News & Activity

Pakar: Susu Isolat Protein Kedelai, Alternatif Aman dan Bernutrisi bagi Tumbuh Kembang Optimal Anak

Latest Update: 07 Aug 2015

resizeOlivier Pierredon, Presiden Direktur Sarihusada (kiri), dr Zakiudin Munasir spA(k) (tengah), Prof Yvan Vandenplas (kanan)

Olivier Pierredon, Presiden Direktur Sarihusada (kiri), dr Zakiudin Munasir SpA(K) (tengah), Prof Yvan Vandenplas (kanan) usai berdiskusi dalam acara Nutritalk.

 Prof. Yvan Vandenplas, pakar gastroenterologi (pakar di bidang saluran pencernaan makanan) dan nutrisi anak dari Vrije Universiteit BrusselBelgia, menyatakan bahwa alergi protein susu sapi pada anak terbukti dapat mengganggu optimalisasi tumbuh kembang dan memberi dampak jangka panjang terhadap tingkat kesehatan pada usia dewasa. 

“Dibutuhkan penanganan alergi yang tepat untuk menekan dampak jangka panjang tersebut.  Pemberian susu isolat protein kedelai dapat dijadikan alternatif yang aman, tidak saja karena efektif, dan terbukti dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan untuk optimalisasi tumbuh kembang, tapi juga karena terjangkau, mudah diperoleh, dan rasanya enak,” demikian dikatakan oleh Prof. Vandenplas dalam diskusi Nutritalk yang diselenggarakan oleh Sarihusada.  

Nutritalk kali ini mengambil tema ‘Nutrisi Awal Kehidupan untuk Atasi Dampak Jangka Panjang Alergi pada Anak’ untuk mengetahui  trend global alergi anak, dampaknya pada kehidupan selanjutnya, gejala, cara mendiagnosa, pencegahan, dan penanganan alergi protein susu sapi yang tepat yang dapat mengatasi dampak jangka panjang alergi.

Selain Prof. Vandenplas, diskusi menghadirkan pembicara ahli DR. Dr. Zakiudin Munasir, SpA(K), Konsultan Ahli Alergi – Imunologi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Prof. Yvan Vandenplas memaparkan, “Kini prevalensi anak di dunia yang menderita alergi semakin meningkat karena berbagai penyebab, yang berdasarkan banyak penelitian telah dibuktikan mengakibatkan  gangguan pertumbuhan dan berbagai penyakit pada kehidupan selanjutnya.”  

Sebuah penelitian cross-sectional di Amerika Serikat oleh Robbins KA(2014) yang dilakukan terhadap 6.189 anak berusia 2-17 tahun, memperlihatkan secara signifikan bahwa anak-anak yang memiliki alergi makanan dengan sejarah alergi susu sapi memiliki rata-rata tinggi badan, berat badan, dan Indeks Massa Tubuh lebih rendah dibandingkan anak dengan alergi makanan tanpa sejarah alergi susu sapi.

Penelitian oleh S. Tikkanen (2000) mengenai ‘Status dari anak-anak usia dibawah10 tahun dengan riwayat alergi protein susu sapi di awal kehidupan’ dan RA Wood (2003)  mengenai ‘Perjalanan sejarah alami alergi makanan’ menyimpulkan bahwa asma, alergi rinitis, dan eksim lebih sering terjadi pada anak-anak dengan alergi protein susu dibandingkan pada populasi umum. 

Dari penelitian yang yang dilakukan oleh Santos (2010) terungkap bahwa prevalensi anak-anak yang tetap menderita alergi makanan semakin tinggi di level usia yang hampir sama jika dibandingkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Host (1990). Pada 1990, 44% anak tetap menderita alergi makanan pada usia 1 tahun,  23% pada usia 2 tahun, dan 13% pada usia 3 tahun.  Sedangkan pada 2010, 91% anak tetap menderita alergi makanan pada usia 1 tahun, 66% pada usia 2 tahun, 45% pada usia 5 tahun, dan 32% tetap menderita pada usia 10 tahun.

Vandenplas mengatakan, susu sapi merupakan salah satu makanan yang merupakan sumber protein untuk dapat mendukung optimalisasi tumbuh kembang anak. Namun demikian, ada anak-anak yang memberikan reaksi abnormal terhadap protein susu sapi karena interaksi antara satu atau lebih protein susu dan satu atau lebih mekanisme kekebalan tubuh. Inilah yang disebut alergi protein susu sapi yang sayangnya tidak memiliki gejala-gejala yang spesifik.  

“Karena tidak adanya gejala yang spesifik, kurangnya pengetahuan, dan jarangnya dilakukan tes alergi, kesulitan deteksi kasus alergi protein susu sapi merupakan hal yang sering terjadi di negara-negara di seluruh dunia,” jelas Prof. Vandenplas. 

Vandenplas menambahkan, meningkatkan pengenalan dan pengetahuan terhadap gejala alergi susu sapi serta penanganan alergi secara tepat menjadi hal yang penting untuk menekan dampak jangka panjang alergi.

“Penanganan yang tepat tersebut adalah pemberian nutrisi dengan indikasi yang tepat yang dapat menekan sensitisasi (tingkat alergi), aman, dan dapat memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan,” ujar Prof. Vandenplas.

Penelitian oleh Y. Katz (2014) menunjukkan prevalensi alergi susu dengan bahan kacang kedelai sangat kecil di antara populasi umum (0,27%), populasi khusus (1,9%), dan anak-anak penderita alergi (2,7%).  Prevalensi sensitisasi setelah pemberian susu dengan bahan kacang kedelai juga hanya mencapai 8,7 – 8,8%. 

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Vandenplas (2014) menunjukkan bahwa meskipun terdapat kandungan tinggi asam fitat dan alumunium pada susu dengan isolat protein kedelai (Isolated soy protein-based formula atau SIF), konsentrasi Hb, protein serum, zinc, dan kalsium, serta kandungan mineral tulang pada anak-anak pengkonsumsi susu dengan isolat protein kedelai tidak berbeda secara signifikan dengan anak-anak yang tidak mengkonsumsinya.  Demikian juga halnya pada tingkat imunisasi dan parameter sistem saraf.  Tingkat estrogen pada anak yang mengkonsumsi susu dengan isolat protein kedelai ditemukan lebih tinggi, namun penelitian tidak menemukan bukti kuat adanya dampak negatif terhadap fungsi dan hormon organ seksual. 

“Penelitian kami ini menyimpulkan susu dengan isolat protein kedelai sebagai salah satu alternatif yang aman bagi anak-anak dengan alergi protein susu sapi.  Pola pertumbuhan, kesehatan tulang dan fungsi metabolisme, fungsi reproduksi, endokrin, imunitas, dan sistem saraf dari anak-anak pengkonsumsi susu dengan isolat protein kedelai tidak berbeda secara signifikan dengan anak-anak yang tidak mengkonsumsi susu dengan isolat protein kedelai. Susu dengan isolat protein kedelai juga menjadi opsi yang terjangkau bagi penanganan alergi protein susu sapi” papar Prof. Vandenplas.

Sementara itu, DR. Dr. Zakiudin Munasir sp(A)K menjelaskan bahwa di Indonesia, satu dari 25 anak di Indonesia menderita alergi protein susu sapi, dengan gejala paling umum pada pernafasan (51,5%) dan kulit (48,7%).  Sisanya gejala pada pencernaan (39,3%) dan gejala-gejala lain seperti pada mata dan susunan saraf pusat atau sakit kepala.

“Pengobatan dan pencegahan alergi makanan pada anak dapat dilakukan dengan mengeliminasi makanan alergen  dan menggantinya dengan makanan dengan nilai gizi yang sama  sehingga tidak terjadimalnutrisi.  Susu dengan isolat protein kedelai dapat djadikan pilihan yang aman dalam penanganan anak dengan alergi protein susu sapi, karena dapat ditoleransi dengan baik.  Selain itu, di Indonesia susu kedelai merupakan asupan yang disukai karena rasanya yang enak,” tambah Dr. dr. Zaki.

Dalam kesempatan yang sama Olivier Pierredon, Presiden Direktur Sarihusada, mengatakan, “Sarihusada memiliki komitmen untuk mendukung upaya-upaya pemenuhan gizi bagi anak termasuk mereka yang mengalami kondisi khusus seperti alergi protein susu sapi.” Upaya kami menghadirkan pakar internasional adalah dalam rangka menambah pengetahuan dalam penanganan alergi pada anak-anak Indonesia bukan saja melalui penelitian dan pengembangan produk yang sesuai, tapi juga melalui edukasi yang meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai alergi pada anak.  Hari ini kami memperkenalkan situs www.kenalialergi.com yang dapat menjadi alat bagi masyarakat mengenai cara mengenal gejala alergi, tips pencegahan dan penanganannya."

 

 

Back to Archive