Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Merasakan Tambelo, Menantang Nyali

Oleh Sukma Kurniawan 08 May 2013

Bentuknya putih panjang berlendir. Ini bukan tipikal panganan yang biasa kita jumpai bukan? Apalagi ini dimakan langsung, tanpa dimasak terlebih dahulu sebelumnya. Tentu saja ini adalah sebuah tantangan yang mengasyikkan. Mencoba local taste dalam balutan kuliner ekstrim adalah sebuah pengalaman yang patut dicoba oleh setiap petualang.

Kami menemukan makanan ini sore hari, ketika berkunjung ke Pelabuhan Pomako. Penduduk lokal, orang-orang Kamoro yang lahir dan besar sebagai pelaut, suka membuka pasar kaget hasil laut di sekitar pelabuhan. Paling banyak adalah ikan kakap dan kepiting. Jika Anda tahu, kepitingnya adalah jenis bakau, mereka mencarinya di sela-sela akar hutan mangrove. Ukurannya gigantis, tiga kali lebih besar daripada ukuran kepiting normal.

Kami beranjak dari satu lapak ke lapak lain. Kami memotret hasil tangkapan mereka, hingga di meja paling ujung, kami mendapatkan sebuah makanan yang asing: putih panjang penuh lendir, ditempatkan dalam sebuah mangkok penuh air.  Muhammad Yamin, guide kami mengatakan,“Itu namanya tambelo, kalian harus coba!”

Menurut Yamin, tambelo adalah hewan laut yang hidup di batang-batang pohon bakau yang sudah mati. Tubuh hewan ini memang lunak, seperti keluarga ubur-ubur. Tapi memiliki kepala bulat dengan cangkang yang sangat keras. Mereka membuat lubang-lobang di kayu dengan cara mengebor, kepala yang serupa torpedo sangat membantu tambelo untuk melubangi batang lapuk. Panjang hewan ini sekitar 25 centimeter.

Tambelo ini seumur hidup tinggal di lubang kayu yang mereka buat, jadi meski tinggal di muara penuh lumpur, tubuhnya tetap bersih dan putih.

Selanjutnya Yamin terlibat tawar menawar serius dengan penjual. Satu mengkok mereka hargai 20.000 rupiah. Jumlahnya cukup banyak, jadilah kami hanya membeli setengah mangkok. 

Cara makannya cukup unik. Kami harus menelan langsung tanpa mengunyah tambelo terlebih dahulu. Tata cara makan ‘langsung ditelan’ seperti ini biasanya saya temui untuk kasus makanan yang menyembuhkan, seperti pil, empedu ular, atau kuning telur ayam kampung.

“Penduduk sini memang menggunakannya sebagai obat. Kalau ada penduduk sakit biasanya langsung mencari tambelo ini di batang-batang bakau,” kata Yamin.

Saya dan Ayos tertarik untuk mencoba. Rasanya cukup aneh, anyir sekaligus gurih dan sedikit asin. Untung saja tidak amis dan berbau menyengat. Lendir dan tubuh pipihnya mudah masuk melewati kerongkongan, terasa adem seperti cincau dengan ukuran yang sangat panjang. Membuat kami sedikit bergidik setelah menyantapnya.

Setelah kami mencoba tambelo, seorang kontraktor asal Depok yang, Hendra, juga tertarik untuk mencoba. “Rasanya lumayan gurih, cukup bisa diterima lidah Jawa saya,” kata Hendra sambil tertawa.

Tiba-tiba saja saya dan Ayos menjadi ketagihan. Sore itu, diselingi derai tawa dan taruhan tanpa uang untuk menantang keberanian, kami sudah habis tiga tambelo. Yamin lebih gila lagi, mungkin dia habis lima.

1 Komentar

Nutrisi Bangsa

19 May 2013 12:17

Hai.. hai... jangan lupa kirim data kee http://bit.ly/JelajahGizi" rel="nofollow">Form Pendaftaran Lomba Blog NUB yaaaa