Jimat Ajaib dari Ibu

Oleh Intan Novriza Kamala Sari 18 Sep 2013

Tidak dipungkiri, karakter dan pola hidup saya sekarang ini adalah hasil dari didikan ibu semasa saya kecil. Dari ibu, saya belajar banyak hal. Merasakan rasa manis, asam, asin juga pahit, semuanya pertama kali berawal dari uluran tangan ibu. Memandang ragam warna dunia dari balik pangkuan ibu. Serta merasakan jatuh cinta berulang kali saat memandang wajahnya yang penuh kasih saat menyuapi saya makan. Juga geli saat melihat ekspresi lucu ibu, saat beliau terpaksa memelototi saya ketika saya mulai mengenal “nakal”. Oh iya, ibu juga satu-satunya sosok hebat yang tahu benar cara mengembalikan kepercayaan diri saya yang saat itu seringkali mengerdil.

Di masa kecil, saya memilih untuk tidak merasakan dunia PAUD dan TK. Bukan apa-apa, pada umur 4 tahun, saya merasa sudah mampu berhitung sederhana, membaca dan mewarnai. Saya mampu melakukan semuanya dengan baik, kecuali menggambar. Saya kesulitan melakukan aktivitas yang satu ini, meskipun tinggal sekedar meniru gambar yang telah ada. Saya sempat minder, tapi ibu selalu bilang “Nggak apa-apa, sayang. Toh, Intan udah pinter banget baca cerita. Ntar ibu beliin buku mewarnai yang banyak ya. Jadi Intan nggak usah susah-susah menggambar, tinggal mewarnai saja.” What a beautiful your heart, mom! :’)

Berkat ibu, saya tidak mempermasalahkan benar ketidakmampuan saya untuk menggambar dengan baik. Sekedar bisa menggambar pemandangan sawah yang menghampar, bunga matahari dalam pot atau botol yang berisi air setengahnya, sudah membuat saya girang. Berkat ibu, saya tidak harus berpura-pura menyukai menggambar, saya tidak harus mempelajarinya kalau saya memang tidak berminat.

Berlawanan dengan ketidaksukaan saya pada aktivitas menggambar, saya begitu menyukai membaca. Entah sejak kapan saya mulai mencintai benda cantik bernama buku. Mungkin sejak ibu mulai rajin membelikan saya beragam majalah anak dan berbagai buku dongeng. Sebanyak apapun buku yang diberikan, saya selalu minta “tambah”. Rasanya menyenangkan sekali tenggelam dalam cerita warna warni yang dihadirkan dalam buku-buku itu. Mungkin kebiasaan membaca sejak kecil yang membuat saya terkadang suka berimajinasi menembus batas. Pikiran saya tidak bisa istirahat kecuali sedang tidur. Pikiran-pikiran aneh seperti “Kalau misalnya ini begini gimana ya?” “Kalau ini diginiin bagus nggak?” “Apalagi yang bisa saya kerjakan ya?” Saya tumbuh menjadi anak yang seolah memiliki energi berlebih, susah diam, fisik maupun pikiran selalu bergerak, berlompatan kesana kemari.

Seiring waktu, saya memiliki hobi baru, yakni mendongeng. Setiap kali saya menuntaskan buku yang diberikan ibu, ibu selalu menanyakan “Tadi apa isi bukunya, nak? Ceritain ke ibu dong.” Saya pun mulai berceloteh riang di hadapan ibu. Menyampaikan alur cerita yang sedikit berantakan, tampil dengan gerak tubuh yang lucu, serta menagih sebatang cokelat setiap kali saya sukses mendongeng. Awalnya saya hanya berani tampil di hadapan ibu. Lama kelamaan bukan hanya ibu yang jadi penonton setia saya, tapi juga ayah, paman, bibi serta saudara-saudara sepupu. Sejak itu, saya memiliki profesi baru, tukang dongeng :D

Berani cuap-cuap di hadapan para anggota keluarga menjadi tonggak awal keberanian saya untuk menjelajah berbagai kompetisi. Sejak masih berseragam putih-merah, saya sudah menjajal satu per satu jenis lomba. Lomba baca puisi, lomba menulis artikel tentang sekolah, lomba drama, juga langganan menjadi petugas upacara dengan bagian yang sama setiap kali tampil ; pembaca Pembukaan UUD 1945, pembaca motivasi siswa, atau menjadi MC. Semuanya tidak bisa dibilang proses yang mudah. Anak kecil seperti saya di waktu itu, sangat membenci kekalahan. Saya pernah mogok ngontes sewaktu kalah, padahal saya merasa sudah mengeluarkan kemampuan terbaik yang saya miliki. Dan di masa-masa sulit maupun masa senang, ibu menjadi orang pertama yang mendekap pundak saya. Ah, tanpa ibu, bisa apa saya sekarang?

Punya rasa percaya diri yang termanajemen dengan bagus, sungguh menyenangkan. Tidak semua orang memiliki “jimat berharga” ini.  Di masa sekolah, saya tahu banyak siswa yang sebenarnya memiliki potensi diatas saya, tapi mereka tidak memiliki keberanian. Hasilnya, saya mendapatkan cahaya prestasi gemilang ketika bersekolah, akademik oke, prestasi di luar juga oke. Saya masih lanjut ngontes hingga sekarang *semester 5 di Perguruan Tinggi*. Saya berlatih menjadi pemimpin yang baik untuk diri saya diri. Membuang jauh-jauh perasaan malas, juga mengenyahkan rasa pesimis secepat yang saya bisa. Hidup hanya sekali, jika tidak diisi dengan melakukan hal-hal baru yang bermanfaat, di bagian kehidupan mana, kita bisa mencicipi manisnya? Lagipula bagi saya, selama saya telah melakukan yang terbaik, kalah menang bukan urasan. Saya tidak ingin merusak esensi kompetisi dengan direcoki ambisi untuk menang yang berlebihan, piala dan hadiah tidak lebih untuk kesenangan sesaat. Apa artinya memandang puluhan piala yang terpampang, jika setelah itu kita tidak lagi produktif ? Saya mencintai dunia kompetisi, karena bagi saya kompetisi adalah cara mewujudkan eksistensi kita sebagai manusia, tanda bahwa kita masih hidup, masih bernafas dan bergerak. Saya ingat benar bahwa ini semua adalah ajaran ibu. Ibu bilang “Nikmati saja prosesnya, nak. Hingga bahkan kamu lupa tengah berkompetisi. Fokus saja dengan pengembangan kemampuan diri, bukan gelar juara atau hadiah.” Terimakasih banyak, ibu! :’)

Saya sama sekali tidak ingin mengelak, berkat “jimat ajaib” yang diberikan ibu, saya menjadi lebih berani berjuang. Saya merasa lebih akrab dengan diri saya sendiri, karena saya tahu benar apa kelebihan dan kekurangannnya. Berkat ibu, kepercayaan diri saya terpupuk rapi, karena ibu mengajarkan untuk tidak ambil pusing pada hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan, hanya berfokus saja pada hal istimewa yang bisa dilakukan. Berkat ibu, saya menjadi berani menjadi pemimpin bagi diri saya sendiri, berani menentukan hal apa yang ingin saya tekuni, berani meninggalkan yang tidak saya minati. Bukankah manusia tidak dituntut untuk menguasai segala bidang, bukan?

Dan kelak di masa depan, saya ingin menjadi ibu yang mampu mengantarkan anak menjadi yakin dengan kemampuannya serta mengabaikan kekurangannya. Saya ingin menumbuhkan kepercayaan diri yang kuat dalam dirinya, sehingga mental anak saya kelak sudah terbentuk dengan kokoh. Saya ingin, dia menikmati hidup yang dia punya dengan cara yang bertanggung jawab. Saya ingin mendidiknya dengan memperhatikan benar, minat, bakat dan potensi yang dia miliki.

*Tulisan ini diikutsertakan pada #LombaBlogNUB