Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Eksotisme Gunung Kidul 1: Sego Abang dan Belalang Goreng

Oleh Evi Indrawanto 06 Nov 2012

Peserta

Makanan memegang peran utama dalam keberlangsungan spesies kita. Kemudian disusul oleh sandang dan papan. Jadi tak aneh bila makanan terhubung  erat dengan sejarah, perkembangan, dan masa depan umat manusia. Maju mundurnya sebuah bangsa tergantung pada makanan yang dikonsumsi masyarakatnya, terutama mutu nutrisi yang terkandung dalam makanan tersebut.

Begitu pentingnya masalah gizi untuk dipahami. Maka Sarihusada, produsen makanan bayi dan ibu hamil,  melalui program CSR Nutrisi Untuk Bangsa, melakukan berbagai program untuk membangkitkan kesadaran “makan” bangsa  melalui Ayo Melek Gizi. Salah satu program tersebut adalah Jelajah Gizi ke Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Diadakan 2- 4 November kemarin dengan mengikutkan beberapa jurnalis dan 10 orang blogger yang terseleksi dari 212 tulisan Lomba Blog Jelajah Gizi. Saya salah satu dari 10 orang blogger yang beruntung itu.

Hari Pertama

Begitu mendarat di Adisucipto, dengan sebuah bus besar, seluruh peserta Jelazah Gizi langsung diangkut menuju Gidungkidul. Kabupaten yang  tanahnya berformasi batu gamping dan dikelilingi pantai ini sering kesulitan air. Karena tak memungkinkan  mengembangkan pertanian, Gunungkidul sering di branding dengan kemiskinan.Tampaknya ini lah yang dicoba ditepis oleh Sarihusada. Dengan beragam kearifan budaya dan keberagaman pangan lokal, Gunungkidul tidak pantas disebut miskin.

Tak percaya? Mari simak tulisan yang akan saya bagi jadi 4 bagian. Ini adalah tulisan pertama.

Nasi Merah Gogo dan Belalang Goreng

Makanan adalah identitas etnis. Spesial untuk Gunungkidul makanan adalah identitas daerah. Kalau ingin tahu seperti apa makanan khas Gunungkidul,  coba mampir di Warung Makan Lesehan Pari Gogo, Semanu, Wonosari, dekat jembatan Jirak. Sebagai tempat persinggahan pertama sekaligus makan siang, peserta Jelajah Gizi dijamu oleh berbagai hidangan khas daerah itu. Penampakan mereka yang menggugah mata dan citara rasa itu membuat saya seperti pulang ke rumah nenek. Ada nasi merah atau sego abang, belalang goreng, ayam goreng bacem, sayur lombok ijo, ikan wader goreng, dan urap trancam.

Sego abang atau nasi merah yang kami santap berasal dari jenis  padi gogo atau padi yang ditanam di lahan kering atau dataran tinggi. Biasa juga disebut padi huma. Prof Dr  Ahmad Sulaeman  ahli pangan dari IPB  yang ikut dalam rombongan mengatakan bahwa beras merah dari padi gogo ini tidak disosoh seperti halnya beras putih. Dengan kulit ari masih utuh kandungan nutrisi  2 kali lebih besar dari beras putih. Ada juga kandungan asam lemak esensial dan zat besi yang sangat bagus bagi pertumbuhan otak anak-anak. Disamping thiamin (B1) yang sangat berguna bagi metabolisme energi dan mengurangi depresi.

Namun masyarakat Gunungkidul seperti halnya masyarakat  di belahan bumi lain bergerak kearah modernisasi. Keterhubungan dengan dunia luar menciptakan assimilasi hebat termasuk dalam pemilihan bahan makanan. Alih-alih menggembangkan padi ladang atau umbian-umbian yang lebih cocok tumbuh di daerah itu, sebuah kebijkasanaan pertanian di masa lalu menyebabkan mereka meninggalkan kearifan yang diwarisi dari nenek moyang. Ketimbang makan padi ladang atau singkong yang tumbuh dengan baik di daerah itu mereka beralih mengkonsumsi beras putih yang ditanam di sawah. Peralihan pola makan ini menciptakan konflik tersendiri dalam masyarakat. Disamping pangan berbasis beras putih yang banyak menimbulkan penyakit diabetes, produksinya terkadang mengorbankan lingkungan melalui penyemprotan pestisida.

Belalang Goreng Itu ...

Kecenderungan etnis dan ikatan yang melekat pada tradisinya membuat kita cenderung memilih suatu makanan tertentu. Nenek moyang saya tidak makan belalang. Jadi kejutan banget saat menemukan belalang goreng terhidang sebagai asupan protein dalam warung makan Pari Gogo. Awalnya bergidik. Terutama saat melihat gerigi yang masih utuh pada kaki-kakinya. Dan tentu juga matanya. Ingat belalang sembah yang sering saya mainkan di masa kecil. Woah..jadi..belalang itu kini perlu disantap?

Saya minta penjelasan pada Prof Ahmad, apakah ini belalang sembah. Syukurlah bukan. Ini adalah belalang kayu atau Walang Kayu dalam bahasa Gunungkidul, serangga herbivora yang aslinya berwarna kuning kehijauan. Masyarakat Gunungkidul cukup bijak memilih serangga ini sebagai sumber gizi  karena belalang dewasa mengandung  protein tinggi, disamping lemak, kalsium dan zat besi.

Teman-teman mengatakan mengatakan belalang kayu goreng itu ini rasa udang. Kalau cangkangnya mungkin mirip. Tapi menurut saya rasa yang paling dominan yah perpaduan dari rasa kayu, jerami dan daun kering goreng. Kriuk-kriuknya  mengaduk-aduk seluruh memori rasa dalam benak yang membuat saya hanya bertahan pada dua ekor saja.

Sedihnya belalang pun sudah mulai ditinggalkan masyarakat Gunungkidul secara umum. Saya mencurigai ada keterkaitan pada aspek sosial bahwa makanan juga digunakan sebagai simbol status. Seperti yang terjadi pada lobster, faktor finasial melambungkan kastanya sebagai makanan mahal yang hanya bisa diakses oleh golongan mampu. Sementara yang terjadi pada belalang sebaliknya, makanan kelas bawah yang identik dengan kemiskinan.

Dari Pari Gogo perjalanan dilanjutkan ke Sambirejo, tempat tinggal dan praktektek Bidan Listiyani Ritawati, srikandi yang bangkit dari segala kekurangan Gunungkidul. Tapi akan saya tulis di seri ke-2

Bagaimana dengan dirimu temans, kira-kira bisa makan belalang?

Salam,

—Evi Indrawant0

7 Komentar

Yuniari Nukti

29 Nov 2012 10:44

Belalang goreng? Aih.. gimana ya rasanya.. Tapo klo sego abang sih pernah dengar memang bagus untuk dikonsumsi anak-anak..

29 Nov 2012 10:41

mba Eviiiii... seru sekali acara jalan jalan nya :) Mungkin bener kata mba Evi, makanan sebagai simbol status :) Lebih keren makan lobster daripada belalang... ...ehm...tapi aku mah teuteup mendingan makan tempe aja mba daripada belalang... bukan masalah keren atau gaya gayaan sih...geli ajah...hihihi....

29 Nov 2012 10:05

Tidaaakkkk aku ga berani makan belalang goreng Mbaa.. Bapakku pernah cerita memang sering makan belalang gitu secara dia orang jawa, rasanya enak aja, krenyes2, hihihi.. Kayaknya ga tega makannya tuuh.. Aku lebih milih sego abang pake iwa peyek aja dehh..!! Eh ada teh ani berta tuuh, barengan ya perginya.. Sukses deh Mbaa.. Makasih tulisannya

Niar_Ningrum

28 Nov 2012 22:58

ooh ternyata padi gogo itu ternyata nasi merah toh, terus belalang nya rasa udang, enak banget dong, pingin incipin deh bu evi:D

Abdul Cholik

28 Nov 2012 21:18

Sego abang memang bagus untuk kesehatan karena saya juga pernah mengkonsumsi, sementara belalang juga enak rasanya, gurih, walaupun belum membudaya. Sukses jeng Salam hangat dari Surabaya

Adel Ilyas

28 Nov 2012 21:16

tulisannya bergizi dan gurih, persis belalang goreng. terimakasih atas sharingnya, memperkaya pengetahuan generasi yang belum pernah menemukan menu belalang goreng di meja makan.. penasaran..!!! :D

Nutrisi Bangsa

07 Nov 2012 10:15

Iya, sayang sekali jika karena faktor gengsi, kearifan pangan lokal ditinggalkan masyarakat setempat ya... :(

Evi Indrawanto

09 Nov 2012 08:31

Insya Allah dengan banyaknya informasi seputar pentingnya menjaga keberagaman sumber pangan, kita bisa lebih arif dan menghargai pangan lokal kita :)