Ibu, Praktisi Pendidikan Tunas Bangsa

Oleh Wida Wichan 21 Oct 2013

Anak sebagai penerus bangsa merupakan investasi masa depan suatu negara. Praktisi pendidikan punya tanggungjawab besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, sebelum anak mengenal pelajaran dan pengetahuan dari orang lain, peran mendidik lebih didominasi oleh orang tua dalam keluarga. Terlebih lagi sang ibu yang punya kontak batin dengan anak sejak dalam kandungan. Nilai-nilai agamis, sosial dan kemanusiaan juga dikenalkan pertama kali dalam lingkup keluarga. Oleh sebab itu, tak dapat dipungkiri lagi bahwa ibu memiliki peran vital dalam mendidik tunas bangsa.

Namun, kerapkali kita menemukan didikan yang tidak bertanggungjawab di luar sana. Entah itu lewat metode kekerasan fisik, umpatan, kurang perhatian hingga kelebihan kasih sayang. Tak jarang, perilaku-perilaku orang tua tersebut seringkali membunuh karakter anak. Repotnya lagi, karena orang tua itu terdiri dari ayah dan ibu maka masalah ini menjadi kian kompleks mengingat tiap pribadi punya pola pikir yang berbeda.

Saya bukan seorang guru sekalipun bersekolah di fakultas keguruan, saya juga bukan seorang psikolog sekalipun mencintai dunia psikologi, tapi saya tak buta mengamati, menelaah dan merefleksikan tiap perilaku orang dewasa di sekeliling saya dalam mendidik anak. Sadar atau tidak sadar, tiap tutur kata dan perilaku orang tua merupakan model serta pedoman anak dalam berperilaku.

Saya cukup miris melihat kasus-kasus negeri ini. Ada begitu banyak intelektual muda dengan beragam gelar menduduki tatanan pemerintahan dan memegang kendala kebijakan. Namun apa yang terjadi, mereka bak pedang bermata ganda; mampu menjaga pun pula mampu merusak. Sayangnya, persentase merusak lebih besar daripada persentase menjaga. Hingga bukan suatu hal yang mengherankan negeri ini makin bobrok dari hari ke hari.

Apa yang salah? Apakah pendidikan ini sebegitu bobroknya? Ada masalah apa di dalam keluarga hingga mencetak pribadi yang serakah? Semoga pertanyaan-pertanyaan ini tak hanya menjadi renungan saya saja, tapi juga kita semua sebagai pendidik, orang tua, orang dewasa dan calon orang tua di masa yang akan datang.

Sejatinya, anak lahir ke dunia bak kertas putih tak bernoda. Apa yang kita torehkan, apa yang kita ajarkan dan apa yang kita tuliskan akan membentuk karakter mereka. Selanjutnya, karakter itulah yang nantinya akan mereka gunakan dalam menyikapi suatu hal, menghadapi dunia dan bersosialisasi. Maka dari itu, mendidik itu bukan hal yang dapat kita lakukan sesuka hati dan semena-mena, tetapi harus sepenuh hati dan tak berleha-leha.

Berikut ini adalah beberapa hal yang ingin saya lakukan ketika saya menjadi seorang ibu suatu hari nanti agar anak saya bisa mandiri dan punya jiwa kepemimpinan:
1. Mengafirmasi diri saya sendiri bahwa saya itu guru pertama dan model utama anak.
Hal ini sebagai cambuk saya untuk menjadi orang tua yang melek informasi, wawasan dan pengetahuan sehingga dalam mendidik anak. Cambuk yang membuat saya tidak berpatokan dengan pengalaman masa lalu atau zaman dahulu, tapi lebih pada masa sekarang dan sifat anak itu sendiri. Selain itu, hal ini sebagai reminder saya mengaca diri apakah psikologi saya damai atau tidak, karena di luar sana ada begitu banyak orang tua yang berperilaku negatif kepada anak hanya sebagai pemuasan kekesalan emosi masa lalu.

2. Menerapkan sikap konsistensi dalam menyampaikan aturan dan menerapkan konsistensi.
Saya ingin jujur menjelaskan setiap aturan, kenapa harus ada aturan seperti itu seperti ini dan apa konsekuensi yang didapat jika dilanggar. Jika aturan tersebut berlaku di rumah, tentunya aturan tidak saya buat berdasarkan keputusan saya dan suami, tapi juga mengikutsertakan anak dalam menciptakan aturan. Dalam hal ini, saya melibatkan anak agar ia belajar bernegosiasi dan menjalin kesejahteraan tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga orang-orang di sekelilingnya (saya, suami, kakek, nenek atau mungkin anggota keluarga yang lain).

3. Melatih kemandirian, kreativitas dan inisiatif anak.
Jika anak dihadapkan pada masalah, saya tidak akan langsung turun tangan membantu dan menyelesaikan, tapi saya akan membiarkannya menyelesaikan masalahnya sendiri. Saya ingin melihat sejauh mana ia sudah mandiri, kreatif berfikir dan menciptakan inisiatif sendiri. Saya yakin jika anak mampu melakukan ini, ia akan belajar banyak hal yang tak akan mudah ia lupakan karena ia menemukan caranya sendiri mengatasi masalah. Kita orang tua hanya bertanggungjawab menuntun dan mengontrolnya saja.

4. Mengijinkan anak untuk bermain bersama teman-temannya dan belajar bersosialisasi.
Jika banyak orang tua takut anaknya begini begitu ketika bergaul dengan teman-temannya, mungkin saya akan berpikir sebaliknya. Dengan senang hati saya akan mengijinkan anak bermain dengan siapa saja agar ia mampu menelaah karakter individu, suku, status sosial, keyakinan, adat dan kebiasaan. Selanjutnya, anak akan menimbang dan menganalisa sendiri baik buruk suatu hal. Jangan terlalu khawatir dan membatasi pergaulan anak. Jika anak Anda sudah Anda bekali dengan nilai-nilai positif dari sejak dini, ia akan melesat sendiri bak anak panah. Intuisi akan selalu mengarahkannya memilih hal-hal yang positif.

5. Mengenalkannya pada tokoh-tokoh berpengaruh yang bisa memberikannya wawasan.
Pengenalan tokoh-tokoh hebat dan berpengaruh dapat dilakukan melalui media buku, video ataupun film. Lewat pengenalan ini, anak belajar sikap-sikap positif yang dimiliki oleh tokoh tersebut dan mengajarkannya tuk berani bermimpi dalam menggapai cita. Jika pengenalan tokoh tersebut memungkinkan tatap muka (misalnya tokoh masyarakat yang disegani), itu lebih baik karena anak akan melihat dan mengamatinya secara langsung.

6. Menumbuhkan cintanya akan tanah air.
Degradasi cinta akan tanah air melanda putra bangsa saat ini. Hingga bukan suatu hal yang mengherankan jika banyak orang lebih memilih luar negeri sebagai tujuan wisata, mencintai produk dan budaya asing (misalnya Korea, Amerika, Jepang) daripada negaranya sendiri. Bahkan, rasa bersalah pun tak ada ketika anak negeri ini melakukan tindak korupsi di negerinya sendiri. Nah, rasa cinta tanah air inilah yang ingin saya pupuk dalam diri anak saya nanti. Mengajaknya ke tempat-tempat sejarah, hal-hal terkait kultur bahkan lagu-lagu daerah dan nasional dapat dijadikan media memupuk cintanya akan tanah air. Cerita-cerita rakyat juga bisa dijadikan pilihan. Saya ingin anak saya punya pola pikir dan pandangan yang luas seperti negara-negara maju tapi tetap memiliki hati untuk negeri dan tanah tumpah darahnya sendiri. Dalam hal ini, saya ingin ia belajar tuk tak lekas lupa diri.

7. Mengajarkannya akan apa itu iman dan pengertian takut akan Tuhan.
Hal terkait kepercayaan dan mengakui adanya Tuhan (Pencipta semesta). Saya ingin mengenalkan sosok yang melukis bumi, yang mengajarkan cinta akan sesama manusia serta kunci dari setiap hati. Dengan begini, anak saya punya pedoman dan pegangan hidup di dunia. Sekalipun ia harus jatuh, ia tetap pribadi yang kuat karena berpegang teguh pada Pencipta, bukan saya, suami saya, atau pun siapa-siapa. Sehingga dalam berpikir, bertutur kata dan berperilaku ia punya rasa takut akan Tuhan yang adalah maha atas segala maha.

Itulah hal-hal kecil yang ingin saya lakukan dan terapkan jika nantinya saya menjadi orangtua. Mendidik memang tak semudah membalikan telapak tangan. Butuh perjuangan, refleksi, pemahaman dan kesabaran. Saya tak ingin menjadi orang tua yang menyesatkan, juga tak ingin menyetir kehidupan anak saya. Saya sebagai pendidik dan orang tua hanya dititipkan Tuhan untuk menjaga dan menuntun. Soal pilihan, cita-cita dan mau menjadi apa anak saya di kemudian hari, itu haknya sebagai manusia. Sekali lagi saya tegaskan, anak hanya titipan Tuhan, milik Tuhan bukan milik saya atau Anda.

Mengenai kepemimpinan, memang ada begitu banyak pemimpin cerdas di negeri ini, tapi sedikit pemimpin yang punya jiwa kepemimpinan, terlebih lagi untuk menjadi Servant Leader yang benar-benar melayani dan mumpuni. Jika anak diajarkan berterima kasih, menghormati, menghargai dan mengasihi sesama dari sejak dini, saya yakin anak Anda akan menjadi pemimpin sejati yang memiliki dedikasi dan integritas tinggi akan negeri. Negeri ini butuh pemimpin yang jauh dari sikap angkuh dan agresif, juga seorang pemimpin yang memiliki kesiapan mental untuk tak hanya menerima keberhasilan, tapi juga kegagalan. Mari berbuat suatu untuk negeri ini. #LombaBlogNUB