Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Jelajah Gizi Malang 2017 : Bermain Sambil Belajar

Oleh Ratri Oktaria 29 Oct 2017

Jelajah Gizi merupakan program tahunan yang digelar Nutricia Sarihusada sejak tahun 2013, dengan mengajak media dan blogger untuk mengeksplorasi keanekaragaman makanan khas daerah, proses pembuatan dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya, dengan sejarah dan budaya yang melatarbelakanginya. Mengangkat tema “From Local to Internasional”, kali ini Batu-Malang (Jawa Timur) menjadi destinasi kelima setelah Gunungkidul (Yogyakarta), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Bali, dan Manado (Sulawesi Utara). “Dipilihnya Malang sebagai destinasi Jelajah Gizi tahun ini, karena selain Malang adalah sebuah kota yang memiliki berbagai macam makanan lokal yang bisa dieksplor, Malang juga dikaruniai sumber bahan makanan dari pertanian dan peternakan yang melimpah dan berpotensi untuk dikenal di dunia internasional. Melalui program ini, Nutricia Sarihusada berharap masyarakat dapat mengenal keragaman pangan lokal dan juga terinspirasi untuk mendorong makanan khas daerah ke dunia internasional”, jelas Arif Mujahidin selaku Corporate Communications Director Danone Indonesia. Sudah tak asing lagi jika Malang dikenal sebagai Kota Apel, karena produksi apel di Malang cukup banyak dan diekspor ke luar negeri serta dijual ke berbagai daerah di dalam negeri. Dari apel pula, diproduksi berbagai jenis makanan dan minuman yaitu teh, cuka, sari buah, jenang, keripik dan jajanan khas Malang lainnya. Kota Malang juga dijuluki Parijs van Oost-Java, atau kota ‘Paris’ nya Jawa Timur karena memiliki keindahan seperti kota Paris di Prancis.

Kali ini, dari ratusan pendaftar yang mengirimkan portofolio foto makanan tradisional, dipilih 10 orang untuk mengikuti program Jelajah Gizi Malang pada tanggal 13-15 Oktober 2017, yaitu 6 peserta dari Jakarta, 2 peserta dari Bandung, dan 2 peserta dari Malang, termasuk saya. Selama 3 hari 2 malam, kami, blogger bersama dengan kawan media (total 25 peserta) diajak untuk mengeksplorasi makanan khas Batu-Malang, sambil menggali nilai gizi dan potensi yang bisa dikembangkan dari bahan pangan lokal.

Hari ke-1, tanggal 13 Oktober 2017

Berangkat dari bandar udara Abdulrachman Saleh pukul 9.30 WIB kami menuju ke kota Batu, yang memakan waktu kurang lebih 45 sampai 60 menit. Pertama-tama kami singgah untuk makan siang di sebuah rumah makan yang bernama “Warung Khas Jawa. Lezat, Sedap, Nikmat tanpa tambahan Vetsin”. Sesuai namanya, warung ini menyajikan masakan-masakan rumahan khas Jawa yang sudah akrab di lidah seperti urap-urap, pecel, ayam panggang, sayur lodeh, krengsengan, dan tentu saja menjes dan mendol yang merupakan makanan khas Malang. Yang menarik, warung ini dalam memproses makanannya tanpa menggunakan vetsin. “Sebenarnya masakan Jawa tidak perlu menggunakan micin/vetsin, orang-orang menambahkan vetsin untuk mengurangi penggunaan bumbu. Di sini semuanya fresh, rasa gurih kami berani jamin bukan dari vetsin, tapi menggunakan campuran bahan-bahan alami”, ungkap Sukarli Arief, sang pemilik warung. Beliau yakin, dengan menggunakan bahan-bahan yang segar dan alami, akan menarik banyak pecinta kuliner karena mereka bisa makan tanpa rasa takut. Itulah yang membuat warung ini bertahan hingga 20 tahun.

Sesudah makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya yaitu Kusuma Agrowisata. Di sini kami diajak berkeliling sambil diberikan penjelasan mengenai proses pengolahan apel menjadi bahan makanan dan minuman seperti cuka apel, sari apel, jenang, dan keripik. Kami juga diajak untuk memetik buah apel langsung dari kebun siap petik, maksimal per orang 2 buah. Perlu diketahui bahwa apel adalah buah yang mengandung banyak serat dan vitamin yang baik untuk kesehatan tubuh. Rutin mengkonsumsi buah apel pun dapat mencegah diri kita dari penuaan dini. “Satu buah apel mencukupi 30 persen kebutuhan asupan serat untuk tubuh kita. Dan kalau mau awet muda dan kulit halus harus makan buah apel”, kata ahli gizi dari Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Ir Ahmad Sulaeman MS PhD, yang turut serta menemani perjalanan Jelajah Gizi Malang 2017.

Setelah puas berkeliling di pabrik dan kebun apel, kami berangkat menuju ke Museum Angkut dan Pasar Apung. Museum dengan luas sekitar 3,7 hektar ini termasuk konsep wisata pertama dan museum transportasi terlengkap di Asia. Museum Angkut memamerkan berbagai alat transportasi mulai dari zaman kuno hingga modern, yang semuanya dikemas dengan tampilan latar seperti kota asal kendaraan tersebut. Koleksi museum angkut didatangkan dari berbagai daerah di belahan dunia mulai angkutan darat, air hingga udara. Untuk penggemar otomotif tempat ini merupakan destinasi wisata yang wajib dikunjungi. Selain itu di sini juga terdapat 1 spot yang tidak boleh dilewatkan yaitu Pasar Apung Nusantara. Konsep pasar tradisional di atas air ini cukup menarik untuk pengunjung yang ingin membeli oleh-oleh selama di Museum Angkut, banyak makanan yang bisa dinikmati di sini terutama jajanan tradisional yang recommended, sambil berkeliling ke seluruh area pasar apung dengan kanau.

Hari Ke-2, tanggal 14 Oktober 2017

Tujuan hari ke-2 dari hotel kami menuju ke tempat wisata Coban Rondo. Di sini kami diajak untuk bermain games tiap kelompok, memecahkan teka-teki yang mana setiap petunjuknya tersembunyi di dalam Taman Labirin. Lalu melukis ban bekas, dan masih banyak lainnya. Setelah bermain games kami menuju ke Kafe Daun Cokelat, disingkat Dancok, yang lokasinya berseberangan dengan Taman Labirin untuk makan siang dan cooking class bersama Chef Revo, mantan Finalis Masterchef Junior Indonesia Season 1, yang saat ini berusia 14 tahun. Chef Revo akan mendemonstrasikan masakan dengan bahan pangan lokal namun dengan tampilan seperti restoran bintang lima. Ada “Apple Salad”, yang bahan utamanya menggunakan apel Malang, serta main course “Rawon Steak with Salted Egg Crumbs”, yaitu steak dengan bumbu rawon yang diberi remahan telur asin. Setelah demo, kami tiap kelompok ditantang untuk menduplikasi masakan main course Chef Revo. Semua bahan sudah disiapkan kami tinggal mengolah seperti yang dicontohkan. “Masakan semua team enak-enak, bahkan lebih enak dari punya saya”, kata Chef Revo sambil tertawa kecil.

Usai kegiatan yang cukup seru di Coban Rondo, kami menuju ke Kampung Sanan, Sentra Industri Keripik Tempe di Malang. Keripik tempe Sanan merupakan industri rumah tangga yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. “Kami semua penduduk di sini, hidup dari tempe”, kata seorang Ibu Ketua Paguyuban Pembuat Keripik Tempe Sanan. Dan memang tempe ini dibuat sendiri oleh warga, sekali produksi bisa menghabiskan 1 kuintal hingga 1 ton kedelai. Proses peragian dan pencetakan memakan waktu 2 hari. Perajangan dilakukan manual oleh orang yang memiliki ketrampilan khusus, meski sudah ada mesin potong. Kata Prof Ahmad, salah satu manfaat tempe adalah mencegah pikun, karena dapat memperlambat kerusakan sel otak. Setelah mengunjungi Kampung Sanan, kami menuju ke Restoran Taman Indie untuk makan malam.

Hari ke-3, tanggal 15 Oktober 2017

Pada hari terakhir perjalanan Jelajah Gizi Malang 2017 ini, kami mengunjungi kampung Warna-Warni dan kampung Tridi, Jodipan. Kampung yang terletak di bantaran sungai Brantas ini sebelumnya merupakan kampung yang terkenal kumuh. Sekarang kampung ini menjadi bersih dan indah, karena warga mengubah pola hidup untuk tidak membuang sampah di sungai dan menjaga kebersihan lingkungan di sekitar tempat tinggal masing-masing. Digagas oleh 8 mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi UMM, kampung Jodipan berubah menjadi kampung tematik penuh warna dan menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik. Untuk memasuki kampung Warna-Warni dikenakan tiket masuk sebesar 2.000 Rupiah, sedangkan menuju ke Kampung Tridi dikenakan 2.500 Rupiah. Dua kampung ini dipisahkan oleh jembatan kaca, yang membentang sekitar 8 m dari permukaan tanah.

Setelah puas berkeliling sambil berfoto ria di Jodipan, kami menuju ke Rumah Makan Inggil untuk makan siang. Rumah makan dengan konsep museum ini terletak di Jalan Sultan Agung, Klojen, persis di belakang Balai Kota Malang. Nuansa tempo doeloe langsung terasa begitu kami memasuki bangunan resto sekaligus museum Inggil ini, berbagai benda kuno seperti sepeda kuno, alat pemutar piringan hitam, telepon jadul, mesin ketik, mesin jahit dan radio tertata rapi dan terawat di berbagai sudut Rumah Makan Inggil. Bukan hanya itu, poster iklan jadul,kutipan-kutipan sejarah ditambah topeng malangan yang dipajang rapi juga semakin menambah kesan kuno seperti pada jaman Kolonial Belanda dahulu. Hidangan yang disajikan pun juga menambah sensasi tempo doeloe, antara lain penyetan, sambal terasi dadakan, sate ayam, pecel terong, tumis taoge, dan masih banyak lagi. Usai makan siang dan penutupan oleh wakil dari Sarihusada, kami menuju bandara untuk kembali ke Jakarta.