Informasi Media

Anda adalah seorang jurnalis, penerbit, komunikasi atau media profesional: 
Kami di sini untuk menjawab pertanyaan Anda berkaitan dengan kelompok berita / data, permintaan wawancara, permintaan kemitraan

Alergi Protein Susu Sapi Bukan Penghalang Tumbuh Kembang Anak

Latest Update: 16 Apr 2014

Jakarta, 16 April 2014 – Angka kejadian penyakit alergi  meningkat sejalan dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, polusi  lingkungan maupun keberadaan zat-zat tertentu yang ada dalam makanan. Alergi protein susu sapi merupakan bentuk alergi makanan yang paling umum dialami oleh anak, dan diperkirakan 0,3% – 7,5% anak mengalami alergi protein susu sapi. Untuk itu dibutuhkan langkah penanganan yang tepat agar anak tetap dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Demikian beberapa pokok kesimpulan dari diskusi Nutritalk yang diselenggarakan hari ini oleh Sarihusada.

Acara diskusi hari ini dihadiri oleh dr. Marina Damajanti, MKM selaku Kepala Subdirektorat Bina Gizi Klinik, Direktorat Bina Gizi, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Selain itu, turut tampil sebagai pembicara ahli lain yaitu dr. Zakiudin Munasir, SpA(K) – Ketua Divisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan anak FK UI, RSCM, dan dr. Bernie Endryani Medise, SpA(K), MPH ahli tumbuh kembang anak.

Alergi protein susu sapi adalah salah satu alergi makanan yang paling umum dialami oleh anak, disebabkan oleh reaksi imunologis akibat pemberian susu sapi dan semua bentuk turunannya, yang biasanya mulai terlihat dalam usia 6 bulan pertama setelah lahir dan biasanya muncul di organ tubuh tertentu. Pemicunya adalah saat sistem imun anak mengganggap bahwa kandungan protein pada susu sapi sebagai zat yang berbahaya. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh anak  akan melawan protein yang terdapat dalam susu sapi sehingga gejala-gejala reaksi alergi akan muncul.

dr. Zakiudin Munasir, SpA(K) – Ketua Divisi Alergi-Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan anak FK UI, RSCM, menerangkan, “Alergi ini umumnya mengenai anak yang mempunyai bakat alergi yang disebut atopik, dimana bakat tersebut diturunkan secara genetik oleh salah satu atau kedua orangtuanya. Jika orang tua memiliki alergi terhadap suatu makanan, termasuk susu sapi, maka 50% kemungkinan si anak memiliki alergi yang sama. Selain faktor genetik, faktor lain yang bisa menimbulkan alergi adalah faktor lingkungan.”

Gejala yang paling sering muncul pada anak yang memiliki alergi protein susu sapi adalah masalah di saluran cerna, mulai dari muntah, kolik, diare, darah dalam feses serta masalah pada kulit berupa bentol merah gatal, bentol merah berisi cairan, keropeng, kulit kering dan gatal.

Gejala klinis lain yang mungkin muncul adalah bengkak dan gatal di bibir sampai lidah, nyeri dan kejang perut, muntah sampai diare berat yang disertai berdarah. Alergi ini juga bisa juga berdampak pada gangguan saluran pernapasan seperti bersin-bersin disertai gatal di hidung, hidung tersumbat, batuk pilek berulang, sesak napas dan asma.

Saat ini, masih sering ditemukan kasus anak penderita alergi protein susu sapi yang terkena gangguan di saluran cerna menjadi sulit makan sehingga menimbulkan komplikasi kurang gizi atau malnutrisi. Biasanya ditandai dengan berat dan tinggi badan yang sulit bertambah. Apabila dibiarkan, tentunya dapat berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan fisik serta kecerdasan anak.

dr. Bernie Endryani Medise, SpA(K), MPH, Ahli Tumbuh Kembang Anak menjelaskan, “Anak dengan alergi makanan lebih sering mengalami gangguan pertumbuhan yang berhubungan dengan gangguan asupan makanan. Sehingga langkah yang paling ideal adalah menghindari makanan penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi, memberikan subtitusi nutrisi yang dibutuhkan dalam jumlah tepat serta pemantauan tumbuh kembang anak secara rutin. Hal ini akan membantu anak alergi tumbuh dan berkembang secara optimal,” jelasnya.

dr Zakiudin Munasir, SpA(K) menambahkan, penanganan dasar dan efektif untuk alergi protein susu sapi adalah dengan menghindari protein susu sapi atau produk turunannya. Selama penanganan alergi susu sapi, pemberian air susu ibu atau ASI kepada bayi yang menderita alergi tersebut tidak boleh dihentikan terutama selama masa pemberian ASI eksklusif pada saat bayi berusia 0-6 bulan.

“ASI merupakan nutrisi terbaik karena mengandung nutrisi lengkap dan bisa berefek positif terhadap sistem ketahanan tubuh anak. Tetapi bila ASI tidak dapat diberikan atas indikasi medis, alternatif lain dengan menggunakan susu formula ‘hipoalergenik’ atau pemberian susu kedelai (soya),” ujar dr Zaki.

Susu pertumbuhan kedelai merupakan alternatif pengganti susu sapi karena mengandung isolat protein kedelai dan sudah difortifikasi sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anak. Perlu diperhatikan bahwa susu pertumbuhan kedelai yang dianjurkan adalah yang mengandung isolat protein kedelai, susu pertumbuhan ini berbeda dengan susu sari kedelai. Adapun keuntungan susu kedelai dibandingkan susu protein hidrolisat ekstensif adalah tidak mempunyai protein susu sapi, rasa lebih enak, harga lebih terjangkau, dan dapat menunjang tumbuh kembang anak yang optimal termasuk di dalamnya penambahan berat badan, tinggi badan, dan mineralisasi tulang yang baik .

Arif Mujahidin, Head of Corporate Affairs Sarihusada menuturkan, “Sarihusada percaya bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dengan dukungan nutrisi yang tepat dan seimbang, terutama pada 1000 hari pertama kehidupannya."

“Kami harap materi yang dibahas pada edisi Nutritalk kali ini mampu meningkatkan kesadaran Ibu mengenai alergi susu sapi dan memperhatikan kebutuhan nutrisi yang paling tepat untuk buah hati mereka sehingga semakin banyak anak Indonesia yang tumbuh kembangnya optimal di tengah kondisi yang beragam,” jelas Arif

Back to Archive