Intuisi dan Pemahaman Masalah Untuk Calon Pemimpin

Oleh Niken Kusumowardhani 16 Oct 2013

Bismillahirrahmannirrahiim,

Mempunyai lima anak dengan usia dari 3,5 tahun sampai 17 tahun, rasanya harus diakui kalau hidupku memang penuh warna. Sebentar harus bisa menyelami keluguan di kecil, sebentar harus bisa memahami si sulung dan sambil menjaga perasaan anak-anak yang di antaranya. Menyeimbangkan sikap agar menjadi diterima oleh semua anak, bukanlah hal mudah dan menuntut kesabaran juga keikhlasan. Aku belajar berproses bersama mereka. Karena buatku, belajar itu tidak hanya harus dilakukan oleh anak-anak, tapi juga orang tua, agar semuanya menemukan cara untuk menyelaraskan hubungan kekeluargaan yang nantinya akan kita bawa ke tengah masyarakat.

Karenanya, aku sering mengatakan bahwa pekerjaan menjadi ibu rumah tangga adalah the most chalenging job in the world. Pekerjaan yang amat menantang. Begitu menantangnya, hingga ketika asyik bermain dengan anak-anak, sesungguhnya kita sedang menciptakan sejarah kita sendiri, dan pada saat kita menggendong anak kita dengan penuh kasih sayang, sesungguhnya kita tengah menggendong masa depan kita sendiri.

Kita semua tentu sepakat, bahwa anak adalah cerminan orang tuanya. Sikap dan perilaku orangtua sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan kondisi psikologisnya. Mengenai hal ini, sungguh aku belajar dari kesalahan demi kesalahan dan kemudian berusaha memperbaikinya. Inilah yang aku maksud dengan berproses. Karena apa yang ada dalam teori buku-buku sering tidak pas dengan apa yang aku alami dalam keseharian.

Landasan utama dalam mendidik anak agar menjadi pemimpin yang kuat fisik dan ilmunya adalah dengn menanamkan nilai-nilai agama dan keimanan, agar anak mempunyai filter dari pengaruh-pengaruh dari luar. Agar anak bisa membedakan siapa teman yang membawa pengaruh baik atau buruk dalam hidupnya. Nilai-nilai agama juga akan membuat anak menyadari akan tugas dan kewajibannya dalam beribadah dan menuntut ilmu.

Sebagai orangtua, seringkali kita mudah menyalahkan orang lain apabila pada diri anak kita mengalami ketidakberesan atau ketidakseimbangan atau kesalahan. Padahal kalau kita mau melihat pada diri sendiri ada banyak kesalahan yang sering kita lakukan. Dari apa yang aku jalani dan amati selama mendidik anak-anakku, aku menemukan beberapa hal penting yang merupakan kesalahan orang tua dalam mendidik anak, yaitu:

1. Bersikap Over Protektif dan Memanjakan Anak.

Ini adalah sikap orang tua yang selalu ingin mengambil alih semua tugas dan peran anak. Apapun permintaan anak akan dituruti sebab tidak ingin anak bersedih. Orang tua ingin selalu menyenangkan hati anaknya. Baginya kesedihan anak adalah kegagalan orang tua. Sebisa mungkin memfasilitasi semua kebutuhan anak bahkan terkesan berlebihan, dengan tujuan ingin membahagiakan anak. Anak tak boleh terluka fisik dan hatinya.

Sebagai orang tua, kita tak harus selalu menuruti semua kemauan atau keinginan anak-anak. Kita harus bisa mengajarkan kepada anak sebuah usaha untuk mendapatkan sesuatu, agar anak bisa lebih menghargai sebuah hasil. Belajar mewujudkan keinginan adalah belajar bagaimana mengelola situasi dan kondisi yang mendukung atau menghambatnya.

Sikap over protektif dan memanjakan anak ini justru malah membuat anak menjadi tidak percaya diri. Terbiasa dalam kesenangan, tak memahami bahwa dalam hidup ada sisi susahnya. Membuat anak jadi tidak memiliki semangat juang untuk mendapatkan sesuatu, menjadi gampang menyerah, atau tidak strugle. Sedikit saja merasakan ketidaknyamanan, anak akan merasa frustasi. Seorang pemimpin yang baik tidak bisa tumbuh dari jiwa yang frustasi.

Menumbuhkan semangat menabung atau memberikan chalenge kepada anak akan membantunya mewujudkan sebuah impian. Mendorong anak mempunyai impian jangka pendek ataupun jangka panjang akan membuatnya merasa mempunyai tujuan.

Dari hal kecil, aku biasa melakukan ketika anakku ingin membeli mainan baru. Kesempatanku untuk memberikan chalenge untuknya, yaitu dengan mengumpulkan poin kebaikan. Misalnya, anak harus mengumpulkan 50 poin kebaikan (atau jumlah yang disepakati bersama). Tetapkan dulu apa-apa yang harus dilakukan anak untuk mendapatkan poin tersebut. Makan habis, membereskan mainan dan alat tulis, membuka jendela kamar tiap bangun tidur, menabung, dan lain-lain yang semua itu diharapkan akan menjadi perbaikan pada diri anak. Kalau 50 poin sudah penuh, barulah mainan dibelikan. Dengan begitu, anak belajar: menunda keinginan, berusaha untuk mendapatkan kesenangan, lebih apik dalam merawat barangnya, dan perubahan-perubahan ke arah perbaikan.

2. Bersikap Otoriter.

Sikap ini adalah kecenderungan orang tua untuk mengatur dan menguasai anak secara berlebihan, terlalu mencampuri urusan anak, yang mengakibatkan anak tumbuh dengan kepribadian yang lemah dan rentan, terutama pada saat mereka menghadapi masalah atau tekanan dari luar. Anak juga akan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru.

Terlalu banyak kata “jangan” yang diucapkan oleh orangtua kepada anaknya. Rasanya anak harus selalu mau mengikuti apa kata orang tua atau harus nurut. Mengatur apa-apa yang harus dikerjakan anak, termasuk mengatur dalam menentukan masa depan anak.

“Itu salah, ini benar,” selalu diucapkan tanpa memberi kesempatan anak belajar dengan berproses. Bagi orang tua, anak harus berhasil lebih baik dari dirinya. Sebagai sebuah pembuktian bahwa orang tua berhasil mendidik anaknya. Kadang menjadi sebuah obsesi yang penuh dengan ambisi orang tua.

Menetapkan target terlalu tinggi dan menuntut anak untuk dapat mencapainya. Hal ini membuat anak menjadi stress, dan bagaikan bom waktu, hal ini bisa meledak suatu hari sebagai wujud berontaknya anak akan tekanan yang dialaminya selama ini.

Kepada anak-anak, aku selalu mengarahkan mereka untuk membuat afirmasi untuk sebuah tujuan. Contohnya ketika anakku hendak menghadapi Ujian Nasional, aku menyerahkan sepenuhnya pada anak target nilai yang ingin mereka raih dan sekolah mana yang hendak menjadi tujuan mereka. Aku tidak ingin, anakku merasa bahwa mereka belajar hanya untuk menuruti keinginan orang tua. Kalau mereka diberi kepercayaan menentukan sendiri nilai dan sekolah tujuan, mereka akan bertanggung jawab dengan pilihannya. Aku berikan support dengan memfasilitasi apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka.

3. Bersikap Mengabaikan.

Mengabaikan di sini maksudnya adalah, orang tua yang tidak memberikan motivasi, bimbingan, nasehat kepada anak-anaknya. Anak tumbuh tanpa penghargaan dan sanjungan. Padahal perasaan ingin dihargai itu adalah kebutuhan kita semua temasuk anak-anak. Anak juga memerlukan hadiah atau reward dari usaha-usaha mereka dalam melakukan sesuatu. Semua itu sebagai motivasi mereka untuk melangkah ke masa depannya.

Bersikap mengabaikan juga termasuk tidak memberikan teguran atau peringatan atau bahkan hukuman bila anak melakukan kesalahan. Padahal hal ini perlu untuk mengajarkan anak yang baik dan yang buruk, yang salah dan yang benar. Anak yang tak pernah mendapatkan teguran akan tumbuh semaunya, tidak disiplin dan pembangkang.

Perlu diingat, hukuman dilakukan bila langkah-langkah lain tak berhasil mengubah kebiasaan dan tingkah buruk anak. Lakukan dulu nasehat, anjuran, peringatan dan tak lupa memberi contoh yang baik, barulah beri hukuman bila semua itu sudah tidak mempan.

Karena anakku banyak, sudah tentu akan sering terjadi gesekan-gesekan diantara mereka. Bila ada pertengkaran diantara mereka, aku biasa mengumpulkan mereka dan meminta mereka mengemukakan pendapatnya. Setelah ditemukan benang merahnya, barulah nasehat diberikan. Biasanya anak-anak akan lebih bisa menerima hal ini dibandingkan bila aku memarahi mereka seketika saat ada masalah. Karena ternyata masing-masing mereka punya alasan mengapa mereka berbuat begitu dan mendengarkan alasan mereka membuat mereka merasa dihargai.

4. Sikap Lemah dan Tidak Punya Pendirian.

Orang tua yang tidak punya pendirian sering tidak konsisten pada apa yang dikatakan atau apa yang menjadi peraturan yang dibuatnya sendiri. Kadang orang tua memarahi bila anak mengerjakan sesuatu dan di waktu yang lain memujinya untuk hal yang sama. Atau, orang tua melakukan sesuatu, tapi anak tidak boleh. Contohnya, anak tidak boleh nonton tv dan disuruh belajar, tapi orang tua malah menyalakan tv dan duduk santai menontonnya. Contoh lain, meminta anak untuk mebuang sampah pada tempatnya, tapi orang tua membuang sampah sembarangan.

Padahal anak sebagai calon pemimpin yang bijaksana perlu diajarkan bagaimana menegakkan kebenaran dan mau mengakui kesalahan. Untuk itu, anak perlu mendapat ketegasan sikap dan contoh yang baik, agar anak tidak menjadi ragu-ragu atau bahkan menganggap remeh orang tuanya. Sebuah aturan yang sudah disepakati bersama harus ditegakkan bila memang ada yang melanggarnya. Menjadi teladan yang baik bagi anak-anak adalah sebuah keharusan. Orang tua juga harus mau mengakui kesalahan dan minta maaf kepada anak. Dengan begitu, anak belajar menghargai dan mematuhi aturan.

Anak-anak cukup kritis memperhatikan dan bahkan memprotes ketidakkonsistenan orang tua. Sayangnya tidak semua anak mampu mengungkapkannya. Sebagian dari mereka hanya memendam kekecewaan dan memperlihatkannya dalam sebuah sikap yang melawan.

5. Sikap Pilih Kasih

Terlalu memberikan keistimewaan kepada salah satu anak akan menimbulkan kecemburuan dari anak yang lain. Merasa tersisih dari saudaranya bisa menimbulkan rasa dendam dan sakit hati. Orang tua tidak boleh pilih kasih dan harus bersikap adil kepada anak. Dalam mencurahkan kasih sayang dan perhatian harus sama. Dalam memuji dan menegur juga harus seimbang. Menjadi pemimpin yang adil di kemudian hari, anak sejak dini harus berada dalam suasana yang seimbang dalam hubungan persaudaraannya.

Rasulullah saw bersabda,”Bertakwalah kepada Alloh dan bersikap adillah kepada anak-anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bersikap adil bukan berarti selalu memberikan apapun dalam jumlah yang sama, melainkan disesuaikan dengan usia dn kebutuhan anak. Anak usia 17 tahun tentunya berbeda kebutuhannya dengan anak berumur 4 tahun. Maka dalam memberikan uang saku atau pemenuhan kebutuhannya juga harus berbeda. Anak harus diberikan pemahaman akan konsep adil yang sebenarnya. Tidak mungkin bisa disamakan uang saku untuk anak sulungku yang sudah kelas XII dengan anak bungsuku yang masih Play Group.

Itulah kesalahan-kesalahan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Lebih khususnya, seorang ibu amat berperan penting di dalam tumbuh kembang anaknya. Semua itu membutuhkan kesadaran dari ibu atau orang tua untuk mau berubah dan memperbaiki diri agar anak-anaknya bisa menjadi generasi yang penuh rasa optimis dan percaya diri menyambut masa depannya. Anak yang tumbuh dengan rasa percaya diri, mandiri, berani, imajinatif, aktif, pandai bersosialisasi, kelak akan menjadi pemimpin yang sehat dan pintar jasmani dan rohani.

Satu hal yang perlu diingat:

Mendidik anak yang kita harapkan bisa menjadi calon pemimpin yang sehat dan pintar, tidaklah membutuhkan segudang teori, tetapi memerlukan intuisi dan pemahaman masalah.

 

4 Komentar

Lutfia Insani

22 Oct 2013 16:57

hmm gimana ya? Masalahnya, sekalipun banyak orang tua dan calon ortu memahami teori ini, tapi ketika berhadapan dengan sang anak kandung, seolah mendadak hilang teori-teori ini...

Niken Kusumowardhani

23 Oct 2013 10:49

Memang betul, itu makanya yang dibutuhkan bukan teori tapi intuisi dan pemahaman masalah :)

Uniek Kaswarganti

22 Oct 2013 09:30

Bunda, yg mengumpulkan poin itu keren juga ya idenya hehheee... Bisa nih kucontek buat 'pancingan' Vivi sulungku yg sering ngejak adu argumen kala diminta melakukan sesuatu. Banyak enggak maunya maksudnya hehehee... Five kids?? Subhanallah... Bunda Lahfy memang luar biasa, aku anak dua saja sudah sok merasa keteteran, jadi malu sendiri :D

Niken Kusumowardhani

22 Oct 2013 16:11

Ngumpulin poin itu dampak positifnya, anak-anak jadi terbiasa menabung sekarang. Menyisihkan uang jajan justru malah nggak enak kalau mrk nggak melakukan. Udah jadi kebiasaan.

isnaini khomarudin

22 Oct 2013 08:46

the most chalenging job in the world, betul sekali. teladan saat ini makin kering, anak2 ga cukup dicekoki tanpa diberi contoh langsung.

Niken Kusumowardhani

22 Oct 2013 16:07

Semoga kita mampu menjadi contoh yang baik untuk anak-anak.

rudigaswan

17 Oct 2013 23:13

resep nomor empat sepakat banget, karena sikap orangtua yang berubah-ubah bisa memancing emosi anak yang tidak positif. Perlu diberi pengertian dengan penuh kasih sayang agar komunikasi terjaga dan interaksi menjadi lahan saling menguatkan. Sukses!

Niken Kusumowardhani

18 Oct 2013 09:11

Cuma yang nomer 4 nih yang sepakat? Hehehe... Menjadi teladan buat anak memang sudah keharusan ya mas. Dan harus konsisten.