Ibuku, Malaikat Pemahat Batu

Oleh fuat hasan 19 Oct 2013

Perjalanan kepribadian seseorang selalu menjadi menarik untuk diceritakan. Bagaimana pergolakan hatinya, pola akal fikirannya, hingga seperti apa yang ia lakukan demi-untuk menjadi manusia yang berbudi luhur. Biasanya tak lepas dari kebiasaan seseorang tersebut di dalam rumah atau seperti apa sikapnya terhadap kedua orang tua. Orang-orang besar di negri ini, yang sering aku jumpai dalam buku-buku biografi, biasanya terjalin erat kedekatannya dengan kedua orang tua secara lahir dan batin. Terutama kedekatan dengan ibunya. Kedekatan inilah yang akhirnya membawa pengaruh besar dalam perjalanan hidup mereka.
Karena itu, jika ada pertanyaan tentang sebuah gagasan ideal menyangkut soal pendidikan berkarakter, yang tercetus pertama kali dari dalam otakku adalah ibu. Bagaimana tidak, karena ibu adalah manusia yang sangat dan paling unik di dunia ini. Terkadang ia menjelma sebagaimana seorang guru, sebentar ia menjadi teman, lantas menjadi teladan dan lain sebagainya. Berbagai macam peran yang ia peragakan dalam kehidupan sehari-harinya, demi tujuan: si buah hati sukses menjadi manusia yang unggul. Unggul secara intelektual, moral, spiritual, hingga sosial. Dan tak lupa dengan selalu berharap, si buah hati bisa selamat dari terpaan gelombang dahsyat kehidupan.
Maka kesimpulan sederhananya, selain ibu, pendidik atau seorang guru yang mana yang kuat hati mendidik, sekaligus memperlakukan anak didiknya secara komprehensif—utuh dan menyeluruh—yang tidak memaksakan kehendaknya sendiri? Kalaupun toh ada, mungkin tak kan banyak jumlahnya, hanya beberapa saja.
Asumsiku ini hanyalah hasil dari pengalaman pribadi bersama ibu ku sendiri. Seorang ibu yang pendidikannya hanya sampai kelas tiga Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar. Namun, ia mampu mengantarkan aku sampai di perguruan tinggi. Tak peduli dengan latar belakangnya seperti apa, yang terpenting di bagian kesimpulannya adalah anaknya bisa belajar setinggi mungkin. Itulah tekad ibuku, yang diucapkan sejak aku masih duduk di bangku SMP.
Aku bukanlah anak yang cerdas ataupun pintar, yang selalu mendapat prestasi di setiap sekolah yang pernah ku tempati. Semenjak pertama aku masuk dalam dunia sekolahan, tak pernah sekalipun aku menjadi juara kelas. Tak pernah ada piala ataupun piagam penghargaan yang ku pasang di pagar rumahku sebagai ungkapan kebanggaan. Selalu berada di tengah-tengah, alias standar dan biasa saja. Dan ketika pengambilan raport, ibu sering mengatakan “kamu selalu sakit ketika hendak menjelang ujian. Ibu yakin, mereka pasti kalah kalau kamu tidak sakit”. Memang, aku adalah pribadi yang pemalu, pemurung, emosional, mudah tertekan, cengeng, penakut, dan selalu banyak berpikir negatif. Sedari SD hingga sekarang, ‘sakit menjelang ujian’ tidak juga berubah. Mungkin telah membudaya dalam diriku. Hanya saja tidak separah disaat aku masih kecil.
Sebenarnya, aku sudah bisa menghitung dan mengeja tulisan sebelum masuk SD. Hasilnya, matematika selalu menjadi pelajaran favoritku. Sedang membaca buku, masuk dalam daftar hobiku yang sejajar dengan sepak bola, menggambar, menulis dan belajar. Ya, walaupun dari kesemua hobi tersebut tak ada satupun yang menyumbangkan piagam—kecuali menulis; itu saja baru sekali—tapi aku sangat menyukainya. Aku tidak berkecil hati dengan hobiku ini. Aku hanya bisa yakin, kalau nanti dengan hobiku ini, akan mampu membawaku menjadi orang yang bermanfaat atau berguna bagi orang lainnya. Amiieen.
“Anak ibu yang satu ini memang aneh. Kemauannya keras, pendiriannya kuat seperti batu, tapi kok penakut. Masak cuma mau ada ujian saja harus demam dulu”. Komentar setengah meledek dari ibu yang juga sering diucapkan. Biasanya aku selalu marah jika dikomentari. Lalu, ibuku akan semakin ‘menjadi’ dengan ledekan-ledekannya yang membangkitkan emosiku. Dengan lantang dan keras aku berargumentasi untuk meyakinkan ibuku bahwa aku tidak begitu. Tapi, ibuku berpura-pura acuh dan tetap meledek hingga emosiku memuncak. Hingga ahirnya, tanganku harus meraih apa saja yang sekiranya dapat dibanting atau meninju pagar rumah, sebagai pelampiasan emosi. “Marah, marah, dan marah. Itulah hal yang selalu kamu nikmati. Dengerin kata ibu, lelaki pemarah itu tidak baik. Jangan mencontoh ayahmu, ibu tidak mau kamu menjadi seperti ayahmu. Lelaki yang baik itu, seperti tokoh-tokoh Desa. Ramah, santun, dan mengayomi semua orang tanpa pamrih terhadap apapun. Lelaki pemarah adalah tanda bahwa jiwanya masih lemah. Kan, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan amarahnya.” nasehat ibu di waktu aku duduk (kira-kira) di kelas 5 SD, tapi masih tergambar jelas hingga sekarang.
Kemudian, mengenai kesederhanaan, ibu sering menjelaskan tentang itu. Mulai dari gaya hidup sederhana hingga cara berfikir yang sederhana. Ibu bilang, “berlebihan dalam hal berpikir hanya akan mengantarkanmu pada khayalan belaka (berandai-andai)”. Maka, sederhana menjadi lebih baik di sini, karena aku tidak akan terjebak dalam gagasan ideal yang entah dimana. “Kerjakan apa yang sekiranya dapat di kerjakan sekarang dan kerjakan dengan sepenuh hati, sederhana kan?”. Yah, semenjak SD, bekerja keras dan disiplin waktu juga menjadi hal yang terus di persoalkan oleh ibu. Ini dikarnakan ibuku sangat membenci pemalas. Sehinga, setiap hari aku sudah harus bangun ketika matahari belum menampakkan diri, agar aku mempunyai waktu belajar yang banyak. Dilanjutkan dengan menyapu halaman rumah, ruang tamu, hingga dapur, sebelum berangkat ke sekolah. Bagi ibu, kebersihan juga merupakan bagian dari pekerjaan.
Semua ini, hanya sebab aku dilahirkan dalam keluarga petani desa yang sederhana. Meskipun demikian, cinta dan kasih sayangnya yang tak pernah kering laksana samudra, selalu mengguyurku setiap saat. Tanpa itu, mungkin aku sudah hancur sejak lama; tak berdaya melawan kesombongan sang waktu dan sesumbar dunia. Yang kemudian membuatku semakin terpuruk di bawah jutaan bintang yang setia bersinar terang. Tapi, ibu datang bagaikan sesosok malaikat. Ia terus menjaga api semangat hidupku. Ia tak pernah peduli dengan resiko penderitaan yang akan ia tanggung kelak. Karna senyum puas dari si buah hati, adalah senyum terindah yang menjadi dambaan setiap ibu.
Aku sering menangis jika mengingat hal ini.
Hal ini jugalah yang selalu mendorongku untuk terus belajar dengan tekun, semangat dan pantang menyerah. Meskipun, entah sudah berapa banyak kegagalan yang ku dapat, namun tak satupun yang mampu untuk memisahkan tawa dari diriku sendiri, apalagi mundur dan putus asa. Aku selalu optimis, bahwa aku mampu dan patut, untuk menjadi hebat di antara sejuta dari mereka yang hebat.
Masih mengulas tentang masa lalu. Perjalananku dalam dunia pendidikan, selalu tersandung disetiap tahun setelah kelulusan. Satu tahun berhenti sebelum masuk SMA, dan dua tahun berhenti sebelum masuk ke perguruan tinggi. Jelas, semua ini karna masalah finansial. Tapi, ibu terus menyakinkanku bak suporter yang selalu setia, supaya aku terus maju ke medan laga. Alhasil, aku masih bisa tetap berdiri menjadi orang hidup hingga hari ini.
Ibu tidak pernah menuntut apa-apa mengenai pendidikan. Tetapi, dalam hal belajar, ketekunan tetap selalu ditekankan oleh ibu. Tidak ada alasan untuk tidak belajar, karna mencari ilmu hukumnya adalah wajib bagi setiap manusia. Di samping itu, karna ibu sudah mengenal betul siapa aku lebih dari diriku sendiri. Anehnya, yang ibu tuntut malah soal prilaku atau kepribadianku. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang di kemas dengan simbol, ibuku akan bertanya banyak tentang seputar kehidupanku. Kenapa harus dengan simbolik? Karna biasanya aku akan marah jika dikomentari atau dikritisi oleh ibu. Padahal ibu hanya akan mengecek, sebatas mana aku mampu mengendalikan emosiku, seperti apa aku mengerti tentang tanggung jawab, dan bagaimana (seperti apa) aku memandang dunia ini.
Walaupun dalam sudut pandang mengenai dunia, antara ibu dan aku sering bersebrangan, namun ibu tak pernah memaksaku supaya berpathok pada pandangannya. “Ibu tahu kok, bahwa setiap manusia itu berbeda. Tak peduli anak dengan orang tuanya sekalipun. Tapi, meskipun berbeda, kamu masih tetap menganggap aku sebagai ibumu kan?” tanya ibu sembari tangannya meraih bahuku dan menyandarkan kepalanya di kepalaku, diiringi dengan tawa kecil penuh cinta. Aku merasa damai sekali ketika moment itu. Betapa indahnya kedalaman hati ibu. Seolah-olah ia juga hendak mengatakan “Jalani hidupmu nak. Tidak apa-apa. Jika nanti kamu menuai kegagalan, kemarilah nak, peluk ibumu. Karna sampai kapanpun aku adalah ibumu. Dan jangan bersedih, apalagi menangis. Ibu masih di sampingmu, nak.”
Ibu, adalah malaikat paling nyata yang juga paling kreatif. Seorang motifator paling ulung, tanpa ada motif apapun.
“Seperti apapun keadaan kita, jangan sampai membuatmu tertekan dengan hidup, khususnya dalam belajar. Jika kamu tidak bisa menahan lapar, hutanglah pada temanmu dulu. Bersabarlah sebentar. Selagi ibu masih sehat, uang masih bisa di cari. Jangan sia-siakan waktumu, waktu tidak akan pernah bisa kita ulangi”. Kurang lebih, seperti ini mantra yang sering ibu ucapkan ketika aku pamit hendak berangkat ke Jogja. Nasehat inilah yang menjadi nasehat favoritku, karna cocok sekali untuk aku gunakan sebagai pendukung tekadku. Jangan pernah tertekan dalam keadaan apapun.
Pada dasarnya, ibulah yang mengajarkan aku bagaimana caranya meninju. Meninju apapun saja yang menjadi halangan ketika hendak melangkahkan kaki ke depan. Tentunya dengan cara yang benar secara normatif, yang juga lelaki banget. Dan siapa yang akan menyangka, jika kepribadianku mampu berubah hingga 180 derajat. Kini, aku sangat nyaman ketika menjalani hari-hariku. Semuanya terasa penuh dengan warna.
Soal pemimpin—memang—jarang sekali aku melihat calon-calon pemimpin yang mirip dengan tokoh-tokoh desaku dulu, seperti yang dikatakan oleh ibuku. Realita yang aku temui di kampus, semuanya sarat dengan kepentingan pada prakteknya. Mulai dari kepentingan individu, hingga kepentingan atas gerombolannya. Teman-temanku banyak yang mengatakan kalau aku ini lebih cocok menjadi guru. Sebab, di dalam organisasi gerak pikiranku di anggap masih “kaku”, tidak lentur seperti orang tua zaman dahulu. Menurutku, itu karna mereka adalah para korban politik ‘edan’ di zaman ‘edan’ sekarang ini. Dengan (mungkin) asumsinya yang konyol, “Jika tidak ikut ‘edan’ maka kita tidak akan aman!” Aku benci politik. Karna politik yang aku pahami sekarang, hanyalah ‘seni berdusta’ untuk mengelabuhi, menjegal maupun membunuh orang lain.
Beginilah sekarang adanya aku. Walau masih jauh dari kesempurnaan, tapi aku tak pernah sudi untuk berkecil hati, lalu menyerah pada kegagalan atau pasrah pada kenyataan. Putus asa tak berlaku bagi mereka yang hidup. Karna bagiku, mereka yang hebat adalah mereka yang berani hidup.
Kesimpulannya, aku sudah menjadi pemimpin bagi diriku sendiri. Entah di tengah-tengah keramaian atau berada dalam kesepian, bagiku tidak ada bedanya sama sekali. Sebab, akulah yang memimpin diriku sendiri, bukan sesuatu yang berada di luar diriku.
Ahir kata, tentulah jika sebuah artikel ini tak akan pernah mampu menggambarkan, apalagi mewakili—meski hanya secuil saja—tentang makna keberadaan seorang Ibu. Satu hal yang baru saja aku sadari adalah, selamanya aku tetap seorang bayi di hadapan Ibu. Tidak terlalu berlebihan kan, jika aku berasumsi seperti itu? Dibanding dengan apa yang telah semua ia berikan kepadaku hingga saat ini. Berkat ibulah, aku jauh dari kebodohan, aku jauh dari narkoba, aku jauh dari mabuk-mabukan, aku jauh dari maksiat dosa besar, hingga dijauhkan dari berbagai macam bentuk kekonyolan pola fikir manusia yang tidak menggunakan nalarnya.Tanpa ibu, tentulah aku tak lebih dari sehelai kapas yang mudah terbawa angin ke sana kemari. Lantas terombang-ambing tiada arti. Laksana puing, yang menjelang menjadi sampah.
Terimakasih tak terhingga untukmu, Ibu. . .

Fuat Hasan,11 oktober 2013, Yogyakarta. . .