Ada Saatnya Harus Menjadi 'Mother Monster'

Oleh binta almamba 03 Oct 2013

Saya mungkin orang tua yang tak begitu menerapkan teori-teori yang pernah diberikan olah para pakar pendidikan anak, baik itu yang terdapat dalam artikel, buku atau seminar. Pada kenyataannya selain teori itu susah dipraktekkan tetapi juga ternyata tak semua cocok untuk semua anak-anak yang sangat beragam karakternya

Sesungguhnya watak atau karakter anak tentulah yang paling mengenalnya adalah orang tua. Orang yang menemani aktifitasnya selama 24 jam, dan harusnya yang paling mengerti cara penanganannya juga orang tuanya, bukan orang lain. Tak semua kata-kata psikolog atau anggota komnas perlindungan anak teorinya harus dipatuhi. Ada beberapa hal yang harus disesuaikan dengan kondisi tertentu saat berinteraksi dengan anak.

Teori-teori yang agaknya kurang saya patuhi adalah :

1. Jangan pernah berkata dengan nada tinggi kepada anak, karena akan membunuh benih-benih kreatifitasnya.

Ahay… dalam hal ini, jujur saya akui kalau saya meski tidak sering tapi pernah juga berkata keras atau membentak kepada anak. Saya berpendapat bahwa berkata dengan keras itu juga perlu, tergantung keadaannya.

Anak sulung saya bernama Fahri, usianya 8 tahun. Sementara yang kedua bernama Zahra, berusia 4 tahun.

Semisal kalau Fahri dan Zahra sedang menghadapi bahaya, seperti main lari-larian tak peduli jalan raya atau main lari-larian di dekat lubang sumur, apa mungkin saya masih bisa berkata-kata lembut dan santai? Jika peringatan pertama dengan volume standar tidak didengar dan dipatuhi maka bagi saya wajib berkata keras-keras untuk melarangnya jika pada saat itu saya tak punya waktu cukup untuk mendatangi tempatnya bermain.

Contoh lagi adalah ketika Fahri atau Zahra sengaja atau tidak sengaja mengganggu orang lain, baik itu teman sebayanya, anak yang lebih kecil atau orang dewasa. Saya mewajibkannya berhenti dari perbuatan mengganggu tersebut dan minta maaf. Saya tidak pernah memintakan maaf atas kelakukan anak saya. Dia harus belajar bertanggung jawab untuk minta maaf sendiri. Jikalau tidak mau maka saya juga terpaksa berkata dengan nada tinggi. Memasang wajah ‘monster’ agar mereka mau melakukan apa yang saya minta. Setelah mereka memenuhi permintaan saya untuk minta maaf, maka biasanya saya susul dengan permintaan maaf saya karena telah ‘menakuti’ mereka.

Berkata dengan nada tinggi memang bisa membunuh benih-benih kreatifitas anak. Namun logikanya kreatifitas itu kan bukan hanya dalam hal-hal yang positif bukan? banyak juga kejahatan-kejahatan yang dilakukan dengan sangat cerdas dan kreatif, seperti penipuan dengan bermacam-macam modus. Yang bisa dikata setiap masa selalu terlahir tipuan-tipuan dengan kreasi yang baru yang kesemuanya tetap saja merugikan orang lain. Nah harapan saya saat berkata keras dalam situasi yang saya anggap urgen diatas itu hanya membunuh benih-benih kreatifitas yang negatif saja.

2. Jangan pernah berkata ‘jangan’ kepada anak, alias melarang. Tapi ajak dan alihkan perhatiannya kepada kegiatan lain.

Wow, ini teori kedengarannya bijak dan mudah ya? tapi bagi saya ini kurang mendidik. Jangan pernah melarang!, bukankah nanti secara tidak langsung malah menjadikan anak tak mengerti apa itu larangan. Padahal kelak ketika mereka dewasa akan dihadapkan berbagai macam peraturan di masyarakat. Peraturan-peraturan yang didalamnya ada perintah dan juga larangan. Lagipula mengalihkan kepada aktifitas lain itu juga sangat susah dilakukan, ketika aktifitas pertama belum ada kalimat larangan.

“Jangan corat-coret tembok!” saya sering mengatakan hal itu kepada Fahri dan Zahra. Meski ada saran dari orang lain untuk membiarkan mereka menumpahkan kreatifitasnya dalam menarikan crayon atau pensil. Dan orang-orang yang manyarankan itu saya lihat tembok rumah mereka juga penuh dengan coretan benang kusut tak berbentuk. Hmm.. iya benar saya dengan tegas berkata ‘jangan’ yang berarti larangan. Supaya mereka tahu bahwa menulis tempatnya bukan di tembok, tapi di papan tulis, buku atau kertas. Jadi setelah melarang saya dan suami membuatkan papan tulis juga memberikan buku dan kertas sebanyak-banyaknya dan mengatakan bahwa mereka bebas mencoret apa saja disana. Dengan melarang mencoret tembok saya ingin menunjukkan sebuah peraturan-peraturan skala kecil, sebelum dia kelak dijejali berbagai macam peraturan skala besar saat dewasa.

Bukankah dalam peraturan di masyarakat nanti akan ada sangsi jika nekat menerjang larangan? akan ada namanya hukuman tilang, denda atau kurungan penjara jika berurusan dengan polisi. Akan ada sangsi digunjingkan dan dicemooh jika nekat menerjang larangan adat atau larangan agama dalam lingkuan masyarakat tempat tinggal kita. Jadi menurut saya tak ada salahnya melarang, tapi harus disertai alasan yang tepat untuk menunjukkan bahwa perbuatan yang dilarang itu kesalahan. Jika tak pernah dilarang mana mungkin anak akan tahu apa itu kesalahan.

Fahri dan Zahra, anak-anak saya kelak akan menjadi pemimpin untuk anggota tubuh, akal dan hatinya sendiri. Maka saya menyiapkan sedini mungkin -dengan cara saya- agar mereka nantinya mampu bijaksana dalam menjalankan kepemimpinannya.

Jika mereka sudah mampu memimpin dirinya sendiri, insyaAllah menjadi apapun mereka nanti tidak akan menjadi manusia yang merugi. Akan menjadi manusia yang berusaha bermanfaat untuk orang lain.

Doa dan dukungan saya selalu untuk anak-anak tersayang, Fahri dan Zahra.
***