Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Pempek, eksotika rasa negeri bahari

Oleh Vivera Siregar 15 Oct 2015

Ini Palembang, Sumatera Selatan, dengan jembatan Amperanya yang megah. Entah sudah berapa kali saya datang ke kota ini, dan tak pernah bosan, selalu ingin kembali. Dan saya memang sering kembali karena ayah putra-putri saya berasal dari sana.

Selain Jembatan Ampera dan masjid Raya yang cantik itu, bagi saya, sungai Musi adalah bagian paling memikat. Selalu menyenangkan berjalan dini hari di sepanjang pelataran depan Benteng Kuto Besak yang kuno, terus menyusur sampai ke pasar 16 Ilir, menjulurkan kepala melewati pagar pembatas sungai untuk memotret perahu-perahu kecil pencari ikan, dan kesibukan orang simpang siur memanggul keranjang dari perahu yang lebih besar, semuanya berisi ikan.Jadi, inilah Indonesia, yang disebut negeri bahari. Di sini ikan berlimpah. Dalam presentasi bapak Alex Nurdin di Bandung, beliau menyebutkan bahwa hasil ikan propinsi Sumatera Selatan berjumlah.83.346,99 ton. Bukan jumlah yang sedikit. Dengan sendirinya, penganan yang terbuat dari bahan baku ikan pun mendominasi.

Di pasar 16 Ilir bertebaran pedagang pempek, makanan tradisional khas Palembang. Tidak berhenti di situ, tapi juga di tempat-tempat lain di seluruh pelosok Palembang, seperti Plaju,Cinde, Sanjaya, 10 Ulu Kelenteng. Inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk memproduksi dan menjualnya, di Bandung, Jawa Barat, tempat yang justru berjarak ratusan kilometer dari tempat asalnya. Membuktikan bahwa pempek tidak sulit untuk dibuat dimana saja, dengan bahan baku yang mudah didapat. Hampir di semua kota besar di Indonesia, kudapan gurih ini dapat ditemukan, di Denpasar Bali, di Surabaya, di jalan Malioboro Yogyakarta, di Jakarta, bahkan di Palu, Sulawesi.

Pempek, kudapan yang dikonsumsi tak kenal waktu. Di Palembang, penganan berbahan baku ikan ini dimakan kapan saja, untuk sarapan, siang, atau pun malam hari. Sekali makan, orang bisa menghabiskan 5 potong pempek kecil yang dihidangkan dengan kuah cuko yang dalam bahasa Indonesia berarti cuka. Meskipun disebut cuko, tak berarti selalu dibubuhkan tetesan cuka asam di dalam kuah tersebut. Saya sendiri selalu membuat cuko tanpa cuka,karena asam cuka seringkali membuat lambung terasa agak perih. Berbeda dengan asam masak biasa.

Jadi, bahan untuk membuat cuko hanya gula merah, bawang putih, cabe rawit merah dan asam tamarind khusus untuk memasak, semuanya direbus jadi satu. Tentu saja yang membuat kuah ini sedap adalah bubuk ebi (udang kering) yang ditaburkan setelah cukomatang.

Lalu kenapa warnanya pekat kehitaman? Karena gula merah yang digunakan adalah gula aren, bukan gula kelapa. Di pasar-pasar besar ada banyak pilihan gula aren, ada yang berwarna kecoklatan dan ada juga yang coklat tua kehitaman. Tinggal pilih yang warnanya lebih pekat.

Ketika saya remaja dulu, pempek hanya menjadi oleh-oleh dari kerabat yang baru pulang dari Palembang. Rasanya ingin juga mencoba membuat sendiri. Maka saya mencari resepnya di majalah. Bahan yang tertulis selalu: ikan belida. Melihatnya pun saya belum pernah, dan saya kecewa ketika tidak berhasil menemukannya di pasar-pasar di Bandung. Konon kabarnya, ikan belida hanya ada di Palembang. Ikan jenis ini semakin lama semakin berkurang, sehingga harganya melambung tinggi. Ikan belida disebut sebagai “makanan raja-raja” karena harganya yang mahal. Sampai sekarang, di tempat-tempat tertentu di Palembang masih dijual pempek ikan belida, dengan harga mahal tentunya.

Selain belida, jenis ikan lain yang digunakan untuk pembuatan pempek adalah ikan gabus. Di daerah yang banyak rawa seperti Sumatera Selatan, ikan gabus mudah ditemukan. Tapi yang lebih umum dipakai untuk membuat pempek sekarang ini adalah ikan tenggiri. Jangan kuatir, jenis ikan ini banyak dijual, mudah didapat di pasar-pasar tradisional, tak hanya di Palembang, tapi juga di kota-kota lain. Di supermarket juga ada. Tentu harganya berbeda dengan di pasar tradisional.

Yang digunakan untuk pembuatan pempek adalah daging ikan tenggiri, dikerok sampai bersih dari tulang dan kulitnya, dihaluskan, bisa menggunakan mixer atau mincer, lalu campurkan dengan sagu sejumlah yang sama dengan ikan, tambahkan sedikit garam sampai terasa sedikit keasinan. Adonan siap digunakan, diisi dengan telur untuk pempek kapal selam, dan dibuat berbentuk guling untuk pempek lenjer. Jangan lupa lumuri tangan dengan sagu agar adonan tak melekat di tangan. Setelah dibentuk, masukkan di air untuk merebus, tunggu sampai matang. Itu sebabnya adonan tadi harus sedikit keasinan, karena proses merebus itu akan mengurangi rasa asin.

Sudah. Hanya itu, dan pempek siap dihidangkan. Lho, bukannya pempek dimakan setelah digoreng? Tidak juga. Tergantung selera. Di Palembang, kebanyakan orang malah mengkonsumsinya tanpa digoreng. Direbus itu kan sudah mematangkan pempek. Hanya saja aroma ikannya lebih terasa, dan tak semua orang suka. Padahal, aroma amis ikan itu hilang dengan campuran kuah cuko yang sarat bawang putih. Serupa hidangan ikan mentah di Jepang dengan saus sashimi, saus untuk makanan Jepang ini juga menghilangkan aroma amis ikan, malah terkadang saus ini beralkohol, sementara kuah pempek sama sekali tidak menggunakan alkohol. Jadi jelas sehat, dan juga terjamin kehalalannya.

Yang jelas, memakan pempek tanpa digoreng berarti mengurangi konsumsi minyak, sehingga mengurangi jumlah kolesterol yang masuk ke dalam tubuh.

Varian pempek itu sebetulnya beragam, yang paling banyak dikenal adalah kapal selam yang berisi telur, dan lenjer yang berbentuk guling. Tapi selain itu ada juga pempek pistel yang berisi tumis pepaya muda, ada pempek tahu, pempek keriting, pempek adaan yang lebih gurih rasanya karena memakai santan, dan pempek panggang yang dimakan dengan ebi, kecap dan cabe rawit.

Bagaimana kandungan gizi pempek? Dari hasil penelitian, dalam 100 gram pempek terdapat sejumlah besar protein, kalsium, fosfor dan zat besi. Tidak mengherankan, memang. Seperti diketahui, ikan sering disarankan untuk lebih sering dikonsumsi daripada daging sapi atau lainnya karena kandungan gizinya yang tinggi.

Untuk rasa, pempek memang memiliki rasa “internasional”. Lihat saja hidangan Jepang dan Thailand. Memang berbeda rasa, resep dan penampilan, tapi kurang lebih komposisinya seperti itu, terbuat dari ikan, dengan saus asam dan pedas. Jadi makanan tradisional ini sesungguhnya mampu bersaing dengan makanan-makanan luar yang sekarang menjadi populer di Indonesia.

Bisa dikirim atau dibawa ke luar kota dan luar negeri? Bisa. Saya pernah beberapa kali mengirim pempek dari Bandung ke Banyuwangi dan Bali, sebelum dikirim dilumuri dulu dengan sagu agar pempek tak mudah basi, dan selamat sampai ditempat, padahal jasa kurir baru menyampaikannya dalam waktu tiga hari. Kalau disimpan di lemari pendingin, pempek tahan sampai lima hari, di lemari pembeku malah bisa tahan sampai dua minggu.

Seorang kerabat yang pulang ke Amerika membawa satu tas penuh pempek untuk persediaan kudapan keluarga selama beberapa minggu. Dan jangan lupa, sebetulnya kalau sedang berada di luar negeri, bisa membuat pempek dengan bahan ikan yang ada di sana. Kan resepnya sederhana dan mudah dipraktekkan. Kawan saya di Finlandia membuat pempek di sana dengan menggunakan ikan yang mudah didapat di sana.

Barangkali itu alasan saya memilih pempek sebagai produk untuk dijual. Bukan hanya sekadar mencari keuntungan dari hasil penjualannya, tapi lebih jauh dari itu karena pempek adalah makanan lokal, makanan tradisional Indonesia yang layak diperkenalkan kepada dunia, setelah sedemikian dikenal di berbagai pelosok negeri ini.