Ibu, Pendidik Pertama dan Utama Generasi Masa Depan

Oleh Tika Mustofa 15 Oct 2013

66646735

Setiap manusia itu pemimpin bagi dirinya masing-masing. Jika kamu mampu memimpin dirimu, kamu bisa menjadi apapun yang kamu inginkan.”

 

Ibu adalah sekolah pertama bagi saya, pendidik utama yang membentuk karakter saya. Ibu tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi “seseorang” seperti yang diinginkannya. Saya dibebaskan untuk memilih akan seperti apa diri saya nanti, cita-cita saya, rencana masa depan, seluruhnya mutlak menjadi hak saya. Ibu hanya menekankan kalau saya harus bisa memimpin diri saya, disiplin, dan taat kepada aturan yang berlaku (aturan agama, norma hukum, maupun norma sosial di masyarakat).


Masa Kanak-Kanak

Proses pendidikan yang diberikan oleh Ibu (menurut penuturan Ibu saat saya melakukan riset bahan tulisan ini) bahkan dimulai sejak saya masih menjadi bayi dalam kandungan. Ibu terbiasa mendengar murottal (tilawah AL-Qur’an) yang dipercaya dapat didengar juga oleh bayi dalam kandungan, ini adalah salahsatu cara menanamkan keimanan sejak dini. Selain menjaga pola makan dengan gizi seimbang, ibu juga menjaga kondisi emosional, karena menurut penilitian hal tersebut juga ditularkan melalui perilaku seorang ibu selama mengandung dan mengasuh. Ibu juga memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia saya 2 tahun, Ibu percaya ASI memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk imunitas dan kecerdasan otak anak. Setiap saat, dimanapun dan kapanpun proses pendidikan tersebut dilakukan ibu dengan penuh kasih sayang secara berkesinambungan. Ibu percaya bahwa beliau memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan generasi muda yang kreatif, inovatif, prestatif, edukatif dan produktif.

Hal pertama yang saya ingat Ibu ajarkan kepada saya adalah membaca. Ibu percaya bahwa membaca adalah kunci dari segala ilmu, dengan membaca maka kita bisa menggenggam dunia. Begitu hebat dan kuatnya tekad Ibu sehingga bisa membuat saya mampu membaca bahkan jauh sebelum masuk Taman Kanak-Kanak dan mengkhatamkan al-Qur’an pertama kali saat usia 5 tahun. Ada kebiasaan unik yang pernah diceritakan Ibu, sejak saya lancar membaca, setiap pagi Ibu selalu kebingungan mencari saya, sedangkan tempat tidur saya telah kosong, ternyata saya ada di ruang tamu, tidak kelihatan karena sedang membaca koran Ayah saya, tubuh mungil saya tenggelam di dalam lembaran-lembaran koran itu. Saya tidak mengerti satupun isi koran tersebut, saya hanya senang membacanya, tergila-gila dengan huruf-huruf di dalamnya. Kecintaan lain saya terhadap buku adalah saya selalu menangis jika tidak diberi buku, tetapi jika saya diberi buku untuk dibaca, saya akan anteng seharian. Kebiasaan membaca itu terbawa hingga dewasa, sampai saat ini ke manapun saya pergi, selalu ada buku dalam tas saya. Membaca belumlah lengkap tanpa disertai menulis, seperti pepatah ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Sejak kecil selain gila membaca, saya juga senang menulis diary, menceritakan kejadian-kejadian menarik yang saya alami. Kebiasaan ini juga terbawa sampai dewasa, ke manapun saya pergi akan selalu ada notes dan pulpen dalam tas saya. Saya terbiasa menuliskan hal menarik yang saya temui dan biasanya akan menjadi bahan inspirasi saya.

Ibu bukan hanya semata mengajarkan, tetapi Ibu selalu memberi contoh secara langsung, karena sejatinya seorang anak adalah peniru orang-orang di sekelilingnya. Kebiasaan saya yang mencintai buku juga meniru ibu saya yang selalu membawa dan membaca buku di mana saja. Contoh kecil lain adalah menabung, Ibu memang mampu memberikan apa yang saya inginkan, tetapi ibu mengajarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu kita harus berusaha sendiri. Ibu ikut menyisihkan uang di sebuah celengan yang sama dengan punya saya, maka saya pun meniru ibu menyisihkan uang di celengan saya. Mengisi celengan juga mengajarkan saya berhemat dan mengatur keuangan saya.

Ibu tidak pernah membiasakan saya jajan di luar, masa kecil saya terbebas dari beragam fast food yang belakangan ini menjamur di mana-mana dan menjadi favorit anak-anak hingga dewasa. Ibu selalu percaya bahwa kecerdasan seorang anak salahsatunya adalah dari gizi yang diberikan, oleh karena itu Ibu menyiapkan sendiri makanan yang penuh gizi bagi saya. Lidah saya terbiasa dengan makanan rumah, tidak pernah melewatkan sarapan dan minum susu, juga selalu membawa bekal saat keluar rumah.

Ibu tidak pernah membohongi saya dan selalu menepati janjinya kepada saya, saya pun demikian, kesal sekali rasanya bila ada orang yang menyepelekan bahkan melupakan janji yang telah diucapkan, padahal sejatinya janji adalah hutang. Ibu juga selalu tepat waktu jika menghadiri acara apapun, demikian pula saya selalu berusaha untuk tidak terlambat dan membiarkan orang lain menunggu kedatangan saya.

Singkatnya Ibu selalu mendampingi dan menjaga saya sejak kecil. Ibu bahkan mengusahakan tempat tinggal (rumah) dengan lingkungan sekitar yang baik, karena hal tersebut juga akan mempengaruhi perkembangan saya. Bahkan ketika saya telah dewasa pun, saya melanjutkan pendidikan jauh dari orang tua, Ibu senantiasa mendampingi saya dalam doa-doa untuk keberhasilan saya. Dan saya mampu mandiri karena kuatnya dasar agama dan karakter yang ditanamkan ibu sejak dini.


Masa Dewasa

 

Perempuan itu harus cerdas karena suatu hari kamu akan menjadi ibu dan punya tanggung jawab untuk mencerdaskan anak-anakmu.”

 

Ketika saya kecil ibu membimbing saya untuk survive menjadi manusia seutuhnya melalui dasar agama yang kuat dan juga pembentukan karakter sejak dini. Ketika saya beranjak usia dewasa, bukan berarti tugas ibu selesai, malah tugas ibu semakin berat untuk menyiapkan saya dalam meneruskan perjuangannya sebagai pendidik pertama dan utama para generasi bangsa.

Ibu selalu menekankan kepada saya untuk menjadi perempuan cerdas. Pendidikan dan prestasi adalah segalanya. Ibu mendorong saya untuk meraih cita-cita yang saya inginkan tanpa melupakan kodrat saya sebagai perempuan. Ibu percaya bahwa hanya melalui perempuan yang berilmu, berakal dan bertaqwa yang dapat menyiapkan generasi penerus, pemimpin masa depan. Perempuan (khususnya seorang ibu) menjadi barometer baik buruknya sebuah masyarakat. Rusaknya akhlaq wanita merupakan mata rantai yang saling bersambungan dengan kenakalan remaja, rapuhnya keluarga dan kerusakan masyarakat. Oleh karena itu ibu juga senatiasa menjaga perilakunya sehingga bisa dijadikan contoh serta tidak henti menambah wawasan sehingga dapat memberikan wawasan dan pengetahuan pula kepada anak-anaknya. Hal itu pula yang selalu ibu ajarkan sehingga saya paham betul posisi saya sebagai seorang perempuan yang kelak akan menjadi seorang ibu. Ibu saya bukan seorang ibu rumah tangga, beliau juga bekerja sebagai guru. Tetapi kesibukan ibu berkarir tidak menjadikan saya kekurangan kasih sayang, ibu selalu tahu prioritas mana yang harus didahulukan.

 

“Seorang perempuan boleh mengejar karir setinggi apapun tetapi tetap pegang teguh keimanan, senantiasa berpengetahuan dan penuh kemandirian, serta bermanfaat dalam lingkungan sosial. Dan harus diingat, perempuan tetaplah perempuan yang pada akhirnya akan kembali kepada keluarga dan menjalalankan kodratnya. Mainkanlah peran dengan baik dan tentukan prioritas sehingga tidak ada yang menjadi korban hanya demi ambisi semata”

 

Menjadi ibu tentu tidaklah mudah, begitu besar amanah yang diemban seorang ibu, maka tidaklah berlebihan jika ibu mendapat posisi yang teramat mulia, dikatakan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Saat ini, saya yang baru saja lulus dari perguruan tinggi dan sedang meniti karir membuat saya tersadarkan, suatu hari saya akan menjadi seorang ibu, kepada siapa lagi saya belajar selain kepada ibu saya? Tulisan di atas hanya sepenggal ingatan-ingatan tentang bagaimana ibu saya mendidik saya sampai bisa seperti sekarang ini. Tentu hanya meniru apa yang dilakukan ibu saya belumlah cukup, karena peradaban berkembang pesat, saat ini tantangan menjadi seorang ibu tentu bertambah berat dengan semakin gencarnya berbagai gempuran globalisasi dari seluruh penjuru dunia. Saya harus lebih banyak mempersiapkan diri untuk itu, karena untuk menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak kita tidak bisa kita peroleh dengan cara instan.

20120519_062831
Saya dan Ibu

Masih banyak yang harus saya pelajari, masih banyak sikap yang harus saya latih, masih banyak yang harus saya biasakan. Karena suatu saat saya akan menjadi contoh bagi anak-anak saya, karena sejatinya seorang anak adalah peniru, duplikat orang di sekitarnya. Anak-anak belajar sesuatu dengan menjadikan kita sebagai contoh. Anak-anak laksana cermin yang merefleksikan bayangan saat kita menatap dalam hamparan perilaku yang mereka perbuat.

 

“In a child’s eyes, a mother is a goddess. She can be glorious or terrible, benevolent or filled with wrath, but she commands love either way. I am convinced that this is the greatest power in the universe.” ― N.K. Jemisin, The Hundred Thousand Kingdoms

 

mother quote 1

 

Tulisan ini diikutkan dalam #LombaBlogNUB


revisi-posterblog-writing-competition-1.5-04092013.resized