Mari Bantu Kuatkan Mental Ibu Menyusui!

Oleh Erfano Nalakiano 15 Mar 2012

Sekolah tempatku mengajar terdapat dua hingga tiga guru dalam satu kelas. Biasanya terdapat satu guru laki-laki dan satu guru perempuan. Selama beberapa tahun menjadi guru, aku mendapatkan partner perempuan yang menikah lalu hamil dan cuti.

Seperti pagi ini, salah satu partnerku kembali masuk setelah cuti selama 3 bulan. Bayi perempuan yang dilahirkannya terlihat begitu sehat. Selama memegang kelas, partnerku akan menitipkan anaknya ke pengasuh.

Sembari mengawasi anak-anak mengerjakan kegiatan pagi, biasanya kami sarapan. Aku melihat partnerku membawa sayur bayam campur jagung.

“Wah hebat nih sekarang  bawa sayur!” kataku memuji, biasanya partnerku anti makan sayur. Kalaupun makan sayur biasanya memilih jenis sayuran tertentu.

“Iya, pak…ini biar ASIku banyak. Aku nggak mau kejadian anak pertama terjadi lagi,” ucapnya sambil menyuap beberapa sendok bayam.

“Loh, emangnya kenapa dengan anakmu yang pertama?” tanyaku serius.

“Iya, baru beberapa bulan menyusui ASIku berhenti, Pak. Jadi targetku memberikan ASI ekslusif gagal,” jawabnya, “Padahal saat menyusui anak pertama, aku lumayan rajin makan sayur. Tapi aku stress, pak!” lanjutnya serius.

“Oo..gitu, toh!” ucapku sambil mengangguk. Meskipun belum menikah, pembelajaran tentang ibu hamil, menyusui dan ASI penting bagiku kelak.

“Wajar memang, kalau anak pertama seorang ibu banyak yang stress. Biasanya sindrom baby blue kuat sekali. Sehingga berpengaruh terhadap keluarnya ASI,” ucapnya tanpa kutanya. Sindrom baby blue aku tahu dari film Get Married 3. Sebelumnya aku tidak tahu sama sekali.

Obrolan kami terhenti karena kegiatan pagi anak-anak dilanjutkan makan kudapan (Snack Time) bersama.

***

Sebagai anak pertama, aku menjadi saksi kehamilan dan proses menyusui ibuku. Meskipun hanya dua adikku terakhir yang aku ingat prosesnya. Selama kehamilan ibuku tak mengalami kendala apa-apa. Kelahiran pun dilakukan secara normal dan dibantu bidan. Saat menyusui pun, ibuku tak mengalami masalah. ASInya keluar dengan lancar, sehingga target ASI ekslusif mudah terlewati, bahkan hingga adikku usia dua tahun pun masih menyusui.

Ibuku bukan ibu rumah tangga semata. Ibuku juga seorang guru (PNS) dan menjadi tulang punggung keluarga. Namun beban yang ibu pikul tak membuatnya stress sehingga berpengaruh pada ASInya.

Beberapa guru perempuan di sekolahku yang melahirkan dan melakukan proses menyusui mengalami stress dan sedikit mengeluarkan ASI. Hal ini dipicu banyak hal, selain tak menyukai sayuran, faktor kesiapan mental dalam memiliki buah hati juga dapat menjadi penyebab sehingga timbul stress.

Selain itu resiko tinggal di kota besar membuat tingkat stress terjadi cukup besar. Kemacetan, sulitanya mencari tetangga untuk bersosialisasi dan bertanya tentang menyusui (di komplek perumahan) menjadi contoh kerasnya hidup di kota. Hal lain, makanan yang tidak sehat banyak dijual, mulai dari makanan cepat saji hingga makanan sehat seperti buah dan sayuran yang mengandung pestisida.

Terus terang aku dan ibuku tinggal di kampung. Meskipun fasilitas di kampung tak selengkap di kota namun ketenangan di kampung membuat tingkat stress berkurang. Selain itu makanan sehat non pestisida banyak keberadaannya. Jika ingin mengambil sayuran saja tinggal mengambil di belakang rumah. Sayuran seperti daun singkong, katuk, bayam, kangkung air mudah sekali tumbuh di kampung. Buah-buahan pun banyak tersedia, mulai dari pisang hingga buah musiman seperti rambutan, duku, dan mangga. Intinya tak sulit mencari makanan organik di kampung.

Hal lain, mudahnya mencari tetangga untuk berbagi ilmu dan bersosialisi. Beda dengan di kota, kekeluargaan di kampung masih erat. Sehingga, ketika seorang ibu yang melahirkan dan menyusui banyak sekali mendapatkan perhatian dari saudara dan tetangga. Itu yang kurasakan saat ibu melahirkan dan melakukan proses menyusui. Banyak tetangga datang dan tak segan memberikan masukan. Meskipun tak lantas, kehidupan di kampung menihilkan ibu muda yang stress. Ada beberapa tetangga yang memiliki kasus yang sama, sulit keluar ASI. Namun sekali lagi, dukungan dan masukan dari saudara dan tetangga membuat mental ibu muda menjadi kuat.

Tak lantas pula, ibu menyusui di kota seragam memiliki kasus sulit keluar ASI. Beberapa guru perempuan di sekolahku tak mengalami kesulitan dalam menyusui. Proses kelahirannya pun berjalan dengan baik. Selain karena dia menyukai sayuran, kesiapan mental dalam memiliki anak sudah disiapkannya.

Gelar ibu memang menjadi gelar yang tak mudah. Butuh kesiapan mental dalam menjalaninya. Niat dan tekad yang kuat untuk memberikan yang terbaik bagi buah hati sangat diperlukan seorang ibu. Contohnya untuk ibu yang tidak menyukai sayuran ada baiknya mencoba dan rutin mengkonsumsinya demi buah hati. Sang suami selain bertugas mencari nafkah juga perlu memberikan dukungan dan perhatian lebih bagi ibu yang menyusui.

Sebagai seorang partner di kelas, beberapa tugas ibu hamil dan menyusui biasanya aku ambil alih. Selain itu meminjamkan beberapa buku terkait dengan perkembangan anak aku lakukan. Profesiku sebagai guru membuatku harus memiliki banyak buku terkait anak-anak. Setidaknya buku-buku yang aku pinjamkan menambah wawasan seorang ibu. Hal lain yang juga kulakukan biasanya berbagi ilmu terkait pola hidup sehat yang aku dapatkan dari internet. Misalnya dari website Nutrisi Untuk Bangsa.

Membuat seorang ibu menyusui siap mental adalah tugas kita bersama. Banyak contoh dukungan yang dapat kita berikan. Tentu saja agar sang anak menjadi generasi lebih baik dan sehat. Imbasnya, Indonesia akan berkembang ke arah yang lebih baik. Mari kita bantu ibu menyusui di sekitar kita!

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Nutrisi Untuk Bangsa