Sekolah dan Guru Terbaik Bagi Sang Pemimpin

Oleh Shindi Wulandari 14 Oct 2013

            Namaku Shindi Wulandari. Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dan memiliki seorang ayah pekerja kantoran yang sibuk serta ibu yang bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sekarang aku duduk di bangku kuliah semester pertama Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Sumatera Utara. Ada sebuah kisah menarik yang terlintas dipikiranku ketika diajak berbagi kisah kehidupan bersama seorang ibu. Diusiaku yang sudah menginjak 19 tahun, aku mempunyai segudang kisah hidup dididik oleh seorang ibu yang luar biasa karena ibuku selalu ada di rumah menemani aku, abangku, dan adikku dari dulu hingga sekarang.

            Sejak kecil, ibu adalah orang yang paling dekat bersamaku. Tak jarang, ibu itu seperti lembah curhatan masalah pribadiku yang terkadang menambah masalah baru baginya. Sebagai anak yang baru mengerti “dunia”, hal itu kuanggap hal yang biasa karena sebagai ibu memang sudah seharusnya menerima masalah apapun dari seorang anak. Hingga akhirnya aku berhasil  menyelesaikan pendidikan dasarku di SD Negeri 1 No. 020267 Binjai, Sumatera Utara dengan pujian yang luar biasa dari guru. Pujian ini bukan karena aku selalu datang cepat ke sekolah tapi karena prestasi di sekolah yang membanggakan.

            Pendidikan pun berlanjut ke SMP Negeri 2 Binjai dan berhasil pula menamatkan pendidikan hingga SMA Negeri 2 Binjai. Prestasi itu ternyata bukan sebuah kebetulan, tapi terus tergores dari tinta-tinta pikiranku. Ada beberapa kebanggaan yang kunikmati sejak kecil, yaitu selalu mendapatkan peringkat 10 besar di sekolah dan yang paling berkesan adalah ketika menyabet juara 3 mata pelajaran fisika se-Kota Binjai. Masih banyak lagi prestasi yang kudapat namun dua hal tersebut yang sangat berkesan bagiku. Tapi apa hubungannya dengan Ibu ?

            Aku akan menjawabnya dengan cerita nyata dari perjalanan hidupku. Pada suatu hari, aku mengikuti upacara bendera. Saat itu, kepala sekolahku menyampaikan pidato dan aku mengingatnya bahwa pemimpin itu tidak akan pernah terlahir dari rahim seorang wanita begitu saja melainkan terbentuk dari sebuah proses yang panjang. Awalnya aku tak peduli apa yang diucapkannya, namun dengan berjalannya waktu seraya mengikuti berbagai pelatihan dan seminar dari sekolah dan lembaga pemerintahan di Kota Binjai aku mulai sadar bahwa kepemimpinan itu benar-benar tidak bisa diwariskan. Kepemimpinan itu timbul dengan sebuah proses panjang. Pantas saja ibuku selalu berusaha memasukkan aku ke sekolah yang hebat agar aku juga bisa ikut menjadi orang hebat kelak.

            Kita flashback ceritanya. Di masa pendidikan sekolah, aku sangat berharap masuk di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1 Binjai setelah lulus SD Negeri 1 No. 020267 Binjai. Maklum saja, kedua sekolah tersebut terkenal bagus di Kota Binjai. Namun, ketika aku merasa ujian sekolah itu bisa “dibeli” dan aku tidak lulus di sekolah tersebut, aku menemukan sebuah fakta yang menghibur hatiku bahwa sekolah unggul tak selamanya bisa menciptakan anak-anak yang unggul. Aku sadar bahwa sekolah unggul hanyalah sebuah lembaga yang menampung banyak anak-anak unggul. Tanpa mereka, lembaga pendidikan itu sama saja seperti lembaga pendidikan yang lain. Satu hal lagi yang aku temukan bahwa anak-anak yang unggul tidak tercipta dari sebuah sekolah yang unggul melainkan di sebuah tempat yang seribu kali lebih baik dari sekolah unggul dan banyak pemimpin yang telah mengubah dunia terlahir disana dan aku menyebutnya rumah dengan guru terbaiknya adalah ibuku.

            Mengapa rumah dan ibu ? Karena rumah menjadi sekolah pertama bagi anak. Selama ini aku merasa bahwa ibuku adalah guru terbaik yang mengajarkanku betapa indahnya kasih sayang dan beliaulah yang mendirikan sekolah pertama bagiku dan kedua saudara kandungku. Aku bangga dengan ibuku karena tidak dapat kubayangkan bila saja semasa kecil aku dititipkan pada pembantu atau tempat penitipan anak. Bukan hal yang aneh di Kotaku jika anak dititipkan ke perawat atau pembantu karena alasan kerja atau hanya ingin melepaskan keletihan. Memang banyak pembantu yang baik tetapi menurutku masih banyak pula pembantu di Indonesia yang memiliki pendidikan rendah. Bila saja dalam sehari 10 jam dan dilakukan selama 5 hari saja dalam seminggu aku bersama pembantu, maka aku tidak tau bagaimana contoh kehidupan yang patut aku teladani. Mungkin sebuah pepatah akan menguatkan argumenku, yaitu anak yang dilahirkan selalu dalam keadaan suci dan orangtua lah yang menjadikan anak mereka kufur ataupun durhaka. Ini berarti bahwa peran orang tua terutama ibu bagiku sebagai orang terdekat disepanjang hari di rumah adalah sosok pendidik yang sangat penting. Di rumahku yang sederhana pula aku diajarkan bagaimana cara hidup jujur dan sederhana. Ya, sebuah rumah yang mengajarkanku rasa percaya diri yang kuat serta cinta terhadap ilmu pengetahuan. Sejak usiaku empat tahun saja, ibuku selalu menceritakan kisah perjuangan nabi dan rasul sebelum aku tidur. Beliau menceritakan kisah kepemimpinan yang hebat dari sang nabi dan rasul yang mampu menuntun para pengikutnya kepada kebenaran. Beliau juga mengajarkan pentingnya memelihara kejujuran dan kepedulian terhadap sesama. Beliau menguatkanku ketika aku takut ditinggalkan sendiri di TK hingga akhirnya dapat bergaul dengan baik dengan teman-teman kecilku. Dan kekuatan itulah yang kurasa memberi efek bagi rentetan prestasi yang kuraih dan keberanianku untuk bernyanyi pertama kali di acara ulang tahun teman kecilku yang bernama Aria Mardiani Syahfitri. Aku tidak merisaukan kegagalanku masuk di sekolah negeri yang unggul di mata masyarakat karena di sana tidak menjanjikan pendidikan karakter, akhlak, dan moral. Aku merasa bahwa ibu dan rumahku sudah cukup untuk mengajariku bagaimana menjalani kehidupan dan aku yakin akan menjadi pemimpin masa depan karena telah dididik oleh guru terbaik dan di sekolah terbaik pula.