Ibu : Pendidik yang Terus Belajar

Oleh mytinkerbell 19 Oct 2013

 Aula dipenuhi oleh remaja usia 16-17 tahun yang datang bersama orangtuanya. Setiap keluarga berpindah dari satu meja ke meja lainnya, sambil membawa berbagai brosur hasil ‘petualangan’ bersama. Acara sejenis ‘school expo’ di Tokyo memang selalu diminati. Semua sepakat dengan prinsip ini :

Masuk ke universitas terbaik berarti ‘tiket’ untuk hidup terjamin. Hidup dengan pekerjaan yang baik, kesempatan untuk memiliki karir yang berkembang, hingga kemampuan finansial yang mapan. Dan untuk bisa masuk ke universitas yang baik anak-anak harus masuk ke sekolah menengah yang baik.

Sakuragi, seorang pria di stan SMA Ryuuzan yang sedari tadi mengamati kesibukan ibu, ayah, dan anak di sana bertanya pada siswanya.

“Bagaimana menurut kalian, orangtua dan anak-anak yang datang kesini?”

Yajima menjawab, “Hanya orangtua yg terlihat bersemangat, namun anak-anak terlihat tidak peduli” 

Sekali lagi Sakuragi bertanya, “Mengapa anak-anak tidak peduli?”

Mizuno menjawab, “Karena mereka tidak serius dalam hidupnya”

“Lalu mengapa mereka seperti itu?” ujar Sakuragi.

Yajima kembali menjawab “Mungkin karena mereka masih duduk di kelas 9?”

“Mizuno, bagaimana menurutmu?” Sakuragi ingin mengetahui jawaban siswi itu.

“Mungkin mereka belum menyadarinya” Mizuno menjawab sambil menatap hiruk pikuk di sekitarnya.

“Menyadari apa?” tanya Sakuragi.

“Menyadari bahwa akan ada waktu dimana orangtua tidak bersama mereka lagi” tandas Mizuno.

Semua terdiam.

“Saat orangtua melakukan banyak hal untuk anak, sang anak tidak perlu pusing memikirkan banyak hal untuk dirinya. Jika sesuatu terjadi orangtua akan ada untuk menolong mereka. Tidak perlu khawatir tentang apa yang akan terjadi. Bukankah mereka tidak peduli karena hal ini?” lanjut Mizuno.

Mizuno hanya tinggal bersama ibunya sejak kecil. Dua perempuan itu bersama berjuang memperoleh nafkah dari sebuah rumah makan kecil yang menyatu dengan rumah mereka. Saat ini ibu Mizuno terbaring di rumah sakit, berusaha agar tetap hidup.

Benar. Bahkan sedikit cuplikan dorama Jepang ‘Dragon Zakura’ sedikit banyak menggambarkan pola pikir remaja di Jepang, Indonesia, bahkan mungkin dunia. Mencintai orangtua memang hal yang sangat wajar bagi seorang anak. Hingga kita selalu berharap dapat selalu hidup bersama mereka, saling menggantungkan diri. Tak jarang hingga dewasa, kita tidak pernah membayangkan hidup tanpa orangtua. Termasuk saya.

Saya tidak pernah ingat sejak kapan saya berusaha menjadi anak yang baik. Saya selalu ingin menjadi kebanggaan orangtua, menjadi anak yang pintar di sekolah, berperilaku sopan, dan berusaha mewujudkan mimpi-mimpi orangtua. Ibu saya pernah mengatakan saya harus menjadi seorang dokter, dan itu membuat saya berjuang menjadi seorang dokter. Bukan hanya meraih nilai mata pelajaran yang baik di sekolah; tapi saya juga belajar tentang kesehatan, nutrisi, hingga obat dan pengobatan. Hingga saya terbiasa mengenal obat yang saya konsumsi sejak sekolah menengah pertama. Saya mampu mengukur tekanan darah, jauh sebelum teman-teman saya mempelajarinya di laboratorium biologi.

Namun pada akhirnya saya bukan seorang dokter. Ya, manusia hanya bisa berusaha. Sisanya Tuhan yang menentukan. Saya mengorbankan hal-hal yang saya sukai sejak mempersiapkan masa kuliah, mungkin hingga saat ini. Saya ‘melepas’ mimpi yang sejak lama ada di dalam pikiran dan hati saya. ‘Tidak apa-apa’, kata ibu. Kemudian ibu mengatakan saya harus bisa membantu anggota keluarga besar yang kekurangan.

Tidak masalah, saat itu saya sadar dan merasa harus membantu dengan pekerjaan yang baik. Ditambah lagi ini bisa jadi kesempatan saya untuk membayar kegagalan karena tidak bisa menjadi seorang dokter di masa depan. Saya bisa ‘memperpanjang’ status saya sebagai ‘anak baik’. Takdir juga seakan mendukung itu. Dari sekian banyak ujian yang saya ikuti, hanya saya hanya diterima di satu perguruan tinggi swasta (PTS) yang mempunyai reputasi cukup baik di tingkat nasional. Alumninya banyak bekerja di BUMN maupun perusahaan swasta nasional.

Namun tidak semuanya berjalan lancar. Meninggalkan mimpi ternyata lebih sulit dari yang dibayangkan. Saya terbilang berhasil dalam menjalani masa kuliah. Selama dua semester saya sempat mendapat indeks prestasi (IP) sempurna, 4. IP saya tidak pernah kurang dari 3,5. Tapi selama masa itu tidak ada perasaan rileks dan nyaman. Saya tidak belajar bahasa asing yang saya sukai, tidak membaca buku selain buku referensi perkuliahan, dan tidak banyak menulis karena saya ‘tidak punya waktu’ untuk itu.

Saya ingin menjadi ‘anak baik’ dengan menjalani kuliah dengan baik, dan saya berpikir itu bisa dicapai dengan mengalokasikan 100% waktu saya untuk mempelajari apa yang diberikan di perkuliahan. Saya tidak punya rasa humor dan sangat serius. Saya berusaha sebisa mungkin memperoleh nilai yang tinggi, belajar, dan menjalani kehidupan kampus lengkap dengan pernak-perniknya. Hingga pertengahan tahun 2012 saya mudah sekali sakit. Hampir dapat dipastikan tiga minggu sekali saya ‘bertamu’ ke klinik kampus.

 Puncaknya pada akhir Februari 2013. Saya dirawat di rumah sakit karena tipus dan hepatitis. Ini membuat pekerjaan saya hanya tidur dalam sehari, selama satu bulan. Tepat satu bulan berikutnya, saya menjalani operasi tonsilitis, atau operasi amandel.

 Dan pada bulan-bulan berikutnya, saya tidak bisa beraktivitas seperti biasa. ‘Baterai’ dan daya tahan saya menjadi lebih lemah. Selama masa itu saya merasa berat menjalani status sebagai mahasiswa. Saya sempat berpikir untuk berhenti saja. Pasalnya pasca dirawat saya sempat mencobanya dan ternyata gagal. Saya kembali sakit. Tidak ada semangat, saya hanya ingin mencoba menjadi lebih sehat dan tidak melakukan apapun di luar itu.

Setelah bercerita tentang hal itu, ibu mengatakan

“Keputusan yang diambil itu akan dijalani sendiri. Nantinya buat bekal kalau ibu dan bapak sudah nggak ada,” 

Rasanya baru kali ini ibu menyerahkan sebuah pilihan besar kepada saya. Pada saat itu saya mulai sadar. Saya adalah diri saya. Yang akan menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Saya harus menjadi anak yang baik, tapi disamping itu saya juga bisa punya kehidupan sendiri. Keinginan, cita-cita, hidup, dan konsep hidup saya sendiri.

Saya tidak menyalahkan ibu yang sudah melahirkan dan membesarkan saya. Lewat peristiwa tadi saya menyadari bahkan lebih banyak hal.