Jujur itu Bapaknya Makmur, Le ..

Oleh Taufiqurrohman Slow 17 Oct 2013

Semakin lama menjalani hidup, semakin sadar alangkah banyak hal tak ternilai yang dinugerahkan Tuhan kepadaku. Ditakdirkan lahir dari rahim umik (begitu aku memanggil umikku. dari bahasa arab ummi artinya umikku), ialah diantara anugerah terbesar yang baru kusadari akhir-akhir ini. Ya akhir-akhir ini, semenjak ayahku meninggal, semenjak aku bergaul secara intens bersama beliau, semenjak aku sadar.

Tanpa bermaksud sombong, banyak diantara teman sekitarku yang mengatakan bahwa aku merupakan pribadi yang jujur. Akupun menyadari demikian. Namun meki begitu, amat kuakui betul setelah sesekali merenung bahwa karakter jujur itu lahir tidak dengan sendirinya, melainkan merupakan bentukan dan penanaman dari umikku sejak dini. Melalui  nasehat-nasehat serta tauladan yang beliau contohkan, seolah alam bawahku sudah disetting untuk berlaku jujur dalam berbagai keadaan. meskipun terkesan merugikan diri sendiri. Tapi kejadian-kejadian berikut ini kiranya menjadi pondasi-pondasi yang menyatu sehingga sifat jujur bisa kokoh dalam hidupku.

***

Suatu hari Dinas Pendidikan di kecamatanku mengadakan lomba pidato tingkat SD/MI dalam rangka Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-50. Umikku kemudian ditunjuk menjadi salah satu jurinya. Dua minggu sebelum perhelatan berlangsung, salah satu guruku silaturrahim ke rumah. Beliau ternyata bermaksud memberitahu umikku bahwa madrasah mempercayai aku sebagai peserta lomba pidato. Mendengar kabar tersebut, terpancarlah rona bahagia diwajah umikku. Umik lalu menyanggupi akan melatih aku secara intensif di rumah.

Tiap malam aku ditempa umikku untuk dapat tampil terbaik saat lomba. Aku berdiri di atas kasur dan umikku meyimak sambil memegang bantal ditasnya. Diajarinya aku berbagai teknik, mulai sopan santun, ketegasan ketika berkata, sampai lagu dan mimik dalam pidato. Umikku sangat sayang kepadaku, tetapi bukan berarti beliau memanjakanku. Saat latihan, tak segan-segan umik memarahiku bila apa yang kulakukan tidak sesuai dengan instruksi yang beliau sampaikan berkali-kali. Namun senyum tulus dan sanjungan-sanjungan yang belau selingkan dalam tahap-tahap pembelajaran membuatku tak bosan dan patah semangat kala latihan. Apalagi beliau menjanjikan akan memberi hadiah bila aku dapat piala dalam lomba tersebut. Hingga tibalah hari pelaksanaan lomba.

Aku berangkat bersama guruku dengan kepercayaan diri tinggi. Namun itu tak lama, betapa terkejutnya saat tahu ternyata peserta lomba kebanyakan kelas V dan VI. aku yang saat itu kelas III, dari fisiknya saja sudah kelihatan selisih umurku dengan lainnya. Ternyata di tengah kesumikkannya umikku tetap perhatian kepadaku. Umik lalu menghampiriku dan bilang “Gak usah minder fik, yang lain itu sama saja kemampuannya”. Aku lantas kembali pede. saat tampil aku mengerahkan kemampuan terbaikku, dan sangat yakin akan meraih kemenangan. apalagi jurinya umikku sendiri pikirku.

Setelah diumumkan hasil perlombaan, betapa kecewanya, meskipun aku putra dari salah satu juri ternyata aku bukan salah satu perlombaan ini. Di rumah aku kemudiaan protes kepada umikku ”mik, saya kok tidak sampean menangkan tadi? kan umik yang nulis nilanya!”. “Lho, ya nggak boleh kayak gitu le, umik itu menilai berdasar kemampuan. Sampean tadi sudah buagus kok, tapi yang lain ada yang lebih bagus. Buktinya sampean kan paling pinter se sekolahan gitu” jawab beliau dengan tersenyum dan mengelus kepalaku, lau beliau menyambung “Kalo umik menangkan sampean berarti nanti umik tidak jujur, kalau tidak jujur nanti yang harusnya juara 1 yang nangis to? pokoknya anake umik kudu jujur, nek jujur engkok bakale makmur (anaknya ibu harus jujur, karena jujur pangkal makmur)”. Akupun sadar akan kesalahanku kemudian tertidur dalam pelukan umikku.

Hal iti tidak pernah akau lupakan, betapa beliau menanamkan kejujuran lewat tindakan yang beliau perbuat. Hingga suatu hari aku menghadapi ulangan bahasa arab tanpa aku ketahui sebelemnya karena minggu sebelumnya kau harus ikut lomba pidato tadi. karena tanpa persiapan banyak, akupun kesulitan untuk mengerjakan, namun berkat tauladan umikku akupun tak mau untuk sekedar melirik jawaban teman disampingku, yang memang pintar juga mempersiapkan betul ulangannya. Hingga sampai-sampai pada minggu berikutnya saat pembagian nilai umik guru memanggilku “taufiqurrohman, masak utusan lomba pidato nilainya 50, belajar lagi ya nak”. Sontak seluruh kelas riuh. akupun ngambek hingga pulang ke rumah

Kala jam satu, saat ayah umik pulang dari mengajar, aku masih mengurung di kamar. Sebagai upaya cari perhatianku, aku pun tidak mau membukakan pintu depan rumah sebagaimana biasa. Hingga akhirnya umik sendiri yang membukakan pintu depan  lewat pintu samping. Mengetahui aku di kamar dengan wajah murung, umik lalu menghampiriku “Kenapa fik, sakit ta smpean?” dengan wajah penasaran dan penuh perhatian dipeganglah jidatku yang memang tak panas. Kugerakkan kepalaku saat beliau memegang dengan, isyarat kalau aku sedang marah dengan beliau. “Kenapa nak?” aku teatp diam saja. Beliau kulirik tersenyum ke arahku kemudian meninggalku sendiri di kamar.

Sepertinya beliau tahu kelemahanku, yang memang tidak tahan untuk tidak makan di watunya. Setelah beliau mandi dan sholat, aku yang masih memegang guling dumikjuknya sekali lagi.” ayo fik, makan yuk” umik tadi dapat ayam dari rapat”. ayok ayok  fik makan bareng ayah” pintanya halus. Akupun takluk. aku lalu bangun dengan wajah murung tetap aku tampakkan dan tak sedikitpun menghadap umik. Setelah makan aku lalu ditanya sambil mengelus kepalaku lembut “kenapa adek ada apa?” aku diam beberapa saat

 Akhirnya tak kuat memendam” katanya umik jujur itu makmur, saya minggu lalu ujian tidak belajar akhirnya dapat 50, diketawain teman-teman lagi”. umik lalu tersenyum, kemudian beranjak ke kamar dan membuka tasku yang memang masih berserakan sejak pulang rttadi. sambil diperlihatkan nilaiku beliau bilang “Jujur itu bapaknya pak makmur le. dadi kalo bapak tua baru lahir anaknya. kalau upik tidak jujur, nanti 100 nya jadi nol. kalau jujur 50 itu nilanya 100 nanti anaknya” sambil ekspresi lucu beliau mengatakannya. aku pun tersenyum mendengar nasihat umik yang lucu tapi mengena itu.

***

Hingga saat ini aku terbiasa untuk selalu jujur dalam mencapai apapun. bagiku, dalam tindakannya tersirat nasehat yang sampai saat ini sangat melekat, “Lebih baik memilih gagal dalm mencapai sesuatu daripada  mampu mencapainya tapi harus tidak jujur”.

Kini usiaku sudah 24 tahun, selain mengajar aku juga melanjutkan studi pascasarjana jurusan bahasa arab di salah satu kampus negeri di Jawa Timur. Semakin banyak fenomena yang kudapat disekitar, sekalipiun dunia akademik, betapa iklim ketidakjujuran sungguh menjamur dalam kehidupan. seolah adagium ‘jujur ajur’ benar-benar menjadi realita tak terelakkan bial memahami dengan dangkal. aku berharap tidak masuk dalam lingkaran setan itu, dengan menjaga dan tak menebang pohon kejujuran yang telah dibibitkan umik kepadaku sejak aku masih belum bisa membaca dulu. sebagaimana umikku bilang “jujur pangkal makmur nak”. Benar sekali apa yang telah diajarkan guruku bahwa kasih umik itu ‘kaanna syamsa tunawwiru dunyaya’(bagai sang surya menyinari dunia). yang mana menyinari tak hanya berarti ‘waktunya tanpa batas’, tetapi menyinari juga berarti ‘memberi pencerahan dalam gelap perjalanan kehidupan. syukron, mik!