Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Eksotisme Gunungkidul 2 : Bu Lis, Es Krim Ubi Ungu & Mbah Noto

Oleh Evi Indrawanto 09 Nov 2012

Ini lanjutan dari tulisan pertama yang bisa dibaca disini  :)

Masih di hari pertama jelajah gizi, usai makan siang di Pari Gogo kami meneruskan perjalanan ke desa Sambirejo. Mengunjungi bidan Listiyani Ritawati atau  Bu Lis panggilan akrabnya. Beliau adalah pemenang Srikandi Award Sari Husada tahun 2009, untuk insiatifnya membangun sumur bor yang belakangan terbukti membantu menyusutkan angka kematian ibu dan anak di sana. Sampai di balai desa ternyata Bu Lis sedang membantu kelahiran seorang ibu. Untuk melewatkan waktu kami diajak mengunjungi sumur yang dulu digunakan masyarakat sebelum adanya sumur bor.

Bu Lis berasal dari Temenggung, bertugas sebagai bidan desa di Sambirejo tahun 2004. Saat itu Sambirejo mengalami kekeringan panjang. Sumber mata air yang masih mengalir cuma satu sumur di gunung yang berjarak 2 km dari desa.  Tak pelak masyarakat pun menggunakannya beramai-ramai. Terkadang mengundang berbagai perselisihan sesama mereka. Maklum kelelahan dan harus antri sampai malam mengundang sumbu emosi jadi pendek. Nah dalam kondisi seperti itu  Bu Lis sering menggunakan air minum kemasan untuk ke toilet.

Kondisi yang serba mencekik itu pernah membuatnya hampir menyerah dan ingin balik ke Temenggung. Untungnya sang suami mengingatkan kalau bukan dirinya siapa lagi yang bisa membantu masyarakat Sambirejo. Bu Lis bercerita kalau dulu dia sering menangis di tengah malam.  Bukan pada kesulitannya tapi lebih pada menyaksikan penderitaan tetangga yang sedang hamil. Mereka yang tidak bisa mengandalkan suami untuk mengambil air, entah karena merantau atau sedang tak dirumah, terpaksa berjalan atau naik sepeda naik-turun gunung dengan memikul guci sambil menenteng ember.  Dalam keadaan hamil tentu saja pekerjaan itu berbahaya, sering mengakibakan putusnya plasenta, pendarahan dan keguguran. Kelangkaan air juga jadi penyebab merebak berbagai infeksi. Saya miris  membayangkan bayi-bayi yang bergelimang darah dan butuh segera dibersihkan itu cuma punya sebaskom air. Belum lagi balita yang sering diare lalu meninggal. Karena ketiadaan air untuk cuci tangan bagi bunda yang hendak memberi makan mereka.

Menunggu

Air adalah sumber kehidupan. Kita butuhkan untuk berbagai keperluan. Dan sosio-kultur dusun Sambirejo masih erat ikatan kekeluargaannya. Peristiwa kelahiran disambut kerabat  penuh kegembiraan. Mereka datang beramai-ramai menunggunya di rumah bidan. Situasi itu saya lihat sendiri. Dari kerumunan orang di luar ruang persalinan saya pikir ada beberapa ibu yang sedang melahirkan. Eh tak tahunya cuma satu orang. Tapi yang menunggu lebih dari sepuluh lengkap dengan anak-anak. Dan mereka yang menunggui istri dan kerabat yang melahirkan itu juga membutuhkan air. Hati wanita berkulit putih ini pun berontak. Dia harus melakukan sesuatu untuk merubah keadaan. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk mendatangkan air bagi warga Sambirejo! Maka dimulai dengan menggali sumur sampai kedalaman 4 meter dan menghabiskan biaya 4 juta. Sayangnya tak ada air disana sebab kedalaman yang dibutuhkan 80 meter. Itu berarti membutukan sumur bor, pompa dan alat-alat canggih. Dan itu juga berarti butuh dana besar. 

Tahun 2009 Sumur Bor itu akhirnya terwujud 

Rules of thumbdari kehidupan adalah bila tahu apa yang kita inginkan Tuhan akan membuka jalan. Keterampilan sebagai bidan membantu Bu Lis belajar membuat proposal yang diajukan pada Sari Husada. Walau butuh beberapa kali perbaikan titik terang itu akhirnya muncul. Sari Husada bersedia mendanai penggalian dengan menggandeng Pertamina untuk mensupport alat pengeboran. Dan temans ternyata sukses itu tidak berjalan sendirian. Saya melihat dari diri  Bu Lis bahwa ganjaran sukses pribadi  luas cakupannya. Sekarang dusun Sambirejo punya semacam PAMD mini.  Para ibu tak perlu lagi menempuh jarak kiloan meter demi seguci dan seember air. Karena dari sumur bor Bidan Listiyani ini air bisa dialirkan melalui pipa kepada warga di dua RT. Untuk keteraturan administrasi mereka mengorganisasi diri dalam bentuk kepengurusan. Dan mimpi itu belum berakhir karena Bu Lis merencanakan memperluas jaringan pipa ke seluruh Desa Sambirejo.

Pipanisasi

 Pemberdayaan

Tiap upaya manusia dalam meraih sasaran  yang agung Insya Allah menghasilkan manfaat bagi sesama. Kadang penuh kejutan. Selain berhasil menaikan taraf kesehatan warga dusun, Bu Lis juga melakukan berbagai pemberdayaan bagi perempuan.  Untuk menambah gizi keluarga sekaligus sebagai sumber ekonomi, ibu-ibu PKK diajarkan mengolah ketela dan ubi ungu. Gunungkidul yang gersang cocok ditumbuhi ke dua bahan pangan sarat gizi ini karena tak membutuhkan air terlalu banyak.

Es

Dalam kesempatan itu peserta #JelajahGizi disuguhi berbagai pangan lokal hasil karya ibu PKK. Diantaranya es krim dan bakpao ubi ungu. Sambil menikmati hidangan enak itu saya menyimak keterangan  Prof  Ahmad Sulaeman tentang khasiat ubi ungu.  Bahwa ubi ungu mengandung  antosianin yang berfungsi sebagai antioksidan. Daunnya bermanfaat memperbanyak ASI.

Dan saya tersentuh sewaktu Prof Ahmad menyamakan Bu Lis dengan Siti Hajar yang berlari  antar Shafa-Marwa mencari air untuk anaknya Ismail. Analogi itu menyentak sebuah kesadaran. Air dan budidaya ubi ungu, kandungan betakaroten sebagai antioksidan,  Vit E dan C yang terdapat di dalamnya kemungkinan besar akan menyelamatkan masyarakat Sambirejo dari serangan kanker dan penyakit kardiovaskuler.
 

Live

Menutup Hari dengan Mie Jawa Mbah Noto
 
Selesai dengan Bu Liz kami menuju Wisma Joglo tempat perhentian hari pertama. Melengkapi “jelajah gizi”, makan malam panitia menjamu kami dengan Mie Godok dari warung Mbah Noto. Lagi-lagi sajian yang menggugah selera. Jelajah gizi sangat patut dilekatkan pada petualangan kali ini. Balik ke penginapan usai shalat saya langsung merasakan akibatnya. Kenyang dan lelah dan begitu naik ke tempat tidur langsung pulas sampai pagi :)
 

Mie

 Masih banyak pengalaman yang akan saya ceritakan dalam petualangan jelajah gizi kemarin. Tunggu tulisan ke-3 tentang blusukan di pasar Argosari :)

Salam,

—Evi Indrawanto

 
 
5 Komentar

29 Nov 2012 10:46

Subhanallah... Kagum sekali membaca perjuangan ibu Lis inih...salut... dan tulisan ini membuatku jadi lebih menghargai hal kecil yang tadinya aku anggap sepele...yaitu air... Makasih mba Evi :)

29 Nov 2012 10:11

Di Bandung juga ada namanya Rumah Ubi, Semuanya makanan diolah dari Ubi Ungu, es krim, lemper, cake, lapis dll.. Rasanya enak dan menyehatkan loh.. Ternyata Ubi yang dulu di nilai kelas bawah, sekarang malah jadi Trend gaya hidup masa kini,..!! SAlut buat Bu Lis,.. Makasih Mba reportase..

Adel Ilyas

28 Nov 2012 21:23

jelajah gizi - bu lis - sumur bor.. sekilas spt tidak berhubungan. tapi serius, merinding bacanya.. krn air adalah sumber kehidupan. bagaimana segala jenis makanan bergizi dapat dihidangkan jika tak ada sumber air bersih..? tulisan ini berhasil menggambarkan perjuangan bu Lis dan yang paling penting bagi saya, berhasil menggugah pembaca.

Abdul Cholik

28 Nov 2012 21:21

Es krim gayabaru, benar-benar baru tahu dan belum pernah merasakannya Kreasi seperti ini memang diperlukan agar kita mempunyai aneka makanan dan minuman. reposrtase yang menarik Sukses selalu jeng

Nutrisi Bangsa

09 Nov 2012 17:16

Aaah, setiap kali membaca pengalaman di Gunungkidul selalu merasa terharu... Terima kasih ya mbak.. Oiya, jangan lupa kirim link artikel (blog pribadi dan NuB) ke admin@nutrisiuntukbangsa.org ya

Evi Indrawanto

09 Nov 2012 17:26

Iya memang. Mbak.Melihat Bu Lis jadi banyak belajar tentang diri sendiri..Orangnya tampak masih muda, tapi jasanya terhadap kemanusiaan...ckck..bikin geleng kepala. Baik Mbak Akan aku kirim linknya sesuai petunjuk. Terima kasih ya..:)