Aku Menginginkan Anakku...

Oleh Y Saminem 08 Oct 2013

Berbicara mengenai anak bermacam-macam pula pendapat yang menyatakan apa artinya anak di dalam sebuah keluarga dan dalam hidup seseorang. Ada orang tua yang berpendapat bahwa anak bak tambang emas yang dipandang oleh orang tua harus bisa menghasilkan sesuatu keberuntungan mutlak bagi mereka, ada yang beranggapan anak itu sesuatu yang merepotkan sehingga menghambat karier orang tua, tetapi ada juga orang tua yang berpikiran bijak sehingga anak dipandang merupakan suatu anugerah, amanah dari Tuhan yang dititipkan untuk di sayangi, dikasihi, dicintai, dibimbing, dan didampinginya sampai anak benar-benar menjadi manusia yang dewasa dan mandiri hidupnya.   Demikian juga menyangkut bagaimana  prosesnya anak hadir dalam suatu keluarga, ada anak yang lahir bermula semata mata dari hubungan tidak sengaja sehingga begitu dalam rahim wanita tumbuh manusia baru, wanita merasa malu, bingung,benci, bahkan  ada yang tega untuk menghancurkan hidup, sampai merampas hak hidupnya yaitu membunuhnya. Tetapi ada juga keluarga yang sungguh mendambakan kehadiran anak tetapi bertahun-tahun bahkan  berpuluh-puluh tahun tidak mendapatkannya, sehingga beribu macam cara dan berjuta-juta uang keluar demi untuk mendambakan kehadiran sang anak. Dari berbagai fakta tersebut kita menjadi lebih memahami bagaimana arti seorang anak dalam sebuah keluarga. Jika anak adalah suatu karunia menjadikan betapa berarti  dan bernilainya sang anak dalam keluarga tentunya. Apapun itu keadaan  yang terdapat dalam diri anak kita, sebagai orang tua pastilah kita ingin memberikan  padanya yang terbaik dan menjadikan anak  itu sebagai  buah cinta yang membanggakan hati karena kemuliaannya.

Bagaimana kita, sebagai seorang ibu dan orang tua bisa membentuk anak kita menjadi seorang pemimpin yang mulia?

Sebagai ibu, aku menginginkan anakku tumbuh menjadi anak yang sederhana, bertanggungjawab dan mandiri dalam hidupnya, tabah dan sabar serta mensyukuri anugerah Tuhan berupa suka dan duka dalam perjalanan hidupnya. Karena kekayaan belumlah menjamin seratus prosen kebahagiaan hidup seseorang. Karena aku lahir dari keluarga yang tidak berada dengan keterbatasan dalam segala hal, maka aku tanamkan pada anakku untuk mandiri dan tidak bergantung pada kemampuan orang lain. Aku membiasakan anakku untuk pantang menyerah dalam menghadapi segala kesulitan  hidup dan mensyukuri anugerah hidup sekalipun anugerah penderitaan dan kekecewaan. Berat mungkin tuntutanku, tetapi kuharap tidak bagi anakku. Bagiku hidup adalah suatu perjuangan yang tiada akhir dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Ya…, berjuang dan berperang yang dimulai dari melawan kemalasan dan kebodohan pada diri sendiri. Oleh sebab itu jika kelak ingin  hidup bahagia haruslah berani mengalami susah, sakit, dan menderita (dalam bahasa jawa = wani ngrekasa). Untuk mengerti dalam hal ini, pada mulanya kutunjukkan pada anakku yaitu  telur ayam yang dierami induknya yang hampir menetas menjadi ayam. “Lihatlah anakku, anak ayam yang masih didalam cangkang itu harus berjuang memecahkan cangkangnya sendirian, sang induk hanya mendampinginya. Dia harus berjuang sekuat tenaganya dengan sakit (berdarah) dan susah payah untuk bisa keluar dari cangkangnya sehingga akan menjadi ayam yang sesungguhnya. Apa yang akan terjadi jika kita membantu mengupas kulit cangkangnya supaya si anak ayam cepat keluar dari cangkangnya?” Bukan pertumbuhan yang sempurna tetapi akan tercipta ayam-ayam yang cacat sepanjang hidupnya,” jawabku. Demikian juga kamu, dalam menghadapi hidup ini harus berani sakit dan menderita, karena didalam penderitaan yang sebenarnya adalah terkandung kebahagiaan sejati. Jika kita tidak pernah mengalami susah dan menderita, bagaimana kita bisa merasakan kebahagiaan yang sebenarnya?”. Pada mulanya anakku memang belum mengerti tetapi aku sering mengajaknya bicara dan bersenda gurau sebagai salah satu bentuk perhatian baginya. Dalam pembicaraan itu kusisipkan suatu nasihat tentang bagaimana menyikapi hidup dan kehidupan pada saat ini dan yang akan datang. Perjuangan itu tiada akhir, jika dulu kala pahlawan berjuang melawan penjajah dengan pedang atau senapan tetapi sekarang yang kamu perjuangkan adalah mewujudkan impian masa depan yang lebih cerah dan gemilang, membentuk pribadi yang utuh dan tangguh. Bagaimana caranya? Berawal dari berperang melawan kemalasan yang ada dalam dirimu sendiri, berlatihlah disiplin, bertanggungjawablah tentang perbuatanmu sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan mandirilah tidak manja ataupun cengeng. Anakku mengangguk-anggukkan kepala tanda ia pun setuju.

Kubimbing anakku dengan doa, sejak awal dia tercipta dan tinggal bersama dalam rahimku. Kuberikan asupan gizi yang menurut ukuranku cukup baik agar anakku tumbuh sehat dan lahir selamat. Disetiap penghujung malamku tak lupa aku sebut namanya dalam doaku, aku minta pada-Nya agar anakku menjadi anak yang mulia, tidak nakal, tidak berani dan membantah nasihat orang tua.   Jika ada hal yang kurang berkenan dan membuatku kesal, aku tidak pernah memarahinya. Aku mengajaknya bicara dari hati dan perasaannya. Aku tidak pernah mendidiknya dengan kekerasan dan emosional. Aku berharap anakku meneladani kesabaranku. Tetapi jika nasihatku tidak dipedulikannya aku melapor kepada Tuhan. Aku juga minta kepada-Nya agar aku dimampukan dan dipercaya untuk menjadi ibu yang baik, bisa membimbing anak dengan penuh kasih, anak yang dianugerahkan dan dipercayakan  oleh Tuhan padaku untuk aku bimbing dan aku dampingi hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, dan berguna bagi semesta ini. Anakku selalu aku ajak berdoa bersama, karena keberhasilan tidak akan pernah lepas dari doa dan berkah Yang Maha Kuasa. Dan apalah artinya kesuksesan jika tidak dilandasi dengan iman, laksana orang buta yang berjalan tanpa tongkat dalam kegelapan. Masih lumayan orang buta tapi punya mata dan telinga hati yang tajam, tetapi bagaimana jika anak-anak kita yang menjadi buta hati dan tuli hatinya ? Ah, aku tidak ingin terjadi demikian!

Dulu pada  waktu baru membangun rumah yang sekarang menjadi tempat tinggal kami,  anakku aku ajak serta tinggal pada rumah yang baru dibangun, belum ada kamar dan atap karena masih berbentuk pondasi dengan tanaman bata merahnya yang baru sebagian. Suamiku memberikan aku dan anakku tempat untuk berteduh dari gubug beratap seng, dan berdinding plastik untuk memasak dan mandi. Jika malam kami tidur dengan menggelar tenda dengan mengamati bintang-bintang dilangit yang selalu bernyanyi menguatkan dan memberikan semangat dalam hidup kami. Dan hal ini benar-benar kami rasakan yaitu hidup beralas bumi dan beratap langit. Karena memang pada menjelang tidur kami bisa mengamati bintang-bintang bertaburan di angkasa raya itu. “ Indah bila hanya sesaat saja, tapi menjemukan jika berlangsung kelamaan!” kata Gaby anakku pada waktu itu dengan lugunya karena usia anakku saat itu baru enam setengah tahun. Suatu saat datanglah hujan deras dimalam itu, anakku mengeluh dan mengumpat kesal tentang penderitaan ini. Tetapi aku selalu membesarkan hatinya bahwa setelah usai nanti kita akan punya rumah yang bagus, maka kita tidak boleh menyerah dan putus asa. “Apapun yang Tuhan beri itu adalah yang terbaik bagi umatnya, bagi kita! Bukankah dengan hujan deras Gaby menjadi lebih bersyukur karena tempat tinggal kita tidak berdebu lagi? “Tapi pakaian Gaby jadi basah semua Bu, karena kita belum punya almari!” sanggah anakku . Memang semua pakaian kami pada waktu itu baru kami bungkus koran didalam kardus besar. Meski sebenarnya dalam hati aku menangis melihat hal itu, tetapi kukatakan pada anakku: “Tetapi besok matahari akan datang dengan panasnya untuk mengeringkan pakaianmu, sayang ! Percayalah hal itu, nanti Gaby akan merasakan hangat dan nikmatnya pakai baju yang kering! Gaby akan bisa bersyukur bahwa kita hanya sementara saja mengalami penderitaan ini tetapi diluar sana banyak orang yang tidak mempunyai tempat tinggal sama sekali dan menderita dalam waktu yang cukup lama, bahkan sampai sepanjang hidupnya”. Kukatakan demikian, karena aku berharap anakku akan mempunyai  jiwa yang kuat, tabah, dan sabar menghadapi segala kesulitan dalam hidupnya kelak. Sehingga  tumbuh pula jiwa sosial untuk menolong dan mengasihi orang menderita.

Bagaimana aku menanamkan jiwa kemandirian pada anakku? Aku mengawalinya untuk memiliki sikap berani dan tidak takut. Ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) anakku dilatih untuk bisa makan sendiri, di rumahpun aku bimbing dia untuk mengerjakan sendiri hal-hal yang sudah bisa untuk  dia kerjakan sendiri, seperti mandi, makan, mencuci piring, dan mencuci bajunya sendiri. Meski hal itu belum sempurna dia lakukan tetapi aku selalu memuji hasil kerja dan memberikan semangat bahwa hari esok kamu pasti bisa mengerjakan semua tugas dengan sempurna. Pernah ketika pulang sekolah dia melapor sambil menangis: ” Ibu…ibu ... tadi di sekolah Gaby ditendang oleh Ozan, Bu! Ozan suka mengganggu itu Bu… Gaby jadi malas dan takut!”

“Ah, anak ibu menghadapi hal seperti itu saja kok mengeluh ya,” jawabku.  “Jika Gaby benar, mengapa mesti takut kepada Ozan?”  Sambungku: ”Sekalipun dia laki-laki jika tidak benar, lawanlah saja dia, jangan jadi penakut! Kamu harus menjadi pemberani tidak boleh cengeng! Jika kamu berani, lain hari Ozan pasti tidak nakal lagi pada Gaby, tetapi akan lebih baik lagi jika Gaby berani untuk tampil di depan kelas, di depan teman-teman, tidak hanya berani dengan teman-teman yang nakal, tapi tunjukkan bahwa Gaby itu bisa dan lebih baik dari mereka dalam segala hal.” kataku kemudian. Benar saja, anakku kemudian menjadi berani tampil di depan teman dihadapan guru dan tidak cengeng lagi. Teman-teman tidak nakal dan mengejeknya lag.  oleh ibu gurunya  dia diberi tugas  memimpin teman-teman sekelasnya dalam berdoa dan menjadi pemimpin dalam regunya.

Sejak kecil aku tidak pernah menakut-nakuti anakku dengan kata-kata atau dengan adanya banyak setan atau yang sejenisnya. Aku tidak pernah mengatakan hiii, takuuut gelap , ada setan, dan sebagainya, karena kata-kata itu hanya akan meracuni anakku, sehingga hal itu bukanlah membuat anakku tumbuh menjadi yang aku harapkan tetapi malah berdampak anak tumbuh menjadi penakut sejati. Pernah suatu waktu karena rumahku yang kubangun ditanah kosong itu kata orang-orang sebelah ada yang ikut berpenghuni disitu. “Ibu, kata tetangga di atap rumah kita ada sundel bolong dan pocongan yang main ayunan Bu… Bagaimana Bu, Gaby nggak mau tinggal sendiri dirumah!

“Ah, siapa bilang?”  jawabku. “ Jika orang tidak berdoa dan tidak dekat dengan Tuhan pastilah berkata demikian karena mereka berteman dengan setan, maka setan itu menampakkan diri dan ingin bermain dengan mereka. Tetapi jika kita  berdoa dan dekat dengan Tuhan, maka Tuhan juga akan dekat dengan kita. Ada malaikat disamping kita selalu, yang diberi tugas oleh Tuhan untuk selalu menjaga dan mendampingi hidup kita. Tidak ada sejarahnya bahwa Tuhan kalah melawan setan, tetapi yang ada adalah Tuhan yang menang untuk mengusir dan mengalahkan setan dan iblis sekalipun, jadi mengapa Gaby mesti takut?!”  jawabku untuk membesarkan hatinya. Jadi begitulah, meski pada waktu itu anakku baru kelas I SD tetapi tidak pernah merasa takut untuk berada di rumah sendiri jika kami belum berada dirumah.

Aku memang tidak pernah memberikan apa yang menjadi permintaan anakku sekonyong-konyong yang dia minta atau dengan cuma-cuma. Meskipun kadang yang diminta ada digengggaman tanganku, tetapi kuberikan rentang waktu untuk mengabulkannya. Kadang juga kubiarkan dia menangis. Biarlah kamu menangis karena dalam hidupmu nanti apa yang menjadi keinginanmu belum mesti juga dapat terpenuhi semuanya. Tetapi perlu waktu dan proses, karena memang ada keinginan yang dapat kita capai dengan mudah, tetapi ada juga keinginan yang perlu diperjuangkan dengan susah payah lebih dahulu baru bisa tercapai. Oleh sebab itu maka menangislah untuk sukses! Menangislah untuk menjadi bisa ! Kata–kata itu selalu aku dengungkan di saat-saat menginginkan sesuatu. Jadi, jika Gaby ingin keinginannya tercapai maka Geby harus berjuang dan bekerja keras untuk mewujudkan keinginan itu, jangan lupa berdoalah kepada Tuhan agar memberkati keinginanmu itu. Sekali waktu anakku minta dibelikan sesuatu dengan menangis dan mengamuk! “Pokoknya aku mau dibelikan yang itu sekarang juga harus ... harus , aku tak mau pulang jika tidak beli,” teriak anakku pada waktu itu. Aku diam tidak bergeming, dan aku biarkan saja anakku itu. Sebagian orang yang melihat ada yang berkata: “Cuma anak satu saja kok tidak dituruti, apa tidak punya uang?” Mungkin mereka menaruh iba atau kasihan pada anakku, tapi tidak bagiku karena aku ingin membiasakan dia tumbuh menjadi anak yang bisa dididik , bisa disadarkan, bisa diajak bicara untuk menjadi yang lebih sopan dan baik. Karena aku tahu jika permintaan anak selalu dituruti (bahasa jawa = saideg sainyet), akan membahayakan jiwa di kelak kemudian hari takala kita sebagai orang tua tidak mampu memenuhi permintaannya (bahasa jawa = ndrawasi).

Aku bukannya tidak punya uang, tetapi aku tanamkan pada anakku untuk meminta dengan cara yang baik dan lebih sopan. Sehingga pada akhirnya anakku selalu mengawali dengan kata demikian jika minta sesuatu : “Ibu, boleh enggak Gaby beli  ice cream sekarang?” Atau dengan ini : “Ibu , boleh enggak Gaby dibelikan sepeda?” Aku membiasakan anakku untuk menabung sebagian uang sakunya untuk mewujudkan keinginannya itu. Jadi anakku tidak pernah minta sesuatu  dengan menangis-nangis lagi. Dia menjadi terbiasa untuk berfikir bagaimana cara untuk memperjuangkan keinginannya dihadapan kami orangtuanya.  Sebagai contoh, misalnya: ketika anakku menginjak kelas VIII SMP anakku ingin sebuah handphone (HP) baru, maka anakku terbiasa untuk  berjuang  mengumpulkan sebagian uang jajannya lebih dahulu barulah aku menggenapinya dan mewujudkan impiannya tersebut. Aku juga tidak pernah memberikan uang saku yang terlalu berlebih pada anakku.  Sejak Taman Kanak-kanak (TK) sampai sekarang menjadi mahasiswa, aku tidak pernah memberikan uang yang terlalu berlebih. Ketika kemarin masih duduk di bangku SMA barangkali hanya anakku yang mendapat uang saku Rp 3.500,- perhari. Tetapi anakku tak pernah mengeluh dan putus asa. Bahkan dengan uang saku sekecil itu dia tetap  percaya diri (PD) dan membangun jati diri untuk mewujudkan cita-cita hidupnya. Karena aku gajian hanya sebulan sekali, maka sejak di kelas III SD aku sudah membiasakan untuk memberikan uang saku pada anakku dalam waktu satu bulan sekali juga, bukan perhari. Jadi anakkulah yang mengkalkulasi dan menjereng uang sakunya untuk bisa cukup dalam waktu satu bulan. Sehingga dia tidak merengek-rengek minta uang saku atau uang jajan pada setiap paginya menjelang berangkat sekolah atau minta uang jajan disaat-saat ibunya ada tamu atau acara arisan. Kutanamkan padanya bahwa sekolah bukanlah sekedar membuang uang untuk jajan tetapi untuk mencari ilmu  sebagai bekal  masa depannya sendiri, bukan untuk ibu atau untuk bapak, tetapi untuk diri sendiri agar  dia tidak hidup susah seperti aku, ibunya.  Meski kepandaiannya hanya pas-pasan saja tapi anakku sudah menyadari tugas dan tanggung jawabnya. Anakku rajin belajar  bukan karena aku ibunya, bukan karena hadiah di akhir semesternya, bukan juga janji bapak untuk pergi ke suatu tempat,  tetapi anakku menyadari bahwa belajar itu adalah salah satu konsekuensi tanggungjawabnya sebagai pelajar untuk meraih masa depannya nanti. Maka tak heran jika dalam dinding kamarnya terdapat tulisan dari jari-jarinya yang mungil kecil “Masa Depanku Ada Di Tanganku”.

Aku juga membiasakan padanya untuk tidak putus asa dan berlarut dalam kekecewaan dalam menghadapi segala kegagalan, tetapi menjadikan kegagalan itu sebagai hal untuk meraih kesuksesan. Ketika anakku, Gaby ingin melanjutkan sekolah SMA di kota Yogyakarta tetapi tidak diterima karena kuota tempat tinggal misalnya, aku melihat dari mata hatiku yang paling dalam bahwa sebetulnya hati anakku berontak dan kecewa, patah semangat dan meronta jiwanya menelan kegagalan dan kegetiran perjuangannya. Anakku merasa kecewa karena puncak perjuangan belajarnya di SMP sama sekali tanpa berguna. Sebagai seorang ibu, kesedihan anakku itu tentu saja menjadi kesedihan hatiku pula. Dengan menguatkan hati dan penuh kelembutan kuusap derai air matanya dan kubisikkan ke telinga hatinya ,” Gaby  anakku sayang… masih banyak perjuangan yang harus Gaby lakukan, mungkin usaha dan perjuangan itu bagi Gaby sudah maksimal, tetapi belum seberapa di mata Tuhan!  Tapi yakinlah bahwa Tuhan selalu akan memberikan yang terbaik bagi Gaby dan masa depan Gaby!” Muaranya Gaby, anakku bersekolah di salah satu SMA di Bantul. Mulanya anakku memang sangat kecewa tetapi pada finalnya dia bangkit meraih sukses dalam bidang menulisnya. Pada waktu mengikuti lomba menulis untuk pertama kalinya, anakku masuk menjadi 10 besar penulis terbaik tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan UNICEF tingkat SLTA. Kemudian berturut-turut mendapatkan juara II dan III ditingkat provinsi DIY yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD) dan Institut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta. Aku bangga karena anakku bisa menerima kegagalannya dengan penuh syukur dan menjadikan kegagalan itu sebagai awal untuk meraih sukses. Lebih bangga lagi karena di dalam kegagalan dan kekecewaannya yang dulu, anakku mempunyai hati untuk rela berbagi, sebagai buktinya sebagian hadiahnya yang berupa uang tunai di sumbangkan untuk kepentingan peribadatan yang murni berasal dari kedalaman hatinya,  bukan karena aku atau orang lain yang memintanya untuk berbuat demikian. Oo.. ternyata anakku menerapkan pesan yang selalu kutanamkan untuknya dan mencermati kata dan perbuatanku. “Sebagian rejeki yang kita dapat adalah milik orang lain, jadi bila kita diberi kelebihan rejeki oleh-Nya bagikan juga kepada orang lain yang paling berhak untuk menerimanya”.  Begitulah bila aku mendapatkan rejeki, sebagian rejeki itu aku tabung tetapi sebagian lagi aku sumbangkan untuk orang-orang yang menderita dan kekurangan atau untuk kepentingan pembangunan tempat ibadah. Tentu saja berat bagi anakku karena memberi bukan karena berkelimpahan juga tetapi aku salut karena sikapnya untuk bisa berbagi di saat kitapun dalam kekurangan.

 Aku membiasakan padanya juga untuk mengerti dan memahami apa yang menjadi kesulitan orang lain. Karena dengan demikian kita bisa bertindak bijaksana dalam menghadapi segala sesuatu. Sekarang  anakku  sudah terbiasa untuk menjalani hidup sederhana apa adanya, mandiri, dewasa dalam menyikapi segala hal,  sopan dan tidak manja dan penakut, tabah dan sabar menghadapi kegagalan, dan patuh akan  nasihat yang berguna dalam hidupnya. Ya tidak mulus seratus prosen sempurna seperti itu tapi setidaknya sebagai orang tua dan sebagai ibu aku telah menanamkan sikap seperti itu dan sikap-sikap itu sebagian besar telah dimiliki anakku. Bukannya aku menjadi sombong tetapi memang kedewasaan dan kemandirian anakku bisa diuji dan bisa diadu. Aku boleh bangga karena anakku bisa menemukan jati dirinya untuk melanjutkan studinya di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Yogyakarta ini, tanpa harus membawa ibu dan bapaknya kesana kemari untuk mengantarnya mencari dan mendapatkan bangku tersebut, karena anakku lolos dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kukatakan selalu padanya bahwa hal ini adalah awal dari  perjuangannya, sehingga dalam hidup ini perjuangan itu tidak akan pernah berakhir. Selalu banyak tantangan entah apa dan bagaimana bentuknya baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri maupun pengaruh luar dari dirinya, karena sesungguhnya masih banyak yang harus diperjuangkan dalam hidup ini yaitu menjadi manusia yang utuh  dan  beriman, berakhlak mulia dan berguna bagi semesta ini. Jika tiap anak bangsa berjuang dengan penuh iman berlandaskan akhlak mulia bukan tidak mungkin kesejahteraan bangsa dan negara ini akan terwujud merata karena lahirnya pemimpin berkarakter yang tak tertandingi. Teruslah berjuang anakku, hadapi segala rintangan dengan penuh tekat dan semangat! Kejarlah cita-citamu, raihlah suksesmu, dan wujudkan semua mimpimu untuk masa depanmu! Negerimu tercinta ini selalu menunggumu! Tuhan besertamu Selalu :-)

 

Kupersembahkan untaian kisah ini untuk anakku “Festia Gaby Disa Putri“ yang berulangtahun ke-19 besuk pada tanggal 10 Desember 2013. “Selamat ulang tahun anakku, I LOVE YOU” Doa Ibu selalu! :-)