Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Tempe, Dari Tradisional Jawa Menuju Penjuru Dunia

Oleh Nunik Utami 18 Oct 2015

“Jangan menjadi bangsa bermental tempe!”

Kata “tempe” pernah digunakan sebagai simbol dalam menujukkan sesuatu yang rendah karena nilainya murah, seperti makanan bernama tempe. Namun, pada pertengahan 1960-an, pandangan tentang tempe mulai berubah. Siapa yang menyangka, makanan tradisional khas Indonesia ini kini bisa digemari hingga ke seluruh penjuru dunia?

Makanan Tradisional Asli Jawa

Sejak kecil, saya akrab dengan tempe. Saat pulang ke Yogyakarta, saya mendapati tempe bacem (tempe yang sudah diolah dengan air kelapa dan gula Jawa, sehingga rasanya manis gurih) sebagai teman makan gudeg. Di Pemalang, saya akrab dengan sambal tempe bosok (tempe sengaja didiamkan selama beberapa hari sebelum diolah agar menjadi busuk) yang sangat khas. Begitu popularnya tempe di Jawa, saya pun mencaritahu asal-usul makanan tradisional ini.

Ternyata, tempe sudah ada di Indonesia sejak berabad-abad yang lalu. Asal usul tempe di Yogyakarta sudah tertulis di Serat Sri Tanjung, pada abad ke-12. Nama tempe juga sudah ditemukan di Serat Centhini, manuskrip yang dibuat pada abad ke-19, namun mengambil latar tanah Jawa abad ke-16. Bahkan nama tempe diperkirakan berasal dari bahasa Jawa Kuno, tumpi, yang pada saat itu adalah makanan berwarna putih seperti tempe.

Seiring berjalannya waktu, makanan tradisional ini menyebar di nusantara karena dibawa oleh orang Jawa yang merantau ke seluruh penjuru Indonesia. Jadilah saya sering menyantap tempe mendoan (tempe yang digoreng menggunakan tepung yang tidak terlalu matang) dan tempe orek (tempe yang dipotong kecil-kecil dan digoreng) di Jakarta ini.

Tempe Punya Kandungan Gizi yang Mencengangkan

Meskipun namanya pernah digunakan sebagai julukan untuk sesuatu yang rendah dan murah, kondisi tempe justru memiliki kandungan gizi yang tinggi dan sangat penting, serta khasiat yang dahsyat.

Tempe terbuat dari kedelai, sehingga saat mengonsumsi tempe, kita juga mendapat manfaat kedelai. Pada proses pembuatannya, kedelai difermentasikan dengan kapang Rhizopus sp. Kapang ini menghasilkan enzim pencernaan, sehingga kandungan karbohidrat, lemak, dan proteinnya membuat tempe lebih mudah dicerna dibandingkan dengan kedelai. Karena itulah makanan yang merakyat ini juga cocok untuk semua umur.

Bahkan, mengonsumsi tempe secara teratur dapat memperbaiki kondisi gizi buruk dan diare pada anak dan balita, dalam waktu singkat.

Biasanya, vitamin B12 terdapat pada makanan hewani. Tempe memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu mengandung vitamin ini. Tempe pun menjadi satu-satunya sumber vitamin B12 dari makanan nabati.

Kebutuhan harian akan vitamin B12 pada orang dewasa juga dapat terpenuhi dengan menyantap 100 gram tempe kering.

Makanan tradisional ini mengandung zat antioksidan berupa isoflavon. Fungsi antioksidan adalah menghentikan pembentukan radikal bebas yang dapat menyebabkan kanker, mencegah penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan dapat menurunkan kolesterol.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kedelai yang sudah diolah menjadi tempe, dapat menurunkan risiko perut kembung.

Tidak disangka, tempe yang murah dan mudah didapat di mana-mana, mampu mencegah penyakit berat.

Tempe, dari Tradisional Jawa ke Seluruh Penjuru Dunia

Hebatnya, tempe yang dikenal sebagai makanan tradisional yang popular di kalangan masyarakat Indonesia, kini telah dikenal sampai ke luar negeri.

Tahun 1800-an, imigran-imigran asal Indonesia di Belanda membuka perusahaan tempe. Inilah cikal bakal tempe menyebar di daratan Eropa. Lalu, tahun 1958, Yap Bwee Hwa (orang Indonesia) pertama kali membuat tempe di Amerika.

Banyak warga Indonesia yang bermukim di luar negeri, membuat sendiri tempenya. Salah satunya adalah Bapak Dono Widiatmoko, dosen di Unversitas Teeside, Inggris. Dia membuat tempe sendiri, merekam cara membuatnya, dan mengunggahnya di YouTube. Sehingga, banyak orang Indonesia di luar negeri lainnya yang terinspirasi membuat tempe sendiri.

Masih di Inggris, Ibu Titik yang tinggal di Bristol membuat tempe sendiri dan menjualnya ke rekan-rekan sesama orang Indonesia yang bermukim di kota yang sama. Tahun 2004, Ibu Betty yang tinggal di Nottingham, juga berbisnis tempe rumahan. Banyak pelanggan warga Malaysia dan Indonesia yang membeli tempe dari Ibu Betty.

Selain di Eropa, Jepang, dan Amerika, beberapa negara lain seperti Australia, Tiongkok, India, Sri Lanka, Afrika, dan Taiwan sudah mengenal tempe. Akhirnya, makanan ini semakin terkenal di seluruh penjuru dunia.

Tidak berlebihan pula bila pada Mei 2015 lalu, para chef asal Indonesia yang bermukim di luar negeri ditantang untuk menyajikan tempe sebagai haute cuisine (kuliner tingkat tinggi dan mahal yang penyajiannya menggunakan bahan kelas premium). Para chef itu adalah Yudi Yahya (Belgia), Ari Munandar (Ceko), dan Jimmy Lo Hamzah (Belanda). Salah satu chef ini pernah menyajikan masakan untuk Robert de Niro dan Dalai Lama. Acara yang bertajuk Temp(e)tation bertema “When Tempe Can Make Its Own Words” ini berlangsung di Breda, Belanda.

Kalau dulu ada pepatah yang menyarankan kita jangan menjadi generasi bermental tempe yang mungkin berkonotasi negatif, kini, kita justru harus menjadi generasi penerus yang seperti tempe. Sederhana, tapi bersahaja dan manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak orang di segala penjuru dunia.