Endang, Ibu Lulusan SMA yang Berhasil Menyiapkan Pemimpin Kecilnya

Oleh syaiha 17 Oct 2013

Namanya Endang Fatmawati, tapi orang-orang biasa memanggilnya dengan sebutan mamak Fajar. Lumrah, di kampungnya, di pedalaman Bengkulu, Sumatera, ibu-ibu memang sering dipanggil dengan menyandingkan nama anak mereka setelah kata mamak, bisa nama anak pertama atau nama anak kesayangannya. Sebut saja mamak Rio, mamak Dandi, mamak Siska, mamak Yudi, mamak Riska, dan masih banyak lagi mamak-mamak yang lainnya. Seperti juga Endang yang biasa dipanggil mamak Fajar, yang artinya adalah orang tuanya Fajar, Ibunya Fajar.

Endang adalah putri dari pasangan T. Suyanto (alm) dan Tuminah, anak ketiga dari empat bersaudara, satu-satunya anak perempuan. Tapi, jangan anda bayangkan bahwa ia adalah anak yang manja. Tidak sama sekali. Kehidupan keluarga mereka yang jauh dari gelimangan materi menjadikan orang tuanya tidak mungkin memanjakannya. Yang terjadi justru sebaliknya, Endang tumbuh menjadi perempuan mandiri, tangguh, dan membanggakan.

Sejak kecil Endang sudah mandiri. Aku ingat sekali ketika dulu ia harus membawa kue-kue kering hasil olahan orang tuanya ke sekolah untuk dijual kepada teman-temannya. Bahkan ketika SMA, di sela-sela kesibukannya belajar, Endang juga sudah menjadi buruh cuci dan buruh setrika pada tetangganya yang jauh lebih berada. Tapi, sesibuk apapun ia, Endang benar-benar tidak mengabaikan tanggung jawabnya sebagai pelajar. Endang selalu rajin belajar dan Ia selalu menjadi peringkat pertama di kelasnya. Membanggakan.

Malangnya, walau karir pendidikannya terbilang gemilang, Endang tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Keluarganya berbalut kemiskinan yang tebal. Bayangkan saja, ayahnya hanya berpenghasilan 800 ribu setiap bulan. Uang sejumlah itu harus digunakan untuk makan dan biaya dua adiknya yang juga sedang sekolah.

Mengharapkan beasiswa? Tidak mungkin! Kampungnya benar-benar berada di pedalaman. Sekarang saja internet tidak ada disana, informasi susah didapat, apalagi ketika ia lulus SMA 13 tahun yang lalu! Maka, lupakan beasiswa.

Akhirnya Endang mengalah, “Biarlah, aku tidak kuliah” batinnya dalam hati, “Tapi, anak-anakku nanti, sebisa mungkin harus menjadi anak-anak yang membanggakan dan sekolah setinggi-tingginya!” tekadnya lagi. Dan ternyata, tekad itu, sadar atau tidak semakin membaja di dalam dadanya. Endang benar-benar perempuan berjiwa kesatria, sekali tekad tertancap, pantang untuk membiarkannya roboh atau tercerabut.

Tidak beberapa lama setelah kelulusan SMA, Endang akhirnya dilamar pemuda di kampungnya, Suardi, dan mereka pun menikah. Masih sangat muda, Endang 18 tahun, sedangkan Suardi 25 tahun. Kehidupan rumah tangga mereka bahagia dan berlimpah berkah. Tidak butuh waktu lama, Tuhan kemudian mempercayakan anak kepada pasangan muda itu setahun kemudian, lahirlah anak pertama mereka, Endi Fajar Rahmatullah.

“Menyiapkan pemimpin masa depan” kata Endang dulu, “Dimulai dari memilihkan nama yang baik untuknya. Endi adalah singkatan dari Endang dan Suardi. Fajar dipilih karena memang ia lahir di waktu fajar, jam 3 dini hari. Sedangkan rahmatullah diambil karena Fajar lahir di bulan penuh berkah dan rahmat, Ramadhan. Rahmatullah juga diambil dengan harapan bahwa nanti anak mereka berkelimpahan rahmat dari Tuhan” katanya lagi menjelaskan ketika dulu aku bertanya tentang nama anaknya. Aku heran saja, karena biasanya orang-orang di kampungnya hanya menamai anak mereka dengan satu kata saja. Dandi, ya Dandi saja, Rio, yang Rio saja. Tidak ada embel-embelnya lagi.

Menurut orang kampung, nama yang terlalu panjang, nama yang terlalu bagus hanya akan menyebabkan hal-hal yang tidak baik kepada anak mereka. Mudah terserang penyakit misalnya, atau ketiban sial. Keberatan nama! Kata sesepuh kampung. Tapi Endang tidak pernah mempercayai itu. Tidak ada hubungannya nama dan musibah atau kemalangan. Toh, sampai sekarang memang Fajar tumbuh tanpa ada hambatan berarti, jarang sakit dan tidak sial seperti yang sesepuh kampung katakan.

Memang, Fajar tumbuh tidak berlimpah materi, tapi ia kebanjiran kasih sayang tidak bertepi. Ia juga tumbuh dalam selimut keteladan dari Endang dan Suardi. Fajar, sejak kecil, sejak kelas 2 SD sudah menjalankan shalat lima waktu sehari semalam. “Yang penting adalah keteladanan, Syaiha” kata Endang dulu ketika aku mengagumi Fajar yang sudah lima waktu shalatnya, “Percuma kita nyuruh anak kita ini dan itu jika kita sendiri, orang tuanya tidak menjalankan”

Aku mengangguk saja dulu. Benar. Tidak ada gunanya memerintah ini dan itu jika tidak dicontohkan, tidak ada keteladanan dari orang tuanya. Perkataan yang tanpa keteladanan, hanya akan menjadi seperti bulir-bulir padi yang kosong, tidak bernilai.

Fajar terus tumbuh berkembang, membuat takjub siapa saja yang menyaksikan kemampuan anak ini dalam berbagai hal. Bacaan Al Qurannya tartil, tajwidnya benar, bahasanya santun, sopan, dan tentu saja, Fajar juga cerdas. Ia selalu menjadi bintang kelas di sekolahnya.

“Saya beruntung karena belum memiliki televisi” katanya dulu ketika aku berkunjung ke gubuk mungilnya. Gubuk itu kosong melompong, tidak ada benda-benda mewah di dalamnya. “Dengan begitu, saya bisa mendidik Fajar dengan baik. Selalu, setiap malam, selepas maghrib hingga waktu Isya masuk, saya menemani Fajar belajar” katanya menjelaskan.

“Setiap hari ya, Mbak?” tanyaku.

“Iya, setiap hari kecuali malam Minggu. Dari Maghrib hingga Isya kan tidak lama. Jadi harus setiap hari. Dan lagi, anak-anak itu tidak bisa dibiarkan saja belajar sendiri, orang tua harus menemani” katanya, “Rutinitas belajar itu juga saya jadikan sebagai latihan kedisiplinan untuk Fajar”

Ya, Endang menjelaskan bahwa untuk menyiapkan pemimpin kecil, mau tidak mau, ketika mereka belajar harus didampingi, dibimbing, dan disiplin.

Hari berganti bulan. Bulan pun pergi berganti tahun. Fajar tumbuh menjadi anak-anak yang tidak berkekurangan. Walau memang materi tidak begitu mencukupi, tapi lebih dari itu semua, kasih sayang dari Endang dan Suardi melebihi segalanya. Semua kerja keras Endang mendidik Fajar terbayar, Fajar tumbuh membanggakan. Di Sekolah selalu juara 1 dan juga sudah menunjukkan indikasi bahwa ia akan menjadi anak yang mandiri.

Selepas SD, Fajar sudah meminta ijin untuk sekolah di SMP sekaligus pesantren di daerah lain. Tidak begitu jauh memang, jika menggunakan motor hanya di tempuh dengan waktu 2 jam saja. Tapi, tetap saja, menurutku itu adalah sebuah langkah besar yang sudah dilakukan Fajar. Pada usianya yang masih belia, ia berani hidup jauh dari orang tuanya di pesantren. mengatur keuangannya sendiri, mencuci bajunya sendiri, dan belajar sendiri.

“Saya hanya mendidiknya mengemban tanggung jawab” kata Endang kala aku bertanya “Mengapa berani melepas Fajar sekolah di tempat yang jauh? Bukankah SMP di dekat rumah juga ada?”

Dalam perkembangan manusia, dari kecil menjadi remaja, dan dari remaja menjadi dewasa, faktor yang paling membedakan adalah tanggung jawab yang diembannya. Semakin dewasa seseorang, maka tanggung jawab yang dipikulnya akan semakin besar. itulah sebabnya, latihan mengemban tanggung jawab ini harus dimulai sedini mungkin, dimulai dari hal-hal yang kecil.

Sekarang, Fajar sudah berada di kelas VII SMP, sekali lagi, ia benar-benar menjadi anak yang membanggakan. “Alhandulillah, Fajar bisa bersaing di kelas. Nilai-nilainya bagus-bagus. Sekarang, Fajar bahkan sudah hapal 2 juz Al Quran” kata Endang terharu, matanya berkaca-kaca, “Oia, bulan depan, November 2013, Fajar akan ke Cibubur Syaiha, terpilih menjadi perwakilan pesantren untuk mengikuti lomba disana. Jika ada waktu, kamu datanglah, jenguk dia” kata Endang lagi.

“Insya Allah..” kataku.

*****

Menyiapkan pemimpin kecil adalah sesuatu yang penting. Bagaimanapun juga, pemimpin-pemimpin kecil ini adalah generasi penerus yang akan melanjutkan roda kepimpinan bangsa, menggantikan pemimpin-pemimpin yang sekarang berkuasa. Jika gagal menyiapkan pemimpin kecil ini, maka gagal pula masa depan negeri.

Endang, walau ia hanya lulusan SMA, dengan tidak ada satupun gelar yang berderet-deret di belakang namanya, ia terbilang berhasil mendidik Fajar menjadi anak mengagumkan. Beberapa yang ia praktekkan dalam menyiapkan pemimpin kecilnya adalah: Pertama, memilihkan nama yang baik. Kedua, memberikan keteladanan. Ketiga, menerapkan kedisiplinan. Keempat, melatih mengemban tanggung jawab sedini mungkin.

Tapi, di balik itu semua, kasih sayang dan cinta dari orang tua adalah kunci keberhasilan sebuah pendidikan di rumah. Ya, selalu begitu.

3 Komentar

Miz Tia

25 Oct 2013 08:57

banyak kok ibu lulusan SMA, SMP, SD bahkan yang gak sekolah sekalipun berhasil menjadikan anaknya seorang pemimpin yang sukses.

23 Oct 2013 08:02

bagus kisahnya, lanjut terus bang utk menulis.. sukses buat om syaiha :)

Yadi Mulyadi

17 Oct 2013 12:34

keren kisahnya

syaiha

18 Oct 2013 19:02

thanks sudah mampir, salam