I’m A Leader For My Child

Oleh ratna dks 15 Oct 2013

Tak mudah menjadi seorang Ibu di zaman sekarang, dimana dikte industri merajai. Berita tentang koruptor yang menunjukkan kemunduran moral terus berulang. Eksploitasi tayangan kriminalitas yang tak mendidik terus menjadi tontonan. Kecanggihan teknologi yang menciptakan candu untuk tiap orang terus menggerogoti. Dunia modern yang serba praktis dan instant membuat seorang Ibu serasa dikejar waktu dan rutinitas yang tiada henti.

Dunia mungkin tak lagi nyaman untuk ditinggali, tapi bukan berarti Saya sebagai Ibu harus menularkan ketidak nyamanan itu pada anak atau menunjukkan realitas yang ada di usia Mereka yang masih dini.

I’m a leader for my child !. Saya adalah pemimpin bagi anak-anak Saya, trainer yang dibutuhkan untuk membentuk SDM masa depan. Generasi yang akan bertumbuh dengan baik dan tak sekedar memiliki kepintaran IQ. Mereka juga harus memiliki kecerdasan SQ dan EQ. Sehingga di masa depan tahu bagaimana menghargai diri dan berempati pada orang lain.

Bermula dari rumah, dari diri sendiri, dari peran Saya sebagai Ibu yang harus memiliki kesabaran lebih. Membuat rutinitas dan kesibukan menjadi sesuatu yang indah untuk dinikmati. Menyiapkan makanan anak dari dapur sendiri, mengantar jemput Mereka dan memperhatikan hal-hal terkecil Mereka seolah ini adalah detik terakhir kebersamaan Saya dengan Mereka.

Akan sulit melakukan itu semua jika jejaring sosial dan situs belanja online menjadi hal utama dibanding interaksi nyata dengan anak. Dimana keteladanan dibutuhkan di usia tumbuh kembang anak, golden age orang biasa menyebutnya. Pada masa ini empati, naluri, akhlak dan sikap saling menghargai dengan orang lain dibangun. Norma hidup dipelajari dan dilatih sejak dini. Sekali kita lalai, menyerahkan tanggung jawab pembelajaran akhlak dari media atau lingkungan maka hal buruk bisa terjadi.

Management waktu, kreativitas dan praktek nyata dibutuhkan lebih dari sekedar teori. Bahwa agama tak sekedar ritual. Sikap jujur, saling tolong menolong dan kemauan untuk berbagi misalnya harus dicontohkan mulai sejak dini karena itu merupakan pokok agama.

ketika tayangan televisi yang tak mendidik serta gadget yang menawarkan game online seolah meringankan beban orang tua dalam pengasuhan. Sebaliknya Ia menciptkan racun yang memungkinkan menjadi candu bagi si anak hingga dewasa kelak.

Membatasi dan menyeleksi tayangan televisi maupun game online kemudian mengalihkan waktu yang kosong dengan kegiatan bersama seperti bersepeda atau mendongeng akan lebih memberi dampak positif bagi anak.

Arus kehidupan mungkin mendikte dengan konsumerisme dan kebendaan, bahwa dengan uang kita bisa memberi hiburan pada anak dengan makan dan bermain di mall. Tapi hakikat hidup yang sesungguhnya ada dirumah, dimana cinta dan kasih sayang yang kita tumbuhkan akan lebih berarti dalam membentuk anak di masa depan. Karena tak banyak waktu yang kita punya dalam membentuk karakter mereka, hanya ketika mereka masih anak-anak. Setelah menginjak remaja, anak akan punya dunia sendiri dan menimbang sendiri apa yang baik dan buruk untuk dirinya. Jadi lakukan apa yang bisa Ibu lakukan, tanpa melewatkan satu moment pun dalam tumbuh kembangnya, sehingga di kemudian hari tak akan ada perasaan menyesal dalam diri kita karena merasa tak cukup maksimal dalam menanamkan nilai hidup pada buah hati.