Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Kenangan Masa Kecil dari Sepotong Tempe

Oleh Rika Yudani 30 Sep 2012

Kedelai Mahal, Tempe Benguk Laris Manis’, itu yang saya baca di sebuah situs berita beberapa bulan lalu.

Saya tertegun mengingatnya.

Tempe benguk adalah bagian dari kenangan masa kecil saya, yang saat ini sepertinya sudah sangat sulit diputar ulang.

Biji Benguk

Ayah saya berasal dari sebuah desa di Kulonprogo, Yogyakarta. Dahulu, waktu nenek masih ada, hampir setiap minggu kami berkunjung. Kebun nenek luas, dikeliling pohon kelapa yang kelapanya selalu dipetik setiap kali kami berkunjung. Mereka tahu, saya suka es kelapa muda. Rumah nenek sederhana, saat itu masih berlantaikan tanah. Waktu kecil, saya suka mandi di samping rumah. Ibu menimba langsung air dari sumur dan mengguyurkannya ke tubuh saya. Dingin dan segar. Saya ingat, ketika itu, saya sungguh terpesona dengan konsep keseimbangan sumur dan timba.

Salah satu tempat kesukaan saya lainnya adalah dapur nenek. Terletak di bagian belakang, dapur ini juga berlantaikan tanah dan berdinding anyaman bambu. Belum ada kompor minyak, apalagi kompor gas di situ. Nenek punya tungku sangat besar. Saya paling bahagia jika diperbolehkan duduk di depannya dan mengipasi si tungku sembari menunggu nenek dan bude memasak.

Masakan di desa nenek sangat khas. Saya masih ingat sayur santan kacang panjang, gurih bersemburat pedas. Yang unik, setelah dipotong2, kacang panjang itu diikat dengan ruas bambu. Saya menikmati melepas satu demi satu ikatan sebelum memakannya. Lauknya juga sederhana: telur mata sapi. Tapi istimewanya, bukan telur ayam yang digoreng, tapi telur bebek dari kandang nenek sendiri.

Yang paling tidak terlupakan adalah makanan kecil yang disuguhkan nenek: tempe benguk. Saya tergila-gila pada tempe ini. Saat itu, tempe benguk biasa dibawa pulang dalam bungkusan daun pisang, yang di masing-masing ujungnya disematkan potongan lidi.  Satu bungkus, kira-kira berisi lima potong. Saya memang penggemar tempe, tapi saya pecinta fanatik tempe benguk.

Ketika ikut ibu ke pasar, saya terpesona dengan ibu penjual tempe benguk. Satu panci yang luar biasa besar ada di hadapannya. Di dalam panci, tempe-tempe benguk tersusun rapi, persis seperti batu bata yang disusun untuk membangun dinding rumah. Hebatnya lagi, meski di pagi hari si ibu penjual membawa sepanci penuh tempe, pasti menjelang sore sudah tidak lagi bersisa.

Penjual Tempe Benguk

Saya sudah bilang kan saya penggemar tempe ini? Meski lebih banyak terkenal di Kulonprogo dan Ponorogo, Jawa Timur, untungnya, tempe ini juga bisa didapatkan di pasar dekat rumah saya. Sekali membeli, Ibu bisa membawa sepuluh bungkus. Biasanya, sekitar separuhnya saya yang menghabiskan. Rasanya sangat gurih, citarasa gurih santan yang kemudian saya padukan dengan cabe rawit. Bila bude datang berkunjung, yang pertama kali saya tanyakan bukanlah kabar beliau, tapi mana oleh-oleh tempe benguknya J

Benguk (mucuna prurient) sendiri adalah biji-bijian sejenis kacang koro. Tanaman benguk tumbuh merambat seperti tanaman kacang koro dan buncis. Tanaman ini tidak membutuhkan banyak air dan dapat hidup hampir di semua tempat. Karenanya, tanaman ini bisa saja ditemukan di pinggiran sungai, di pematang, atau di lereng pegunungan dengan kondisi tanah yang kurang subur. Jelas, lebih mudah ditemukan ketimbang kedelai yang harus diimpor kan? Di desa, tanaman ini biasanya tidak ditanam secara khusus, namun sebagai selingan atau pengisi tanah kosong.

Biji benguk memiliki ukuran sebesar kelereng, berwarna abu-abu hingga kehitaman. Dalam satu kulit polong, biasanya berisi 3-5 biji benguk. Pengolahan biji ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan tempe kedelai. Biji benguk yang sudah tua perlu direbus atau dikukus, kemudian dibersihkan kulit arinya. Biasanya, dengan cara diinjak-injak. Hal ini dilakukan berulang kali hingga air berwarna hitam dari biji benguk sepenuhnya hilang. Setelahnya, biji benguk diiris kecil, ditiriskan, kemudian ditempatkan dalam wadah bambu bersama jamur tempe.

Rasa gurih yang membuat saya ketagihan itu ternyata dipengaruhi oleh campuran bumbunya, yang berupa gula jawa, bawang putih, bawang merah, lengkuas, jahe, ketumbar, daun sereh, santan encer, santan kental, dan daun salam. Kecuali santan kental, bumbu-bumbu yang sangat khas Indonesia ini kemudian dimasukkan ke dalam tempe yang sudah direbus kembali. Setelah hampir mengering, barulah santal kental dimasukkan. Proses memasaknya juga cukup lama, antara 3-4 jam.

Versi tempe benguk juga ada beberapa. Ada yang digoreng, dibacem, atau seperti favorit saya, dengan santan gurih (atau disebut besengek). Rasanya unik, empuk, gurih, dan manis, dengan sensasi krenyes yang masih tersisa dari biji benguk. Apalagi, jika dinikmati hangat-hangat dengan segelas teh manis panas.

Tempe benguk dalam daun pisang

Saya tergelitik dengan kembali populernya tempe benguk ini setelah harga kedelai meroket. Tapi memang tidak salah, kadang protein dan lemak benguk lebih rendah dibandingkan kedelai, sementara kandungan karbohidratnya justru dua kali lipat. Selain itu, benguk juga memiliki kandungan gizi yang tinggi. Dari 100 g biji benguk terkandung 332 kalori, 24 g protein, 3 g lemak, 55 g karbohidrat, 130 mg kalsium, 200 mg fosfor, 2 mg besi, 70 SI vitamin A, 0,3 mg vitamin B1, dan 15 g air (Dyah Purwaningsih, Universitas Negeri Yogyakarta). Lengkap kan? Bahkan ada penelitian yang mencoba membuat susu dari tempe benguk ini, yang katanya rasanya lebih lezat dari susu kedelai.

Karenanya, tak salah juga benguk dijadikan alternatif, harganya pun tak mahal. Setiap kilogram dihargai Rp 5.000,- yang akan bisa menghasilkan sekitar 25 tempe. Satu tempe dijual dengan harga Rp 500 – Rp 600 per buah.

Boleh dibilang, para kaum muda, terutama yang di kota, tidak familiar dengan makanan ini. Beberapa tahun lalu saat saya masih bersekolah, saya mengajak teman saya ke pasar dan membeli tempe ini. Si penjual terpesona dan berujar, “Jarang ada anak sekarang yang suka tempe ini.” Dan memang terbukti, teman saya tidak menyukainya. Padahal, sejarah tempe benguk sudah dimulai berpuluh tahun lalu dan telah menjadi makanan khas desa di Kulonprogo. Para pengrajin tempe benguk yang sekarang masih bertahan pun biasanya sudah berkecimpung selama puluhan tahun dan mewarisi bisnis tempe benguk dari orang tuanya.

Mungkin kenangan masa kecil saya itulah yang membuat saya tetap mendamba makanan unik ini. Mendapatkannya pun tidak mudah. Lebaran lalu, saya dan ibu menjelajahi pasar di Yogyakarta untuk mencari tempe ini. Dari ujung ke ujung kami telusuri, para penjual kami tanyai, hingga akhirnya hampir semua kompak menjawab: “Sudah tidak berjualan lagi sejak lama.” Sedihnya. Sudah bertahun-tahun saya tidak merasakan tempe ini.

Jelajah Gizi

Baiklah, orang lain bilang tempe benguk alternatif, tapi buat saya makanan ini adalah pembawa kebahagiaan masa kecil.

Adakah yang juga punya kenangan masa kecil dengan makanan tradisional? Tuliskan saja pengalamanmu dalam Blog Writing Competition “Jelajah Gizi” yang diadakan oleh Nutrisi Untuk Bangsa. Kabarkan bahwa kekayaan kuliner Indonesia punya beragam nilai gizi yang bermanfaat.  Cek di sini ya http://nutrisiuntukbangsa.org/jelajah-gizi/

2 Komentar

Rika Yudani

01 Oct 2012 13:11

Siap! Sudah di share :)

Nutrisi Bangsa

01 Oct 2012 10:50

Wah, baru tahu ada tempe benguk.. Enak ya dimakan pakai nasi hangat... :D. Oiyaaa, jangan lupa di-share ke FB dan twitternya ya, supaya lebih banyak lagi yang tahu tentang tempe benguk ini :)