Desa Jake, Kuala Singingi, didominasi oleh wilayah perkebunan, umumnya sawit dan karet. Penduduknya pun didominasi oleh buruh kebun, yang berasal dari berbagai wilayah, sebut saja, Jambi, Palembang, penduduk lokal, hingga perantauan dari Pulau Jawa.
Kedua persoalan tadi berujung pada persoalan yang sama, masalah gizi kurang hingga gizi buruk, terutama pada balita. Tercatat 18 balita dari 300 balita di wilayah tersebut mengalami gizi kurang.
Persoalan tidak selesai hanya dengan pembentukan pondok gizi. Luasnya lahan perkebunan menjadikan jarak sebagai kendala, selain itu kesibukan para ibu diperkebunan menjadikan pondok gizi sepi pengunjung. Sementara beberapa lain terlalu malas atau terlalu sungkan untuk mengunjungi pondok gizi.
Tidak membutuhkan waktu cukup lama untuk membuat ibu-ibu yang tadinya hanya menitip kotak kosong untuk ikut aktif mendatangi pondok gizi. Kegigihan ini membuahkan hasil, jumlah balita dengan gizi kurang menruun hingga empat orang saja saat program berakhir.
Syafrianti yang telah bertugas di wilayah tersebut sejak 1987 menyadari tanah perkebunan tua yang mulai tandus membuat proses penanaman menjadi sulit. Sebab itu dia berinisiatif membagikan polybag sebagai media tanam. Dengan demikian masyarakat sekitar dapat memproduksi sendiri asupan gizi mereka tanpa harus berjalan 2 km menuju pondok gizi.
Masyarakat Muna, Sulawesi Tenggara, hidup dengan mitos, bahwa tangisan bayi adalah indikasi lapar. Jadilah bayi berusia 2 hari saja sudah mengenal rasa pisang dan madu. Bayi dianggap tidak akan cukup kenyang dengan air susu ibu (ASI).
Sebab itu Bidan Rahmi menyadari bahwa sosialisasi pentingnya ASI eksklusif tidak bisa hanya diberikan kepada ibu. Payudara yang dapat mengeluarkan air susu memang hanya dimiliki perempuan, tapi bukan berarti menyusui hanya menjadi beban perempuan.
Rahmi yang telah bergelut di Muna sejak 1995 paham betul bahwa yang pertama-tama harus menjadi sasaran sosialisasi adalah pada Kepala Desa, aparat desa, tokoh masyarakat, dan para suami. Tak lupa tentu sosialisasi juga diberikan kepada ibu dan calon ibu.
Lagi pula anak yang sehat bukan saja manfaat bagi ibu semata, melainkan bagi masyarakat sekitar dan negara dalam lingkup yang lebih luas. Seperti yang ia percaya, semua hal berkelindan, sistemik, dan tak bisa dilihat berdiri sendiri-sendiri.
"Karena menyusui adalah tanggung jawab masyarakat," tegas Rahmi.
Tidak hanya kumuh, daerah Tulehu, Maluku Tengah juga kesulitan akses air bersih. Keadaan yang sangat tepat untuk menghasilkan balita-balita dengan masalah gizi.
Persoalannya, masyarakat Tulehu tidak hanya miskin, tetapi juga malas dan tidak termotivasi, menyebabkan Posyandu sepi pengunjung. Posyandu menjadi semakin sepi lantaran masyarakat Tulehu kebanyakan bekerja sebagai pedagang kecil.
Hingga akhirnya Bidan 36 tahun tersebut berkesimpulan asupan gizi yang telah disiapkan tidak akan mencapai balita yang disasar kalau tidak diantarkan hingga ke pintu rumah masing-masing rumah tangga.
Jadilah per 14 Juni 2012 Patima yang telah menjadi bidang di wilayah tersebut sejak 2006 mulai mengantarkan tambahan asupan gizi bagi para balita. Gizi di dalam rantang tersebut dibagikan setiap pagi kepada masing-masing rumah tangga setiap pagi, sebelum pada ibu menjadi terlalu sibuk dengan pekerjaannya.