Bunda pinggiran jalan…

Oleh Siska Amelie Fabiola Deil 14 Mar 2012

Sabtu siang di depan Bandung Electronic Center (BEC). Hujan lebat turun tiba-tiba, membuat para pejalan kaki berlarian, pengendara motor bergerak menyingkir ke pinggiran pinggiran toko. Berteduh. Saya sendiri memilih berteduh di balik terpal penjual mi ayam. Tepat di trotoar. Semua terlihat tergesa-gesa, saya, hujan, dan mereka.

Beberapa anak berlarian, muncul begitu saja membawa payung. Menawarkan sewa payung pada setiap yang sedang berteduh, yang turun dari angkutan umum, yang keluar dari BEC, pada saya. Sudah basah kuyup mereka, tapi yang tertangkap malah spirit yang berkobar. Mereka berusia sekitar 4 – 8 tahun. Tapi garis wajah dan setiap gerak mereka lebih dari cukup untuk mengatakan “kami bukan anak kecil, kami pejuang kecil!”. Saya haru dalam banyak tanya. Dimana mereka bersembunyi setelah hujan reda? Dimana mereka mengeringkan tubuh mereka? Wanita mana yang sedang mondar mandir di depan rumahnya, khawatir menunggu anaknya belum pulang padahal hujan sedang pada derasnya? Tangan wanita tua mana yang akan membelai hangat mereka setelah ini?

Hujan tinggal gerimis. Saya berjalan menyusuri trotoar. Mata yang sedang menunduk menangkap wajah mungil tertidur pulas di atas kertas kardus. Berselimut kain tipis, dia terlelap. Anak ini tidur di atas trotoar di pinggiran jalan yang masih sangat basah akibat hujan. Tak banyak yang saya pikirkan saat itu. Saya terus berjalan dan bertanya dimana ibunya?

Sudah agak jauh berjalan, saya melihat seorang anak, masih memegang payung. Badannya masih gemetar basah kuyup. Ia berlari ke arah seorang wanita tua yang agak bungkuk yang sedang duduk di pinggiran trotoar. Anak itu memasukkan sejumlah uang ke dalam kaleng yang sedang di genggam wanita tua itu. Bercanda sebentar dengan anak yang digendong si ibu, mencubit pipinya, tersenyum. Ah senyum itu, pelajaran berharga bagi saya. Lalu ia menyalami tangan si ibu dan lari-lari kecil beranjak pergi. Masih dengan senyumnya, masih dengan payungnya. Saya berjalan agak tergesa dan sudah masuk ke dalam toko buku sekarang.

Di dalam toko buku, mata saya menangkap anak yang sedang merengek-rengek pada ibunya minta dibelikan tas baru. Ibunya mengatakan, bahwa dia baru saja membeli tas baru minggu kemarin. Tapi si anak manja ini malah mengeraskan volume tangisannya. Hmh, agak kesal saya melihatnya. Si ibu yang terlihat sangat cantik dibalik balutan make up nya berjalan ke arah pegawai toko. Sangat elegan ia berjalan dengan hak tinggi sepatunya. Wajahnya terlihat gusar dengan tingkah anaknya. Tapi tetap dibelikan tas nya, diberikan pada anaknya. Dia berhenti merengek dan mulai tertawa. Raut wajah si anak drastis berubah ceria. Si ibu menghela nafas lega dan ikut tersenyum. Saya pun menghela nafas. Hmh, tarikan garis nasib yang sangat jelas berbeda dalam hitungan meter, bunda di luar dan di dalam toko.

Pikiran saya bermuara pada sebuah kesimpulan, bahwa ibu-ibu pinggiran jalan tadi, itulah yang sebenarnya bunda. Bunda yang mendidik dan melatih anaknya untuk memiliki semangat juang. Menjadi pemberani yang tegak menantang dirinya sendiri untuk melawan hidup yang semakin keras setiap harinya. Bunda pinggiran jalan, telah mengajarkan anak bunda cara bertahan hidup, bahkan dalam kondisi terburuk. Bunda pinggiran jalan, walaupun dengan ekonomi lumpuh, mampu melahirkan anak-anak kuat mental, kuat fisik. Anak anak dengan usia psikologis yang jauh lebih matang dari usia dirinya. Kerasnya hidupmu bunda, menguatkan diri mereka. Ini lah nutrisi untuk bangsa di pinggiran pinggiran jalan.

Dibandingkan dengan wanita kaya di dalam toko dengan anaknya yang sedang merengek, bunda yang melumpuhkan karakter anaknya oleh rasa tak tega. Beliau membentuk karakter anak yang pribadinya tak ia harapkan kelak. Si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang arogan dan tidak patuh. Pribadi yang seringkali membuat gusar dan menyusahkan bunda. Kasih sayang dan manja bundanya yang berlebihan, akhirnya malah menjadi bumerang di kemudian hari. Jangan salahkan mereka bunda, jika kelak anak bunda berani mencaci maki bunda, ketika keinginannya tidak dipenuhi. Jangan salahkan mereka bunda, saat mereka meninggalkan bunda dalam keadaan sakit hati dan berderai air mata.

Untuk bunda dengan segala harta, mendidik anak dengan cara sehat bukan berarti memberikan segala apa yang mereka inginkan. Mencurahkan kasih sayang bukan dengan membelikannya barang-barang bagus, dan membelanya bahkan saat mereka salah. Bunda, rasa tidak tega itu bisa ditunjukkan dengan sikap tegas dan rasa sayang juga bisa disampaikan lewat amarah.