Tanya Ahli

Kirimkan pertanyaan Anda seputar gizi ibu dan anak, yang akan dijawab oleh Tanya Ahli SGM.

Nasi Boranan

Oleh Hanjanu Astuti 25 Oct 2012

Rasanya belum lengkap kalau jalan-jalan ke kota Lamongan tapi belum berwisata Kuliner disana.
Hmm, siapa yang tak menginginkan hidangan yang lezat, lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya, serta sambal yang menggugah selera? Tentu setiap kita pasti menginginkannya. Apalagi jika ditambah dengan keramahan si penjual serta suasana lingkungan sekitar yang bersih dan asri. Akan semakin menambah kenikmatan menyantap hidangan sedap nan lezat, dan bergizi. Nasi boranan atau biasa orang Lamongan menyebut sego boranan, makanan tradisional dan khas Lamongan, Jawa Timur selain itu ada Soto Ayam, Kikil, Tahu Campur dan Wingko Babat.
Kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang Nasi boranan yang belum banyak dikenal di luar Lamongan karena memang hanya dijual di Lamongan. Nasi ini disajikan biasa, lesehan di sekitar kawasan pasar-pasar kota di Kabupaten Lamongan.

Dahulu, yang mengawali dan menjajakan Nasi Boran adalah ibu-ibu dari Desa Kawotan. Mereka dulunya banyak berjualan secara berkeliling di penjuru kota Lamongan dengan menggendong Boran berisi nasi dan lauk-pauknya.

 


Istilah Nasi Boranan sendiri, diambil dari wadah nasi yang disebut Boranan, yaitu semacam keranjang yang terbuat dari bambu berbentuk lingkaran di bagian atas dan persegi di bagian bawah dengan keempat penyangga di setiap sudutnya. Dengan bentuk yang hampir sama, masyarakat sekitar Kota Lamongan juga menggunakan keranjang jenis ini untuk berbagai keperluan, seperti untuk mengangkut dan menyimpan berbagai komoditas hasil pertanian serta di beberapa tempat ditemukan juga sebagai alat pemindah air dari satu petak sawah ke petak kolam lainnya.

Banyak diantara kita yang mengira bahwa keunikan dari jenis masakan ini terdapat pada nasi-nya. Padahal nilai khas yang sebenarnya dari Nasi Boranan ialah terletak pada resep sambalnya. Ada dua jenis sambal yang digunakan disini, yaitu sambal kuah dan sambal urap. Pada pembuatan sambal kuah, bahan-bahan yang digunakan berupa cabe merah dan cabe rawit yang direbus, bawang merah dan bawang putih yang di goreng, parutan kelapa, sedikit beras mentah yang telah direndam beberapa saat sebagai pengental, serta lengkuas, jahe, terasi, garam, dan jeruk purut.

Pada pembuatan sambal urap, bahan-bahan yang digunakan ialah bawang merah, bawang putih, garam, cabe merah, penyedap rasa, dan parutan kelapa. Yang unik pada pembuatan sambal ini ialah cara mematangkannya. Pada umumnya, sambal urap dimatangkan dengan cara dikukus atau dibiarkan segar begitu saja. Akan tetapi disini untuk memanaskan sambal urap digunakan kreweng yaitu semacam tanah liat persegi yang dibakar sehingga menghasilkan sensasi rasa asap yang khas Nasi Boranan.

 

Nasi boranan, terdiri dari nasi, bumbu, lauk, rempeyek (sejenis krupuk bahan bakunya dari tepung beras yang dibumbui dan digoreng). Bumbu dari nasi boranan terdiri dari rempah-rempah yang sudah di haluskan, serta lauk yang ditawarkan oleh penjual bervariasi, diantaranya daging ayam, jeroan, telur dadar, telur asin, tahu, tempe, aneka ikan panggang, ikan Bandeng, ikan Kutuk, dan ikan Sili. Dari ketiga jenis ikan ini, hanya ikan bandeng yang dibudidayakan oleh warga, sedangkan lainnya yaitu ikan kutuk dan ikan sili, biasanya hidup liar di rawa-rawa atau sungai sehingga harganya paling mahal diantara jenis lauk lainnya

Untuk penjual nasi Boran pada pagi hari biasanya sudah berjualan sejak ukul 03.00 sampai dengan pukul 10.00 pagi. Untuk pembeli dini hari biasanya adalah para pedagang, tukang becak, sopir ataupun warga luar kota yang melewati Lamongan. Sedangkan untuk yang shift sore mulai dari pukul 16.00-pukul 22.00 dengan bergantian penjualnya pada tempat jualan yang sama.

 
Dari semua itu, lalu apa yang menjadikan Nasi Boranan identik dengan sajian rijsttafel ala Eropa? Istilah rijsttafel alias rice table sendiri sudah muncul sejak zaman kolonial Belanda menguasai Indonesia pada periode akhir, yaitu sekitar tahun 1900 M. Pada saat itu, orang Belanda melihat cara bersantap orang pribumi yang selalu makan bersama mengelilingi meja besar yang berisi nasi putih lengkap dengan beragam jenis lauk-pauknya. Melihat suasana makan yang begitu menyenangkan tanpa ada waktu tunggu sebagaimana kebiasaan makan orang Eropa yang berdasarkan giliran, membuat orang Belanda tertarik untuk meniru cara bersantap keluarga pribumi. Hanya saja mereka tetap menggunakan sendok-pisau-garpu, tidak seperti orang pribumi yang biasa menyantap dengan jari tangan dan duduk lesehan.

Untuk resep bumbunya, sajian rijsttafel tidak berbeda jauh dengan resep masakan pribumi yang kaya akan rempah, seperti jahe, merica, jintan, pala, ketumbar, cengkih, kunyit, dan lengkuas. Hanya saja yang perlu dikurangi ialah rasa pedas dari cabe, sehingga makanan yang dihasilkan tetap sesuai dengan selera orang Eropa.

Ciri khas dari sajian rijsttafel ialah terletak pada variasi dan jumlah masakannya. Saat pertama kali populer, jumlah sajian rijsttafel bahkan bisa mencapai 35 jenis sajian termasuk dengan nasi putih. Tentu tidak semua jenis sajian tersebut harus disantap. Biasanya semakin dihormati tamu yang datang, maka jumlah sajian akan semakin banyak. Selain itu, dalam tata-cara menghidangkan sajian rijsttafel, biasanya dihidangkan oleh para pramausaji pria (dalam perkembangannya, dilibatkan juga pramusaji wanita yang berpakaian kebaya dengan warna mencolok) yang berjumlah sesuai dengan jumlah masakannya

Secara umum, sajian menu rijsttafel terdiri dari makanan pembuka, menu utama, dan hidangan penutup. Ada juga yang hanya terdiri dari menu utama dan hidangan penutup. Untuk sajian pembuka, biasanya dipilih sajian yang ringan seperti sup panas, soto berkuah bening, atau lumpia. Untuk menu utama, dipilih nasi putih dengan lauk-pauk yang terdiri atas daging; baik daging ayam, sapi, maupun kambing, ikan, atau udang. Adapun sajian penutupnya bias berupa jajanan pasar tradisional, buah-buahan, atau beragam minuman.

Dari keterangan diatas, dapat kita bandingkan antara sajian Nasi Boranan dengan sajian Rijsttafel ala Eropa, maka dapat dilihat adanya persamaan di satu sisi dan juga perbedaan di sisi yang lain. Hal ini sangat wajar, mengingat munculnya Nasi Boranan baru sekitar 30-an tahun yang lalu. Hal ini menunjukan bahwa dari sisi sejarah, munculnya Nasi Boranan sangat jauh dibelakang setelah masa popularitas sajian rijsttafel ala Eropa.

Selain itu, dari sisi penikmat dapat pula dibandingkan bahwa penikmat sajian rijsttafel zaman dulu merupakan orang-orang Belanda pemilik perkebunan sehingga suasana glamour dan mewah sangat terasa pada saat menikmati sajian rijsttafel. Hal ini ditunjukan oleh sangat banyaknya jumlah hidangan yang disajikan oleh para pramusaji disertai dengan iringan musik tradisional Indonesia. Sedangkan saat ini, para penikmat setia Nasi Boranan di Kota Lamongan, sebagian besar ialah tukang ojek atau tukang becak, serta para pemuda dan warga masyarakat kelas menengah ke-bawah pada umumnya. Cara menikmatinya-pun cukup sederhana saja, yaitu dengan jari tangan dan duduk ber-lesehan tanpa menggunakan sendok-garpu apalagi pisau.

Barangkali kalau ingin menyepadankan sajian rijsttafel dengan sajian Indonesia saat ini, lebih mirip dengan sajian ala prasmanan yang banyak disuguhkan sewaktu ada hajatan atau dapat pula ditemui di hotel-hotel dan restoran. Namun demikian, sajian khas Kota Lamongan berupa Nasi Boranan ini, sungguh sangat kaya akan cita-rasa dan variasi jenis lauk-pauknya. Bahkan jika hitung jumlah lauknya, rata-rata setiap penjual Nasi Boranan membawa sekitar 10-13 jenis lauk-pauk. Jumlah ini sama banyaknya dengan jumlah sajian rijsttafel generasi berikutnya pada saat Belanda telah meninggalkan bumi Indonesia atau pasca Perang Dunia II.