IBU MENGAJARKANKU MENJADI PEMIMPIN YANG MENCINTAI PANCASILA

Oleh auliasiagian 13 Oct 2013

“Suatu saat kelak kamu harus jadi seorang pemimpin,” demikian acap ucap Ibu sepanjang aku bisa mengingatnya.

Ketika aku masih kecil dulu, ucapan itu membuatku beranggapan bahwa Ibu menginginkanku menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Walikota, atau sosok lain pemegang jabatan pemerintahan.

“Mungkin itu sebabnya Ibu selalu memberiku susu SGM,” batinku ketika mulai beranjak mengenyam bangku Sekolah Dasar. Seorang calon pemimpin pastinya harus selalu memperoleh gizi yang cukup agar tumbuh kuat, cerdas, dan mampu berprestasi bagi negeri.

Namun, seiring bergulirnya waktu. Aku merasa bahwa pemimpin yang dimaksud Ibu bukanlah semata sosok-sosok pemegang jabatan pemerintahan.

“Sore ini, Ibu akan mengajarkanmu cara menjadi seorang pemimpin,” demikian ucap Ibu di hari ulang tahunku yang kedua belas sembari mengulurkan segelas susu SGM kesukaanku.

“Benarkah ‘Bu ?” tanyaku tak sabar, “Bagaimana caranya ?”

Ibu hanya tersenyum melihatku yang tampak begitu penasaran. Sejurus kemudian, Ibu menggenggam tanganku dan mengajakku melangkah ke luar rumah. Di dekat gerbang telah menunggu sesosok lelaki muda berpeci hitam yang menatapku hangat.

“Kakak ini yang akan mengajarkanmu mengaji mulai besok sore,” ucap Ibu sambil tangannya mengusap lembut kepalaku, “Seorang pemimpin harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai ajaran agamanya.”

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Perlahan, sosok pemimpin yang semula samar di benakku mulai mewujud nyata.

Ibu mengajakku meneruskan perjalanan. Belum jauh melangkah, kami tiba di sebuah Gereja. Dengan ramah, Ibu menyapa beberapa perempuan sebayanya yang tampaknya baru selesai berlatih untuk acara keagamaan. Tak lupa, Ibu memintaku untuk berkenalan dengan beberapa bocah seusiaku yang sedang bermain-main di halaman Gereja. Merasa girang berjumpa banyak sahabat baru, aku pun langsung asyik bermain bersama mereka, sementara Ibu berbincang-bincang sambil memandangiku dari kejauhan.

“Seorang pemimpin harus menghormati dan menghargai sesamanya yang berbeda agama,” bisik Ibu ketika kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan sore itu.

Aku mengangguk dengan bersemangat. Sungguh tak sabar rasanya menanti pengalaman selanjutnya di sore yang menyenangkan itu.

Sekitar setengah jam kami berjalan. Akhirnya, kami tiba di sebuah rumah yang tampak tak terurus. Dindingnya yang terbuat dari kayu terlihat kusam. Ketika kami melangkah masuk, aku terheran melihat kondisi dalam rumah yang nyaris tanpa perabot apa pun.

“Bu As !” seru dua orang bocah seusiaku sambil menghambur ke arah ibuku. Mereka sepertinya sudah amat akrab dengan beliau.

“Ini Ibu bawakan kalian makan siang,” senyum Ibu mengembang, “Ibu juga mengajak Aulia. Masih ingat Ibu pernah bercerita tentangnya ‘kan ? Hari ini ulang tahunnya.”

“Selamat ulang tahun, Aulia !” ucap mereka malu-malu dengan bergantian menyalamiku.

“Terima kasih banyak,” balasku terbata-bata.

“Kamu sungguh beruntung punya Ibu sebaik Bu As,” lanjut seorang di antara mereka, “Hampir setiap hari beliau menjenguk kami dan membawakan kami makanan.”

“Seorang pemimpin harus peduli pada kesusahan orang-orang di sekitarnya,” bisik Ibu kepadaku saat menunggui bocah-bocah itu makan dengan lahapnya, “Seorang pemimpin juga harus mau bergaul dengan siapa pun, tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin.”

Aku tersenyum menatap Ibu. Dalam hati, aku merasa sangat bangga memiliki Ibu seperti beliau. Mendadak, aku teringat sesuatu.

“Bu, bolehkah kita langsung pulang setelah mereka selesai menyantap makanannya ?” tanyaku pada Ibu, “Aulia sudah berjanji pada Indra dan Diaz akan belajar bersama di rumah kita jam 5 sore ini. Seorang pemimpin ‘kan harus menepati janjinya.”

“Boleh. Ibu juga tak ingin Aulia mengingkari janji,” jawab Ibu lembut.

Setibanya kembali kami di rumah, ternyata Indra dan Diaz sudah menunggu. Tanpa membuang waktu, aku segera mempersilahkan mereka masuk dan menyibukkan diri dengan tumpukan tugas yang harus kami selesaikan. Aku tak melihat Ibu lagi. Kurasa Ibu sudah masuk untuk mempersiapkan teh serta makanan ringan.

Sayangnya, kami tak bisa langsung menyelesaikan tugas yang menumpuk. Indra dan Diaz bersikeras untuk mengerjakan tugas Bahasa Indonesia terlebih dahulu. Sedangkan aku ingin menyelesaikan tugas Matematika sebelum beralih ke tugas lainnya. Dari awalnya hanya berselisih, kami akhirnya malah saling bertengkar.

“Sudah cukup. Jangan bertengkar lagi anak-anak !” tegur Ibu yang tiba-tiba datang dengan membawa nampan berisi teh hangat serta kue kering. Kami pun terdiam.

“Seorang pemimpin harus menghargai pendapat orang lain,” bisik Ibu di telingaku, “Seorang pemimpin juga tak boleh memaksakan kehendaknya.”

Akhirnya, aku mengalah. Dan sore itu kami bisa menyelesaikan semua tugas hingga tuntas. Dengan senyum lebar, aku melepas kepergian Indra dan Diaz setelah bersenda gurau menikmati suguhan Ibu.

Malam itu, seusai menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, aku melangkah menuju ruang makan. Ayah dan Ibu telah menungguku di sana dengan sajian nasi kuning dan ayam goreng kesukaanku.

“Ayah punya hadiah untuk Aulia,” suara Ayah terdengar riang tatkala mengangsurkan sebuah kotak yang terbungkus kertas kado berwarna biru.

Sedikit tergesa aku membuka hadiah pemberian Ayah.

“Kamus bergambar…” batinku kecewa. Sebenarnya, aku lebih ingin dibelikan telepon genggam atau mainan berpengendali jarak jauh seperti dimiliki teman-temanku.

“Seorang pemimpin harus bisa menghargai apa yang dilakukan orang lain untuknya,” bisik Ibu menepis kekecewaanku, “Mungkin apa yang diberikan Ayah tidak mewah atau mahal, tapi ia tulus memberikannya untuk Aulia.”

Sekejap rasa kecewaku sirna, berganti rasa syukur karena mempunyai Ayah dan Ibu yang sangat menyayangiku.

“Terima kasih, Ayah, “ rangkulku hangat, “Aulia senang sekali.”

“Terima kasih juga untuk Ibu,” desisku sambil menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca, “Terima kasih telah mengajarkanku menjadi seorang pemimpin.”

Waktu bergulir dan aku pun menyadari bahwa yang diajarkan Ibu sesungguhnya adalah pengamalan nilai-nilai Pancasila.

“Sungguh tepat sekali,” pikirku, “Ibu adalah seorang guru. Ia pasti mengetahui pentingnya mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan.”

Tekadku kini teguh sudah. Aku ingin menjadi pemimpin seperti yang diinginkan Ibu. Aku ingin menjadi pemimpin yang mencintai Pancasila. Walau nanti aku tak menduduki jabatan pemerintahan, toh aku tetap harus menjadi pemimpin untuk keluargaku. Di mana pun aku memimpin nantinya, takkan pernah kulupakan apa yang diajarkan Ibu kepadaku.

(Juga di post di http://auliasiagian.blogdetik.com/2013/10/13/ibu-mengajarkanku-menjadi-pemimpin-yang-mencintai-pancasila/)