Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Mengurai Kisah dalam Semangkuk Papeda

Oleh Ignasia 18 Oct 2015

Papeda nan menggoda Papeda nan menggoda

Menyantap papeda serasa menghadirkan kembali beribu kenangan akan Papua. Walaupun hanya empat bulan merasakan hidup sebagai masyarakat Jayapura, memori akan provinsi di ujung timur Indonesia itu tak pernah pudar. Tak lama setelah kembali ke Jakarta, lidah ini ingin sekali merasakan lagi kelembutan papeda, kehangatan ikan kakap kuah asam, dan gurihnya kangkung tumis bunga pepaya. Ternyata di Jakarta ada beberapa rumah makan dengan menu khas Papua, salah satunya Yougwa Restaurant yang berlokasi di Jl. Boulevard Raya Blok WA 2 No. 31, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Papeda, sekilas terlihat menyerupai lem

Tanpa perlu jauh-jauh ke bumi cenderawasih, papeda bisa dinikmati di ibukota. Rasa papeda ini tak beda jauh dengan papeda di Jayapura. Sekilas bentuk papeda menyerupai lem, lengket, dan berwarna putih. Memindahkan papeda dari mangkuk ke piring terlihat cukup unik. Papeda itu digulung seperti memintal dengan (semacam) sumpit. Rasa tawar papeda harus dilengkapi dengan kuah asam dan meletakkan beberapa potong ikan kakap. Hati-hati, jangan sampai tertelan duri ikan kakap ini. Tak lupa tambahkan beberapa sendok kangkung tumis bunga pepaya dan sambal. Bayangkan, ada beragam sensasi yang akan dirasakan. Kenyalnya papeda, asamnya kuah, lembutnya ikan, pahit dan gurihnya kangkung bunga pepaya, serta pedasnya sambal.

Pelengkap papeda, ikan kakap kuah asam

Mulut ini serasa ingin terus mengunyah tanpa menyadari peluh perlahan turun membasahi wajah. Maka selalu sertakan minuman dingin untuk mengurangi rasa pedas. Papeda, ikan kuah asam, dan kangkung bunga pepaya ini sungguh perpaduan yang aduhai. Mengapa demikian? Selain kelezatannya yang tak diragukan lagi, nilai gizi yang dikandungnya sangat menunjang tubuh dalam beraktivitas seharian. Apalagi papeda kaya serat dan rendah kolesterol. Oleh karena itu papeda menjadi makanan pokok orang Maluku dan Papua. Tak pernah terlewatkan.

Pelengkap lainnya, tumis kangkung bunga pepaya

Dalam 100 gram sagu, bahan baku papeda terkandung energi sebesar 209 kkal, protein 0,3 gram, karbohidrat 51,6 gram, lemak 0,2 gram, kalsium 27 miligram, fosfor 13 miligram, dan zat besi 0,6 miligram. Selain itu sagu mengandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,01 miligram, dan vitamin C 0 miligram. Sagu bermanfaat sebagai sumber utama karbohidrat, mengatasi pengerasan pada pembuluh darah, serta mengatasi sakit pada ulu hati dan perut kembung. Selain itu kandungan indeks glikemik yang rendah pada sagu membuatnya aman untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus.

Tingginya kadar serat dalam sagu berperan sebagai prebiotik, menjaga mikroflora usus, meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi risiko terjadinya kanker usus, mengurangi risiko terjadinya kanker paru-paru, mengurangi risiko kegemukan atau obesitas, serta memperlancar buang air besar. Mengonsumsi papeda secara rutin dipercaya mampu menghilangkan penyakit batu ginjal karena perannya sebagai pembersih organ-organ di dalam tubuh. Mereka yang sering merokok dianjurkan mengonsumsi papeda karena dapat membersihkan paru-paru secara perlahan.

Identitas Masyarakat Papua

Ada romantisme kisah yang mengiringi setiap suapan papeda. Sagu diperoleh dengan proses yang tak mudah. Dahulu masyarat menggunakan alat tokok sagu yang memakan waktu berhari-hari untuk memarut satu batang sagu yang berusia di atas 15 tahun. Kini masyarakat terbantu dengan alat pemarut kelapa yang dimodifikasi menjadi alat parut sagu. Proses pemarutan batang sagu seukuran betis orang dewasa menjadi lebih mudah dan hemat waktu dengan hasil yang lebih banyak.

Pohon sagu yang ditebang dan dibiarkan membusuk juga menghasilkan larva atau ulat sagu yang nikmat dan kaya protein. Kandungan protein pada ulat sagu mampu meningkatkan kecerdasan dan keaktifan pada masa pertumbuhan anak-anak dan remaja. Kebiasaan masyarakat yang memakannya dalam kondisi mentah selama tidak menghasilkan suatu reaksi bukan merupakan persoalan. Namun mereka yang tidak terbiasa mengonsumsi mentah, sebaiknya mengolah ulat sagu tersebut. Setidaknya ulat sagu cukup aman dari zat-zat yang mampu memicu tingkat alergi seseorang yang mengalami ketidakstabilan imunitas atau kekebalan tubuh.

Lukisan kulit kayu, Asei, Sentani, Papua

Memarut atau pangkur sagu dilakukan oleh kaum pria. Tak hanya itu, mereka juga bertugas menebang dan menguliti sagu. Selanjutnya kaum wanita memisahkan serabut kasar dengan serpihan halus (disebut mele atau ramas sagu). Proses penebangan hingga menjadi pati sagu dilakukan oleh minimal empat orang.

Sagu bisa ditebang di atas usia 10 tahun dan di bawah usia 15 tahun. Pada usia itu sagu menghasilkan pati yang baik dan banyak. Satu batang sagu dengan usia di atas 15 tahun akan menghasilkan delapan hingga sembilan karung dengan berat masing-masing mencapai 50 kg. Dijual dengan harga Rp 250 ribu-Rp 300 ribu per karung.

Sayangnya jumlah pohon sagu di Sentani, Papua mulai berkurang karena masyarakat menjual lahan untuk didirikan ruko. Hutan sagu yang rusak akan mengurangi jumlah ikan di Danau Sentani. Padahal dahulu hutan sagu masih terpelihara dan menjadi tempat masyarakat Papua bergantung hidup. Hutan adalah sumber hidup dan kehidupan. Sagu tidak hanya sebagai identitas masyarakat Papua, juga secara finansial berperan aktif dalam perekonomian masyarakat.

Potensi

Luas hutan sagu di Indonesia sekitar 1,25 juta ha dengan budidaya sagu kurang lebih 148 ribu ha. Papua merupakan pusat sebaran sagu alami terbesar di dunia dengan perkiraan areal kurang lebih 1,2 juta ha atau 53 persen dari sagu dunia (2,25 juta ha) dan 96 persen dari luas sebaran alami sagu Indonesia.

Sagu di Indonesia sampai saat ini belum dimanfaatkan secara maksimal, baik secara alami maupun budidaya. Padahal masyarakat di Maluku dan Papua secara turun temurun mengonsumsi sagu. Sagu ternyata berpotensi diolah menjadi energi untuk mengatasi krisis pangan dan energi nasional sebagai sumber bahan baku bioetanol. Oleh sebab itu, pohon sagu harus dibudidayakan karena memiliki nilai tinggi dan dapat membuat Papua lebih sejahtera.

Kerajinan tangan khas Papua menghiasi dinding Yougwa Restaurant

Sagu dapat dibiarkan tumbuh apa adanya. Tanaman yang masuk dalam jenis palem ini tidak repot dalam perawatannya. Di tahun-tahun pertama cukup secara aktif dijaga dengan cara membersihkan sagu dari rumput-rumput sekitar. Sagu tidak perlu ditambahkan pupuk. Ketika usianya di atas lima tahun, sagu dapat dikatakan tangguh dan mampu tubuh besar dengan sendirinya.

Masyarakat lokal yang masih mempunyai hutan sagu seharusnya tidak perlu khawatir akan ketersediaan makanan. Pasalnya hutan sagu menghasilkan sayuran seperti pakis dan jamur serta hewan seperti tikus tanah. Ikan dan udang juga memanfaatkan akar sagu pada tepian danau dan sungai. Pohon sagu sangat multifungsi. Daun sagu dapat dianyam menjadi atap rumah, dinding batang sagu bagian luar dibentuk menjadi alas berpijak rumah bertiang, akar sagu dibentuk menjadi alat penggembur tanah atau sekop kecil. Selain itu pelepah sagu dimanfaatkan sebagai media untuk meramas sagu atau rumah ikan di dalam danau, sungai, atau rawa. Sementara serat sagu yang ditinggalkan akan ditumbuhi berbagai jamur yang bergizi tinggi dan mengandung antibiotik yang baik untuk ibu pasca melahirkan.

Noken khas Papua, serasa berada di bumi Cenderawasih

Pohon sagu tidak hanya memberi keuntungan kepada masyarakat peramu sagu, juga dunia. Pertama, pohon sagu merupakan penghasil oksigen terbesar dibandingkan tumbuhan lainnya. Hal tersebut menjadi penting mengingat lapisan ozon semakin menipis dan suhu bumi semakin panas. Kedua, nilai ekonomi yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa sagu mampu menghidupi dunia. Jika pohon sagu ditanam seluas 200 ha mampu menghidupi seluruh Asia.

Baru-baru ini di bulan Juni,Chef Bara Pattiradjawane mendemokan cara pembuatan papeda dalam Ubud Food Festival yang dihadiri juga oleh turis mancanegara. Sementara tahun 2013 lalu papeda diikutsertakan dalam Festival Makanan Indonesia di Vanimo, Papua New Guinea. Sosialisasi papeda yang semakin gencar baik di dalam maupun di luar negeri diharapkan mampu membukakan mata banyak orang bahwa makanan dari Indonesia Timur tak kalah dengan makanan dari wilayah Indonesia lainnya.

Ada antusiasme dan rindu yang membuncah saat menulis tentang papeda. Mungkin karena lengketnya papeda yang kumakan, membuat ingatanku lekat akan Papua. Silakan mencicipi papeda dan biarkan sensasinya mengalir dalam diri Anda!

*Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Jelajah Gizi

Para petualang siap mengulik kuliner Indonesia