Do Your Best

Oleh marianne 18 Oct 2013

Ibuku merupakan seorang wanita yang keras dan tidak mudah menyerah. Ibu mendidik aku dan adikku dengan cara yang keras. Terutama kepadaku yang merupakan anak pertama, Ibu bersikap lebih keras, karena menurut Ibu aku harus bisa menjadi contoh yang baik bagi adikku.

Saat kecil, sikap keras Ibu sering membuatku menangis, kesal bahkan marah. Hal itu terjadi karena Ibu selalu memberikan perintah atau larangan tanpa memberitahukan alasan-alasannya. Sedangkan aku seringkali cerewet meminta alasan dibalik setiap perintah atau larangan Ibu. Karena itulah kami berdua sering berselisih paham, berbeda pendapat. Bahkan sampai sekarang pun kami masih sering mengalami semua itu.

Sejak aku masih kecil hingga sekarang, Ibu seringkali memberiku banyak nasihat, petuah-petuah penting yang menurut Ibu akan membantuku tetap berjalan di jalan yang benar. Walaupun terkadang Ibu sendiri tidak melakukan nasihat atau petuahnya sendiri. Membuat aku sering meragukan Ibu dan nasihat-nasihat bijaknya, membuat Ibu dan aku berjalan di jalan yang berbeda, akhirnya membuat kami berdua terlibat dalam pertengkaran kecil ataupun besar.

Tapi memang tidak ada manusia yang sempurna, termasuk Ibu, dan terutama diriku sendiri. Lagipula ada sebuah nasihat bijak yang mengatakan agar kita tidak melihat siapa yang memberi nasihat, tapi lebih melihat apa nasihat yang diberikan.

Karena itulah aku berusaha mencari dan melihat sisi positif dari setiap nasihat atau larangan Ibu. Dan ternyata benar adanya, aku selalu menemukan hal positif dari setiap nasihat atau larangan Ibu. Walaupun untuk menemukan hal-hal positif itu diperlukan usaha yang tidak ringan, pikiran terbuka dan hati yang lapang. Dan prosesnya terkadang memerlukan waktu yang relatif lama.

Tapi aku belajar, belajar dan akan terus belajar menjalaninya. Aku tidak boleh mudah menyerah dalam menghadapi apapun, terutama menjalani hidup. Seperti nasihat yang Ibu berikan padaku saat pertama kali aku mengikuti lomba.

Saat itu aku baru duduk di kelas satu di sekolah dasar. Sekolah mengadakan beberapa lomba untuk memperingati hari kemerdekaan RI. Mulai dari lomba balap karung, main kelereng, makan kerupuk, memasukkan bendera dalam botol, menyanyi, lomba mewarnai dan lomba lainnya.

Aku tidak mau ikut satu lomba pun karena takut kalah. Harap maklum, namanya juga anak kecil, apalagi baru beberapa bulan masuk sekolah dan belum pernah mengikuti lomba apapun. Guru, para ibu lain dan teman sekolah berusaha membujukku ikut lomba, tapi aku menolak. Saat mereka terus mendesak, aku mulai merengek meminta pulang pada Ibu. Tapi Ibu tidak menuruti permintaanku.

Ibu justru duduk berjongkok di hadapanku dan bertanya dengan nada tegas, “Kenapa kamu tidak mau ikut lomba?”

            Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir mengerucut dan menahan tangis.

Dengan dahi berkerut dan nada suara yang sama Ibu kembali bertanya, “Kamu tidak ingin dapat hadiah?” Ibu menunjuk setumpuk hadiah yang dibungkus plastik transparan di meja besar di pojok halaman sekolah. “Lihat itu, hadiahnya banyak dan bagus-bagus. Ada boneka, celengan, pensil warna, juga tas sekolah. Kamu tidak ingin dapat hadiah-hadiah itu?”

Aku melihat tumpukan hadiah di atas meja dan aku teringat kotak pensil berwarna biru dengan gambar cinderella yang tadi aku lihat di antara tumpukan hadiah. Aku menginginkan kotak pensil itu, tapi aku tidak mau ikut lomba karena takut kalah.

Melihat aku yang terus menatap tumpukan hadiah, Ibu kembali memintaku ikut lomba, masih dengan nada tegas yang sama. “Bagus-bagus kan hadiahnya? Makanya kamu ikut lomba ya, siapa tahu menang dan dapat hadiah. Lihat itu teman-temanmu, mereka bergerombol ingin ikut lomba. Apa kamu tidak malu pada mereka?”

“Bagaimana kalau Marian kalah?” tanyaku dengan nada takut.

Ibu menatapku sejenak, kemudian tersenyum kecil, mungkin akhirnya Ibu tahu mengapa aku tidak mau ikut lomba. “Kalau tidak menang tidak apa-apa, Ibu tidak akan marah. Sungguh. Yang penting kamu berusaha sebaik mungkin, hasilnya, menang atau kalah kita terima dengan senang hati. Untuk selanjutnya kamu harus berusaha untuk menjadi lebih baik, agar suatu saat nanti kamu bisa menang.”

“Misalnya tahun ini kamu kalah di lomba balap karung karena teman-temanmu lebih cepat meloncatnya, kamu bisa berusaha melompat lebih cepat di perlombaan tahun depan. Atau kamu bisa mengikuti lomba lain yang lebih kamu kuasai, misalnya lomba makan kerupuk, kan kamu suka sekali makan kerupuk.”

Aku menatap Ibu beberapa lama. “Benar Ibu tidak marah kalau Marian kalah dan tidak dapat hadiah?” tanyaku pada Ibu, berusaha meyakinkan sekali lagi.

“Tidak, Ibu janji tidak akan marah. Bagaimana, kamu mau ikut lomba kan?”

Aku mengangguk. Tanpa membuang waktu Ibu langsung mengajak dan mendaftarkan aku mengikuti beberapa lomba.

Di lomba balap karung aku gagal, terjatuh di tengah lapangan, membuat kedua lututku lecet dan mengeluarkan sedikit darah. Kemudian aku mengikuti lomba memasukkan bendera ke dalam botol. Lagi-lagi aku gagal karena lariku kurang cepat. Maklum, aku termasuk anak yang bertubuh montok, jadi tidak bisa berlari secepat teman yang lain.

Gagal di dua lomba tidak membuatku menyerah. Mungkin karena Ibu terus berteriak menyemangati aku dari tepi lapangan, dan Ibu tidak terlihat marah atau cemberut ketika aku gagal. Ibu justru menghampiriku dan mengatakan Ibu bangga karena aku sudah berusaha keras. Dan Ibu kembali memberiku semangat saat aku mengikuti lomba makan kerupuk.

Entah karena Tuhan kasihan melihat nafasku yang ngos-ngosan karena mengikuti dua lomba sebelumnya, atau karena aku memang punya ikatan tersendiri dengan krupuk, atau karena doa Ibu, atau gabungan semua itu, di lomba ketiga ini aku berhasil, aku menang. Memang bukan juara pertama, hanya juara kedua, tapi aku bangga dan senang. Walaupun untuk menyabet juara kedua itu aku kehilangan satu gigi depan yang memang sudah goyang dan hampir lepas. Tapi aku senang bukan kepalang. Saat aku menerima hadiah celengan berbentuk rumah, aku menerimanya dengan bangga. Ibu pun menatapku dengan bangga.

Sejak saat itu, setiap tahun aku selalu mengikuti lomba memperingati kemerdekaan RI, baik yang diadakan di sekolah maupun di kampung. Dan setiap tahun aku selalu berhasil membawa pulang hadiah. Walaupun hanya berupa beberapa buku tulis, jam dinding, payung atau hadiah sederhana lain. Tidak masalah buatku, karena benda-benda sederhana itu adalah medali pembuktian keberhasilanku, keberanianku.

Hingga sekarang, nasihat Ibu agar setiap kali melakukan sesuatu, aku melakukannya dengan sungguh-sungguh dan tidak mudah menyerah, selalu aku ingat dan jadikan pegangan. Entah hasil akhirnya aku berhasil atau gagal, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik.

 Jika aku berhasil itu karena Tuhan tahu aku berhak mendapatkannya, karena aku telah berusaha keras dan hal itu akan membawa kebaikan bagiku. Jika aku gagal, aku berusaha mengingatkan diriku, bahwa ada seseorang yang berusaha lebih keras dariku. Dan kegagalanku itu merupakan proses yang harus membuatku lebih dewasa. Selain itu, aku lebih bisa menerima kegagalan-kegagalanku setelah aku berusaha dengan keras untuk berhasil, daripada aku hanya menyesali kehilangan sesuatu yang tidak pernah atau tidak sungguh-sungguh aku usahakan. Seperti nasihat Ibu yang terus aku gunakan hingga sekarang, do your best ad let God do the rest.