IBUKU BUKAN PEREMPUAN BIASA

Oleh ariel kahhari 21 Oct 2013

“Seorang wanita (Ibu) adalah lembaga pendidikan, jika ia benar-benar mempersiapkan dirinya, berarti  ia telah mempersiapkan sebuah generasi  yang benar-benar digdaya”.

Ahmad Syauqi, Pujangga Arab.

Aku anak kedelapan dari sepuluh bersaudara. Hidup dan tumbuh di tengah keluarga besar membuatku punya banyak arsip cerita. Kisah bersama saudara dan orang tua, termasuk di dalamnya cerita bersama Ibu tercinta. Jika kembali ke dua puluh tahun yang lalu, mustahil rasanya kami bisa tumbuh besar dan berhasil seperti sekarang. Ketika aku kecil ekonomi keluarga ambruk. Ayahku hanya seorang PNS bergolongan kecil. Sedangkan Ibuku seorang Guru Agama dengan gaji yang pas pasan. Dengan kondisi perekonomian keluarga seperti itu Ayahku jatuh sakit.

Gaji bulanan kedua orang tuaku habis untuk biaya pengobatan Ayah. Sejak itulah semuanya menjadi berat dan nyaris terseok seok. Ibu harus merawat Ayah tetapi disaat yang bersamaan Ibuku juga harus memberikan perhatian kepada kami, sepuluh anaknya. Untuk membantu Ibu aku berjualan es di tempatku bersekolah. Begitu pula dengan saudaraku yang lain, mereka juga ikut berjualan untuk mengurangi beban keluarga.

Tahun 2002 lalu Ayah meninggal. Ibu kemudian menjadi sosok single parent. Saat Ayah pergi, sebagian kami masih bersekolah. Ibu masih harus berjuang hingga akhirnya berhasil membesarkan dan mendidik ke sepuluh anaknya.

Dalam cerita panjang itu kami benar benar merasakan peran Ibu, tentu saja tanpa bermaksud mengenyampingkan peran Ayah. Ada nilai nilai yang Ibu tanamkan agar kami memiliki jiwa kepemimpinan. Supaya kelak dapat kami jalankan saat menjadi pemimpin baik dunia kerja, keluarga atau hanya sekedar menjadi pemimpin bagi diri sendiri.

Pemimpin itu adalah sosok yang mandiri dan bertanggung jawab. Cara Ibu dalam menumbuhkan sikap itu kepada kami cukup sederhana. Kami diwajibkan mencuci baju setidaknya mencuci seragam sekolah yang kami pakai. Kebiasaan itu sudah diterapkan sejak kami duduk di bangku sekolah dasar. Jika hari minggu tiba, kami berebut tempat di dekat sumur dan tempat menjemur pakaian. Sepatu dan kaos kaki juga berjejer di pagar depan rumah. Siapa cepat dia yang dapat. Kalau hujan turun kami juga berinisiatif untuk mengambil semua jemuran yang mulai kering. Nanti baru dipilah pilah saat dikumpulkan di dalam rumah.

Ketika Ayah mulai terserang stroke Ibu meminta kami untuk menyusun jadwal. Siapa yang bertugas memandikan Ayah saat pagi maupun sore hari. Menyuapi nya makan dan minum hingga shift untuk menyuci baju. Kata Ibu, semua ini sebagai bentuk pengabdian dan rasa hormat kami kepada Ayah yang sudah kerja keras membesarkan kami.

Hidup dengan kondisi ekonomi yang terbatas bahkan nyaris kurang tidak membuat kedua orang tuaku putus asa. Nilai nilai ketegaran dan berjuang tanpa kenal lelah jelas terekam dalam pikiran kami. Dalam kondisi itu kedua orang tuaku tetap bersikukuh menyekolahkan kami hingga ke perguruan tinggi. Mereka faham karena pendidikan menjadi modal kami menghadapi masa depan. Tanpa pendidikan kami akan kalah menghadapi persaingan diluar sana. bahkan kami dilarang bekerja sebelum mendapatkan gelar sarjana.

Aku pernah meninggalkan bangku kuliah karena sibuk bekerja di sebuah Radio di Banda Aceh. Sebagai stasion manager aku mendapatkan semuanya. Di usia yang sangat muda aku memperoleh gaji yang besar hingga relasi yang terus bertambah. Keasyikan ku itu terus berlangsung selama dua tahun. Padahal waktu itu aku hanya perlu menyelesaikan skripsi. Sampai suatu hari Ibu mulai khawatir.

“ Kiban skripsi, kaleuh?” tanya Ibuku tentang perkembangan skripsi ku. Pertanyaan yang singkat itu cukup menohok dan membuatku gagu.

“Dosennya mak, susah” jawabku.

“Jangan menyalahkan orang lain. Di luar sana banyak yang kondisi lebih susah, tapi kuliahnya tetap selesai.” Kata Ibu.

Kemudian Ibu kembali mengingatkan pesan Ayah, supaya semua anak harus tetap menyelesaikan kuliah. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali ke bangku kuliah untuk menyelesaikan skripsiku yang sudah lama tidak tersentuh. Terhitung tiga bulan aku berhasil menyelesaikan skripsiku dan kemudian di wisuda. Menariknya sambil menunggu diwisuda aku menerima sejumlah tawaran pekerjaan.

Sebenarnya Jauh sebelum kami mengenyam pendidikan di bangku sekolah, Ibu telah menjadi sekolah sekaligus pendidik pertama dan utama. Beliau yang mengajarkan Akhlak, moral dan nilai nilai kemanusiaan serta menanamkan nilai nilai keagamaan. Untuk masalah agama Ibuku sangat cerewet. Urusan shalat dan mengaji misalnya, harus dilakukan dengan baik. Maka sejak duduk di bangku sekolah dasar kami sudah tidak lagi meninggalkan shalat lima waktu dan lancar mengaji.

Namun nilai nilai agama  yang diberikan Ibu tidak hanya bersifat personal. Ibu mau kami juga menjadi anak anak yang memiliki keshalehan sosial.  Dalam setiap pembicaraan selalu saja ada wejangan yang disampaikan. Biasanya nasehat itu kerap disampaikan ketika kami selesai mengerjakan shalat magrib. Tanpa komando, satu persatu kami berkumpul di ruang tamu dan duduk melingkari Ibu. Tanpa bosan kami mendengar cerita Ibu tentang perjuangan tanpa akhir termasuk menjadi orang baik untuk semua orang.

Dulu ada satu kebiasaan yang aku lakukan bersama abangku. Mengantar beras untuk saudara Ibu yang kondisi ekonominya memprihatinkan. Biasanya beras sudah Ibu siapkan di dalam kantong plastik hitam. Tidak banyak yang bisa diberi, karena kami juga dalam kondisi yang hampir sama tetapi sedikit lebih beruntung.

Dengan motor butut kami mengantar beras itu. Tapi motor hanya bisa digunakan hingga setengah perjalanan. Sisanya harus kami lalui dengan berjalan kaki. Rumah saudara Ibu berada di tengah rawa rawa. Disana mereka tinggal. Kebiasaan Ibu memberi beras dilakukannya rutin setiap bulan. Ibu bilang jika dalam harta kita masih terdapat hak orang lain yang harus dikeluarkan. Sekali lagi Ibu mengajari kami arti dari berbagi.

Foto

Ibuku memang bukan perempuan biasa. Ketika Ayah meninggal keluarga kami tetap berdiri tegak. Tidak oleng apalagi rubuh. Ibuku adalah penyeimbang dan perekat dalam keluarga. Sejak Ayah sakit peran Ibu lebih besar. Beban keluarga berada di pundaknya. Termasuk ketika menyelenggarakan pesta pernikahan kakakku yang pertama. Kami yang waktu itu masih kecil tidak bisa berbuat banyak. Sedangkan Ayah baru saja selesai menjalani rawat inap di rumah sakit. Tapi luar biasanya Ibu, beliau dapat menjalankan fungsi manajemen dengan baik. Termasuk membagi tugas kepada setiap anak anaknya. Siapa yang harus mengurusi daftar tamu, mengantar undangan, berbelanja dan sebagainya.

Meski kini kami semua sudah berkeluarga dan tidak lagi tinggal serumah, namun peran Ibu masih sangat terasa. Tidak bisa dipungkiri Ibu berfungsi sebagai perekat antara sesama anak atau antara kami dengan Ayah. Tidak hanya ketika Ayah masih hidup namun juga saat beliau sudah tiada. Ibu yang paling sering mengingatkan kami agar untuk tidak lupa berdoa bagi kebahagiaan Ayah.

Memang tidak habis kata ketika menulis tentang Ibu. Yang jelas Ibu itu Ibarat mentari yang dekapannya selalu menghangatkan. Ibarat awan, perhatian Ibu selalu meneduhkan. Sedangkan Ibarat rembulan, kasih sayang Ibu dapat menghilangkan kemuraman.

Ibu, dia memang sosok yang mulia lagi agung. Bahkan Tuhan saja meletakkan Surga di bawah telapak kaki nya.

**

Artikel ini diikut sertakan dalam lomba penulisan blog “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil