Dion Bangkit dan Jadi Pemimpin

Oleh tomrat2212 20 Oct 2013

Siapa yang tidak ingin anak kita ‘jadi’ sebagai pemimpin yang tentunya sangat membanggakan ibu, ayah, dna keluarga besar kita? Kita seringkali takjub ketika melihat anak masih kecil namun sudah mempunyai segudang prestasi. Lalu seperti apa langkah-langkah kita dalam mempersiapkan anak-anak kita?

Perkenalkan sebelumnya, aku bernama Ratna, asli dari kota Surabaya. Aku berusia 28 tahun sudah menikah namun belum dikaruniai anak. Kebetulan aku mempunyai saudara sepupu yang sangat dekat dan akrab denganku, saudaraku itu tinggal di Bali, walaupun asli Surabaya namun pekerjaannya di Bali. Sebut saja nama saudara sepupuku itu adalah Sherly. Dia 3 tahun di atasku, telah menikah dengan orang Bali dan telah dikaruniai seorang putra.

Kala itu, di hari yang telah mereka rencanakan bersama, mereka berlibur di akhir tahun. Dengan mengendarai mobilnya sendiri, mereka sekeluarga (Sherly, suami, dan anaknya) bepergian berkeliling kota hingga Jakarta. Namun naas, mereka mengalami kecelakaan. Mobil mereka ringsek tak berbentuk, saudaraku Sherly dan suaminya meninggal di tempat kejadian. Namun putranya yang bernama Dion, ajaibnya selamat. Tidak ada luka yang serius, hanya lecet dan luka memar biasa. Waktu itu Dion berusia 4 tahun.

Melalui rapat keluarga besar, akhirnya diputuskan bahwa Dion menjadi ‘anak’ ku dan kuasuh di Surabaya. Aku begitu menyanyangi layaknya anakku sendiri. Aku selalu memberikannya yang terbaik. Melalui didikanku, kuharapkan Dion akan tumbuh besar dan berhasil. Kini Dion telah berusia 10 tahun, dia kini telah duduk di bangku kelas 5 SD. Sangat membanggakan. Dion berprestasi di sekolahnya, baik itu prestasi pelajarannya maupun dalam bidang musik, yaitu biola. Perjalanan Dion memang masih panjang, memang aku sekarang ini boleh sedikit berbangga atas prestasi Dion, namun harus terus dikembangkan untuk pembentukan karakter Dion sebagai pribadi dewasa.

Ketika itu, Dion kubawa dari Bali ke Surabaya, 2 minggu setelah peristiwa yang menewaskan kedua orang tuanya. Kakek dan nenek Dion yang berasal dari suami Sherly telah lama meninggal. Namun kakek dan nenek Dion dari Sherly masih lengkap dan domisili Surabaya. Namun karena orang tua Sherly sudah cukup tua, akhirnya Dion kuasuh. Anak itu, Dion sebelumnya merupakan anak yang periang, ceria, dan tidak bisa diam. Tetapi setelah kematian kedua orang tuanya, Dion sering menangis tanpa sebab, teriak-teriak, dan jadi pendiam. Mungkin waktu itu, Dion belum mengerti apa makna sesungguhnya kematian yang merenggut orang tuanya, namun Dion merasa kesepian mencari orang tuanya terus, terutama ketika malam menjelang tidur, susah sekali membuat Dion terlelap tidur.

Aku bingung kala itu, karena aku tidak tahu bagaimana kebiasaan Dion bersama orang tuanya waktu di Bali. Akhirnya, aku membawa Dion ke psikolog, Dion di terapi di sana untuk memperoleh ketenangan dan menyadari bahwa orang tuanya telah tiada namun tetap bersamanya. 6 bulan lamanya, aku begitu telaten membawa Dion terapi dan aku sendiri berusaha menjadi ibu yang penuh pengertian.

1 tahun pertama merupakan masa yang sulit bagiku menghadapi Dion. Atas saran seorang sahabat, Dion kuikutkan kursus biola untuk mengendalikan emosinya. Syukurlah, Dion berangsung-angsur pulih kejiwaannya. Dion kembali aktif dan periang. Tak disangka, Dion begitu menyukai biola. Bahkan dari 2 kali seminggu waktu latihan, Dion meminta setiap hari, hingga akhirnya kupanggilkan guru privat untuk mengajari Dion berbiola di rumah. Dion begitu berprestasi dalam biola. Waktu itu Dion berumur 5 tahun, Dion telah tampil di beberapa mall untuk unjuk gigi, di sekolah TK-nya dan gereja. Aplaus meriah seusai Dion berpentas, membuatku meneteskan air mata haru.

Dion tidak suka bermain di luar rumah, Dion lebih suka bermain di dalam rumah, menyusun lego atau puzzle merupakan kegemarannya. Aku sempat bingung bagaimana dengan sosialisasi Dion, karena Dion suka menyendiri di rumah. Kebetulan kakak perempuanku, merupakan guru les privat. Dion yang kala itu kuikutkan les grup di rumah kakakku. Dion berumur 5 tahun sebanyak 2 minggu sekali kuantarkan di rumah kakak, waktu itu murid kakakku yang seumuran Dion (jadi bisa digabung) berjumlah 7 orang. Ternyata di luar pemikiranku, Dion mampu beradaptasi dan bersosialisasi dengan teman-teman les nya. Mulai dari latihan membaca, menulis, bermain, diajarkan oleh kakakku dengan santai dan menyenangkan. Di rumah, aku juga selalu melatihnya, mengajaknya berbicara, bermain, dan sebagainya. Aku begitu dekat dengan Dion. Hal-hal buruk yang biasanya dilakukan anak kecil, seperti melempar barang, kuperingatkan dengan tegas bahwa itu tidak benar kepada Dion. Reward dna punishment kuterapkan pada Dion. Saat dia tidak mematuhi perkataanku dan tetap saja berbuat yang tidak benar, aku pertama kali memberitahunya, namun kalau saja tidak berhasil, aku tidak segan-segan memarahinya, membentaknya dengan nada keras, bahkan menjewer telinganya. Dibalik itu, ketika Dion mematuhinya dan berperilaku baik, aku langsung memujinya, memeluk dan menciumnya, serta mengajaknya bepergian jalan-jalan. Dengan begitu, Dion mengetahui sejak kecil, mana yang baik dan mana yang buruk.

Hal itu mungkin yang membawa Dion menyukai pelajaran, hingga Dion tidak melalui TK C, langsung lompat ke kelas 1 SD. Dion dinyatakan mampu di bangku kelas 1 SD saat usianya 6 tahun. Sekolah Dion termasuk sekolah yang berkualitas dan ternama di Surabaya. Sengaja aku memilih sekolah dnegan kualitas bagus supaya Dion terbentuk dan turut mempunyai kualitas yang bagus pula. Prestasi Dion begitu gemilang, Dion berhasil juara 1 di kelasnya yang kemudian Dion diangkat sebagai bendahara kelas. Dion terus kudukung, bahkan kuberikan beberapa tips untuk menjadi bendahara, segala sesuatu wajib dicatat dengan rinci dan jelas. Dion sukses jadi bendahara, kepercayaan penuh diberikan oleh wali kelas dan teman-temannya dalam mengelolah keuangan kelas. Di kelas 2, Dion menjadi ketua kelas. Sebuah jabatan yang penuh tanggung jawab. Dion selalu kuajarkan untuk menghargai waktu dan disiplin. Dion tidak boleh terlambat ke sekolah seedetik pun. Dion tidak boleh lupa mengerjakan PR atau tugas sekolah. Dion tidak boleh bertengkar dengan temannya. Itu semua karena Dion harus menjadi contoh bagi teman-temannya, karena Dion adalah ketua kelas. Tentu saja, aku harus menyediakan quality time setiap harinya untuk Dion, agar Dion merasa kusayangi. Bahkan di setiap akhir minggu, selalu kusempatkan untuk rekreasi walaupun itu kecil-kecilan sekedar barbeque di rumah.

Disuatu malam, saat aku tengah membacakan dongeng untuknya, tiba-tiba Dion menyela. Dion beranjak dari tidurnya, memelukku erat, sambil berkata: ‘auntie, bolehkah aku memanggilmu dengan mami? Aku pengen punya mami dan papi. Terima kasih, Dion tidak akan mengecewakan auntie’ Aku menangis terharu, Dion dengan usia 7 tahun sanggup berkata demikian, sungguh di luar pemikiranku. Aku membalas memeluknya, menciumnya penuh kasih, ‘tentu saja boleh anakku. Terima kasih Dion telah menjadi pemimpin, itu merupakan kebanggaan bagi mami dan papi yang tiada terkira. Dion akan mami dan papi’

Dion memang telah kehilangan kedua orang tuanya, namun Dion selalu bersemangat, bahkan telah menemukan pengganti orang tuanya, mami dan papi. Segala peristiwa tidak enak yang menimpanya, justru memacu Dion untuk menjadi pemimpin dan berprestasi.  Aku juga beruntung mempunyai suami yang juga sanggup menjadi papi untuk Dion, bersamaku mendidik dan mengajari hal kebaikan kepada Dion.