Ibu, Mesin Jahitmu Mengantarku Jadi Sarjana

Oleh Muhajir 18 Sep 2013

#LombaBlogNUB
Oleh Muhajir Juli

Saat menulis tentangmu, ada bulir air mata yang keluar. Saat kalimat per kalimat kurangkai, jantungku berdegub kencang sekali. Seolah-olah sang jantung berkata padaku “Hei Muhajir, milyaran katapun kau tulis, jasa ibu terhadapmu takkan pernah terbeli..!!,”.

Ibu, kau memang tidak pernah bercerita tentang pengorbananmu kepadaku. Bahkan mulutmu selalu meminta maaf, bila dalam rentang usiamu, masih banyak hal yang belum bisa kau penuhi untuk membuatku merasa senang dan selalu tersenyum.

Namun, sebagai seorang putra yang kau didik dengan paduan ilmu dunia dan akhirat, aku tentu saja tahu, bahwa perjuanganmu tidaklah mudah. Kau arungi hari-harimu dengan penuh cucuran keringat dan air mata, hanya demi membuatku dan saudara-saudaraku yang lain selalu tersenyum.

Ibunda, aku masih ingat ketika kau menangis saat aku gagal mendapatkan beasiswa saat lulus SD. Padahal saat itu aku rangking satu. Tentu kau sangat terkejut bila aku mengetahui kau menangis saat itu. Padahal saat aku gagal mendapatkan kartu kuning itu –lembar keabsahan beasiswa- kau pula yang mengelus kepalaku sambil berpesan “sabar ya. Mungkin ini bukan rezeki kamu,”.

Bunda, saat kau mengadu kepada Tuhan, aku sempat mendengarnya. Kau menangis sambil menengadah tangan. Aku mendengar kata-kata sakti itu. “Ya Tuhan, mengapa kau membuat putraku kembali kecewa akibat ulah manusia yang tidak berhati itu?,”.

Darimu bunda aku belajar banyak hal. Mulai dari bagaimana membangun cita-cita, menetapkan target serta bertahan ditengah serba kekurangan. Juga penempatan prioritas.

Aku ingat sekali ketika krisis melanda keluarga kita, kau dengan ketekunanmu itu, tetap berupaya menghidangkan makanan bergizi- walau tidak mewah- ke meja dimana kita sering berkumpul. Terong, daun singkong, daun kates, dan berbagai sayuran lainnya, kau ramu dan kemudian menjadi sayuran super lezat yang membuat kami lahap.

Bunda, yang paling tidak bisa kulupakan darimu adalah tentang prioritasmu terhadap pendidikan kami –kusebut kami, karena memang bukan hanya aku yang bunda sekolahkan-. Dengan kecerdasanmu mengatur uang yang tidak ramah terhadap dompetmu, kau selalu menyediakan kami seragam baru di awal tahun ajaran baru. Buku-buku baru, pensil, pulpen, sepatu, tas dll. Walau tidak satupun diantara fasilitas itu merupakan barang bermerek, namun kami tetap tampil lengkap dan terhormat saat berangkat kesekolah.

Bunda, deretan rangking satu, dua dan tiga yang pernah kuraih di sekolah sejak SD sampai STM, itu semua berkat didikanmu. Dengan kesederhanaan, kau tidak pernah melarang aku membaca. Bahkan kau sangat mendukung bila aku membaca koran, padahal usiaku masih belia dan banyak yang mencemooh.

Banyak momen yang sebenarnya monumental bagiku. Namun tentu hal itu tidak mungkin kuuraikan semua disini. Namun yang pasti aku tidak akan pernah melupakan bagian hidup, saat engkau memilih menjual mesin jahit kesayanganmu, hanya demi membayar uang kuliahku. Saat kau memutuskan menjual mesin jahit itu, aku sebenarnya ingin sekali menangis. Namun sifat kelelakianku muncul dan melarangku untuk berurai air mata. Namun dalam hati aku berjanji bahwa aku tidak ingin lagi merepotkanmu. Mulai detik itu aku harus mandiri.

Itulah mengapa, kemudian aku jarang sekali pulang. Aku bekerja apa saja yang halal, agar uang kuliah mampu kubayar secara mandiri. Dan mengapa aku pernah menjadi penjaga mushalla kampus dan mess dosen? Itulah alasannya. Aku harus punya penghasilan rutin dan berkelanjutan.

Sejak memutuskan mandiri itulah, aku menemukan hal-hal yang luar biasa sekali. Mulai semester III sampai lulus sarjana aku tidak pernah lagi kerepotan mencari uang untuk kuliah. Sebab beasiswa dengan berbagai nama silih berganti masuk kedalam rekeningku. Hingga gelar sarjana mampu kuraih, tak ada lagi uang pribadi yang keluar dari kocekku. Semua gratis.

Disamping itu, dunia semakin mengenalku sebagai mahasiswa kritis, berani dan juga cerdas. Luar biasa. silih berganti pekerjaan menghampiriku. Bahkan ada yang harus kutolak karena alasan kode etik dan waktu yang tidak bisa kubagi. Sungguh nikmat hidup dengan limpahan ilmu dan doa-doa darimu.
Ibu, sampai dengan detik ini aku masih terus ingat akan pesanmu berupa:

“Hidup ini harus punya tujuan. Tetapkan target yang ingin dicapai. Kemudian berjuanglah untuk meraihnya. Ingat, tetap gapai semua mimpi dengan jalan halal. Jangan malas makan sayuran, sebab se miskin-miskinnya orang desa, sayur merupakan menu yang masih diminta sama tetangga. Bahkan banyak yang tumbuh liar di pekuburan. Maka makanlah sayur, karena sayur mengandung vitamin. Vitamin membuat cerdas. Cerdas membuat sukses.”

Ah, sakti sekali kalimatmu itu. namun yang pasti, apa yang engkau sampaikan adalah kebenaran. Setidaknya, dengan mengikuti ajaran yang engkau sampaikan, aku bisa lulus sarjana. Bahkan mampu menikah di usia muda -26 tahun- serta mampu memberikan penghidupan yang layak buat keluarga kecilku.

Terima kasih bunda. Banyak hal yang kupelajari darimu. Aku sadar, bahwa tidak ada kebaikan yang akan mampu menebus keluhuran budimu. Sebagai anak, aku hanya berharap, semoga kelak, apa yang kau ajarkan, mampu kupraktikkan kedalam keluargaku. Ah, aku masih ingat kata-kata itu. “Muhajir, antara ilmu pengetahuan dan makan makanan bergizi merupakan dua hal yang tidak bisa diceraikan. Jangan malas makan sayur ya. Presiden saja makan sayur, masak kamu tidak mau?,”.

Salam cintaku padamu bunda. Cut Rusna Luthan. I love you.