indonesia! Angkul-angkul (rumah adat Bali) di Desa Penglipuran sangat khas. Bagian atapnya terbuat dari bambu. Konon katanya waktu zaman dulu mereka berlindung dari musuh di atap bambu. Itulah sebabnya hutan bambu di Desa Penglipuran tidak boleh ditebang. Lingkungan desanya asri dan bersih! Tidak ada sampah sedikit pun. Saya menghirup udara sejuk sepanjang perjalanan. Ya, desa ini terletak di daerah pegunungan dengan ketinggian 700 m dpl. Sesekali udara sejuknya bercampur aroma harum dupa dari pura-pura di depan rumah.

“Penglipuran” berasal dari kata “Pengeling Pura” artinya: tempat suci untuk mengenang para leluhur. Penduduk yang tinggal di Desa Penglipuran termasuk suku Bali Aga. Kata bapak gaet, suku Bali Aga adalah penduduk asli Bali. Mereka tinggal di sini sebelum orang-orang dari Majapahit hijrah. Tidak ada sistem kasta seperti ajaran agama Hindu dari India. Desa Penglipuran yang luasnya sekitar 112 Ha ini terdiri atas pemukiman penduduk, hutan bambu, sekolah, pura, dan lain-lain. Letaknya 60 km dari Kuta, tepatnya di Jalan Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli. Teman-teman hanya perlu mengeluarkan uang sekian ribu rupiah per orang sebagai tiket masuk. Murah banget. Harga tiket masuk tidak sebanding blas dengan pemandangan dan sensasi “mewah” yang didapat di dalam Desa Penglipuran.

Kira-kira 250 kepala keluarga dengan total 700 penduduk tinggal di Desa Penglipuran. Unik, laki-laki di sini cuma boleh punya satu istri. Bagi yang ingin poligami, disediakan tempat bernama Karang Memadu. Karang Memadu terletak di luar desa. Dengan kata lain, laki-laki yang berpoligami harus keluar dari desa hehehe. Sampai sekarang, Karang Memadu masih kosong. Ini berarti belum ada satu pun laki-laki Desa Penglipuran yang poligami, yaaa.

Saya dan teman-teman tim Jelajah Gizi Bali disuguhi minuman dingin bernama loloh cemcem. Segar! Rasanya mirip jus kedondong, jus favorit saya. Loloh cemcem adalah “jamu” khas Bangli. Biasanya jamu pahit, kan? Nah, loloh cemcem ini malah enak! Menurut Prof. Eman, minuman berwarna hijau ini dibikin dari daun cemcem dan ditambahkan irisan buah kelapa. Khasiatnya untuk menurunkan tensi dan memperlancar kerja saluran pencernaan. Harga? Cuma tiga ribu perak sebotol. Maksud hati, sih, pengin beli banyak buat dibawa ke Jakarta. Apa daya, loloh cemcem hanya awet satu hari. Itu pun kudu langsung disimpan di kulkas. Perjalanan kami masih panjang. Belum bisa check in hotel.

Sebenarnya ada satu lagi suku Bali Aga. Mereka tinggal di Desa Tenganan di Bali bagian timur. Di Desa Tenganan, laki-laki hanya boleh menikah dengan perempuan yang berasal dari Desa Tenganan juga. Sementara, di Desa Penglipuran, laki-laki boleh menikah dengan perempuan dari lain desa. Sayangnya, kini rumah-rumah di Desa Tenganan berubah menjadi aneka toko yang menjual macam-macam barang kerajinan. Bentuk rumah aslinya sudah hilang! Itulah sebabnya pemerintah setempat berusaha menjaga kelestarian Desa Penglipuran. Penduduk boleh berdagang, tapi dengan syarat, rumah mereka tidak boleh diubah bentuk aslinya. Jangan sampai eksotisme desa hilang dimakan zaman.

Di Bali Pulina, saya jalan-jalan sambil haha hihi. Mungkin karena efek ceria ngopi-ngopi sore, ya. Di Desa Penglipuran berbeda. Saya jalan-jalan sambil refleksi diri. Di sini saya ingat kalimat bijak seorang teman. Katanya, “Semakin banyak berjalan dan melihat, kamu bisa semakin banyak bersyukur.” Saya sempat bertasbih dalam hati sambil memandang ujung Desa Penglipuran nun di sana. Alam yang luar biasa indah ini merupakan bukti kasih sayang Allah Swt kepada manusia. Semoga saya tidak termasuk golongan manusia yang dengan sengaja merusak bumi ciptaan-Nya. Aamiin. So, Teman-teman ada yang pengin jalan-jalan dan menginap di Desa Penglipuran? Di sini disewakan beberapa home stay, lho. Monggo. Dan, ada apa lagi di acara Jelajah Gizi Bali berikutnya? Tunggu cerita saya! ^^ [] Haya Aliya Zaki

Desa Penglipuran

Jalan Penglipuran, Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Bali