Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Tentang Si K dan Ibu Penyandang Tuli Parsial

Oleh Widi Utami 25 Dec 2016

Menjadi seorang Ibu dengan kelemahan di indera pendengaran, bukan berarti mengabaikan kebutuhan stimulasi anak yang berkaitan dengan pendengaran dan pembicaraan. Lalu, bagaimana sebagai Ibu dengan keterbatasan pendengaran agar perkembangan anak tetap optimal? Simak kisahku disini, ya.

Sebagai seorang Ibu dengan keterbatasan pendengaran membuatku harus berusaha lebih keras agar si K, anak pertamaku yang berusia 10 bulan tetap mendapatkan stimulasi perkembangan pendengaran dan pembicaraannya tetap optimal. Maka, sejak dokter mengabarkan jika positif hamil, aku segera merencanakan program apa saja yang kulakukan untuk menstimulasi kemampuan mendengar dan bicaranya. Hal ini bukan berarti mengabaikan stimulasi yang lain, karena keterbatasan jumlah kata, aku hanya membatasi pada stimulasi yang kuanggap paling sulit.

Memutar Rekaman di Laptop

Memutar rekaman menjadi kebiasaan sejak si K masih di dalam perut. Saat menulis atau melakukan aktivitas, aku mengelus-elus perut sembari berbisik kepada si K, “Nak, Ibu nggak bisa dengar suaranya. Kamu bisa kan, Nak? Jadikan telingamu untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat ya..”

Tak lupa, aku pun membisikkan sebuah doa untuknya, “Nak, kelak jadi ‘telinga’-nya Ibu, ya. Seperti Abah, dan orang-orang yang menjadi penerjemah untuk Ibu.”

Membacakan Al-Qur’an dan Buku

Sebagai penyandang tuli parsial, aku masih bisa berbicara meskipun dengan lafadz dan intonasi yang kurang tepat. Aku memanfaatkan dengan sisa kemampuanku ini untuk membentuk bonding dengan si K. Seperti halnya memutar rekaman, membacakan al-Qur’an dan buku bacaan juga kulakukan semenjak si K masih berada di dalam rahim. Dengan cara ini, aku berharap si K mulai mengenal suara dan logat bicara Ibunya.

Meminta Orang di Sekitar untuk Membantu Menstimulasi

Tak bosan aku meminta orangdi sekitar untuk mengajak si K berbincang. Selama ini, aku tidak bisa membedakan apakah si K memanggil Abahnya dengan ‘Abababa’, atau meminta sesuatu dengan kata berulang yang tak mampu kudengar.

“Hei, Kevin sudah bisa manggil Abah itu!” seru Neneknya si K.

Ah, Nak, begini pun Ibu sangat bahagia.

Sekarang, di usianya yang menjelang 10 bulan, si K sudah berceloteh, menoleh jika dipanggil, menyimak saat kubacakan buku, mencariku dibalik sofa saat kupanggil namanya. Ah, Nak, kelak Ibu yang gelagapan jika kau bersembunyi dan manggil nama Ibu.