Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Tabula Rasa Swarnadwipa

Oleh adieriyanto 13 Oct 2015

Pada mulanya adalah kelapa, lalu menjelma menjadi santan. Melalui tangan-tangan kreatif peracik bumbu dan tradisi yang diwariskan turun temurun, bahan dasar tersebut bertransformasi menjadi sajian nikmat penggugah selera. Didukung dengan bentangan luas wilayah yang subur dan dipengaruhi oleh beragam adat, kebiasaan, serta keterampilan lidah lokal, beragam menu hadir menjelma duta dalam dunia boga yang saling berlomba-lomba menunjukkan kekhasannya memenuhi hasrat para petualang kuliner di seluruh penjuru dunia.

Terlahir mewarisi lidah Jawa yang terbiasa mengunyah menu dengan beragam bumbu yang lebih ‘kalem’, menu-menu dari Nagari Minangkabau terbilang lebih berani dalam rasa dengan tekstur bumbu yang lebih kuat. Dalam peta gastronomi nasional, serentetan menu masakan Padang secara ajeg mencatatkan dirinya dalam menu-menu yang ditawarkan oleh restoran butik hingga warung makan pinggir jalan.

Menu tersebut di antaranya adalah rendang daging, gulai kikil, pangek masin (gulai ikan), gulai babat, gulai telur campur tunjang, gulai nangka, ayam pop, telur dadar, terong balado, sate Padang, soto Padang, itiak lado hijau, katupek pical, sambal lado, dan sebagainya.

Saya berkenalan dengan menu Minang melalui sepotong rendang, jauh sebelum CNN menasbihkannya sebagai makanan paling lezat di dunia pada tahun 2011. Sebagai menu paling populer seantero negeri, rendang mengalami banyak modifikasi dan penyederhaan bumbu dalam tampilannya jika dibandingkan dengan resep asli dari daerah asalnya.

Menu yang mulai disebut-sebut dalam catatan Belanda pada abad ke-20 ini sering saya cicipi berupa sepotong daging diguyur kuah kental berwarna cokelat yang gurih. Sahabat saya di kantor yang berasal dari Sumatera Barat, Silvia Anas, suatu ketika pernah bilang bahwa yang saya sebutkan itu belum tepat disebut rendang, tapi kalio. Kalio adalah sebutan untuk rendang yang belum sempurna. Bumbunya masih berupa kuah, bukan dedak. Saya tak begitu tahu perbedaannya. Yang saya paham sekali, menu tersebut memang enak. Sama seperti saat saya disuguhi menu rendang dan nasi goreng untuk sarapan dalam suatu penerbangan. Tanpa banyak pertanyaan, saya langsung melahapnya sampai tandas.

Dalam hierarki masakan Padang, rendang seolah menempati kasta tertinggi. Dalam suatu perhelatan adat Minang, rendang diposisikan sebagai induk samba atau lauk utama. Prinsip sederhana yang berlaku: tak ada rendang, tak ada dendang. Maksudnya, sebuah acara bisa saja dibatalkan jika bundo kanduang—penguasa rumah gadang tidak menyediakan rendang sebagai salah satu lauk dalam menu jamuannya.

Begitu sentralnya posisi rendang, sampai-sampai timbul sebuah olok-olok yang mengatakan bahwa walau seribu menu terhidang, tiada artinya tanpa sepiring rendang. Dari sini tersirat bahwa dalam kacamata masyarakat Minang, rendang tidak dipandang hanya sebagai menu masakan semata, tetapi juga merupakan suatu simbol kehormatan dan martabat perempuan. Demi menjaga kehormatan itulah, koki-koki lokal dikerahkan tenaga dan kreativitasnya untuk meracik dan meramu rendang terbaik di seluruh negeri.

Konon, dari rumor yang beredar dari para pecinta kuliner, rendang terbaik dan terlezat dihidangkan saat sebuah pesta adat dihelat. Bukan pada rendang yang dijual di rumah makan. Bahan yang digunakan sungguh unik dan harus kelas wahid. Daging dipilih dari bagian khas dalam yang nyaris tanpa lemak. Cabai segar digiling manual dengan tangan, bukan kreasi mesin. Santannya berupa perasan pertama dan kedua dari buah kelapa yang cukup tua, dengan kombinasi air kelapa dan air biasa sebagai bahannya. Untuk menambah aroma gurih, ditambahkan beberapa butir dasun—bawang putih bersiung tunggal. Yang tak kalah penting, untuk menghasilkan api yang stabil, para koki bertangan terampil tersebut menggunakan batok kelapa dan batang kayu manis yang sudah dikupas kulitnya.

Menyadari betapa rumitnya memasak rendang, saya jadi terharu mengingat kenangan tentang beberapa sahabat kuliah dahulu saat mereka menerima kiriman rendang dari ibunya. Betapa rendang seolah merangkum segenap kerinduan dan harapan keluarga untuk menemani sanak kerabat yang sedang merantau di negeri orang.

“Semakin lama rendang dimasak, semakin tahan lama dan nikmat rasanya.”, tambah Silvia Anas, melengkapi penjelasan ciri-ciri rendang terbaik.

Terpikat dengan penjelasan yang begitu rancak dari sahabat saya tersebut, suatu ketika saya memutuskan untuk mengiyakan ajakan makan siang dari pimpinan kantor di sebuah restoran Padang.
Begitu sudah duduk rapi, seorang pramusaji dengan keterampilan paripurna menampilkan atraksi akrobatik saat menyajikan beberapa menu dalam banyak sekali piring mungil, hanya dengan kedua tangannya. Begitulah ciri khas restoran Padang. Yang perlu diingat, jangan sekali-kali menyentuh piring yang tidak benar-benar diinginkan atau sebagai gantinya harus menebus menu yang sudah disentuh tadi.

Jika diperhatikan, sebagian besar menu yang dihidangkan berkuah santan. Dengan nasi pulen hangat mengepul dan aneka lauk dengan aroma bumbu rempah yang kuat, pimpinan saya kerap bersabda bahwa hanya orang-orang merugi yang tak doyan nasi Padang. Saya menimpalinya dengan sedikit tersenyum.

Saat khusyuk menikmati intensitas rasa dan aroma yang tersaji di depan mata, tiba-tiba terlintas di pikiran bahwa betapa restoran dan warung Padang begitu menjamur seolah mudah sekali untuk membiak dan berpinak. Dari kasak-kusuk dan obrolan ringan dengan beberapa sahabat dari Sumatera Barat, saya mendapat informasi bahwa sebagaimana masyarakat Tionghoa, menu-menu autentik dengan resep rahasia diwariskan secara turun-temurun kepada generasi penerusnya. Sebagai katalisnya, para pekerja rumah makan didatangkan langsung dari kampung sang juragan atau biasa disebut sebagai urang awak.

“Tambah mas nasinya. Lauknya masih banyak tuh.”, ujar pimpinan saya, sembari menyodorkan ayam pop dan sepiring ikan bilih.

Saya kembali terpaku. Diam-diam saya mengimani bahwa di balik setiap kenikmatan yang melenakan, selalu saja ada jebakan yang menyesatkan. Dalam hal ini, saya perhatikan menu-menu masakan Padang ini sungguh lezar luar biasa serta bercita rasa tinggi. Daging, ikan, dan kacang-kacangan jelas mengandung protein tinggi. Rempah dan bumbu seolah mempunyai daya magnet untuk membius orang untuk mencicipunya guna menghadirkan kehangatan tubuh. Dan nasi pulen mengepul seolah sanggup memasok energi kapanpun dibutuhkan.

Namun demikian, hampir semuanya bersantanyang memacu kolesterol. Bumbu kacang secara sembunyi-sembunyi berpotensi menghadirkan asam urat. Dan nasi disebut-sebut sebagai biang keladi penyakit gula. Untuk sesaat, ‘perang’ seperti berkecamuk di dada saya. Pikiran terakhir dan menenangkan terbit tiba-tiba.

Sepertinya, tak banyak yang menyadari hal ini. Saya berpendapat bahwa, seperti halnya dalam tradisi Tionghoa yang mewariskan resep rahasia secara turun-temurun, menu yang disajikan dalam restoran Padang selalu menganut prinsip yin dan yang sekalipun diwadahi dalam sebuah piring mungil. Bumbu-bumbu semacam bawang putih, sereh, daun jeruk, dan jahe, selain berfungsi untuk menambah aroma masaka juga berfungsi sebagai penetralisir rasa. Dihadirkannya lalapan berupa labu siam dan sawi hijau rebus seolah menyokong keberadaan irisan mentimun segar dan daun singkong. Keberadaan teh tawar yang kerap dibagikan cuma-cuma sering dibuat alpa. Padahal, teh tawar berpotensi meluruhkan gumpalan lemak yang terkandung di dalam daging dan santan.

Memerhatikan kebimbangan dalam raut muka saya, bapak pimpinan tiba-tiba berujar, “Sudahlah anak muda, jangan banyak berpikir macam-macam kau soal urusan makan. Berdoa saja kepada Tuhan sebelum makan supaya apa yang masuk ke perut kita tidak berubah menjadi penyakit.”

Sambil tersenyum menimpali nasehat beliau, saya mulai mengunyah dan berusaha untuk menjadi manusia yang tak merugi. Saat melahap perkedel dan ayam goreng kesukaan, senyum saya kembali merekah saat memerhatikan tingkah bapak pimpinan yang sedang melambaikan tangannya, memanggil pramusaji untuk datang, sembari berkata: tambuah ciek. []