Kisah 1001 Malam untuk Inspirasi Pemimpin Kecilku

Oleh anep paoji 21 Oct 2013

Satu cita-cita yang ingin kami tularkan kepada kedua putriku, menjadi seorang penulis. Meski kami menyadari, cita-cita tidak bisa ditularkan, cita-cita harus berdasarakan kesadaran kognitif anak sehingga benar-benar bisa mewujudkannya. Selain cita-cita itu kami tidak pernah mengajarkan cita-cita yang lain. Misalnya jadi dokter, pilot atau pramugari, layaknya cita-cita nge-tren yang sering disebutkan anak-anak setiap zaman.

Mengapa cita-cita menulis? Ada beberapa jawaban yang bisa dinalar. Pertama, menulis tidak terikat oleh suatu pekerjaan. Apapun profesinya, seseorang bisa menjadi menulis. Seorang guru, dosen, juga petani bisa menuliskan pengalaman mengajar atau bertaninya juga bisa menginspirasi orang lain, tanpa meninggalkan pekerjaan yang sudah dilakoninya.

Kedua, menulis tidak memiliki syarat pendidikan atau strata tertentu. Menulis pekerjaan yang sangat demokratis. Siapapun orangnya, latar belakang apapaun pendidikannya, boleh berkecimpung dalam dunia tulis menulis. Sekedar berbagi ide, gagasan serta pengalaman yang dapat menginspirasi public.

Tentu saja saya dan isteri menyadari bahwa sebagai orang tua, tidak berhak menentukan cita-cita anak untuk jadi ini atau itu. Tugas orang tua mendidik, mengarahkan, apa yang mesti dilakukan supaya anak-anak menjadi pemimpin masa depan dalam berbagai perannya hingga akhirnya merekalah yang mengambil pilihan.

Saya teringat puisi sang penyair legendaris dari Libanon, Kahlil Gibran. Ia mengungkapkan.
“Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra-putri kehidupan yang rindu dirinya sendiri
Mereka lahir melalui engkau, tapi bukan dari engkau
Dan meskipun mereka bersamamu, namun mereka bukanlah milikmu

Hal senda dengan ungkapan Imam Ali Bin Abi Tholib”

“Muliakanlah keluarga dan anak-anakmumu, karena mereka sayap untuk menerbangkanmu, tempat asal kepulanganmu dan tanganmu untuk mencapai keinginanmu.
Hadiahkanlah ciuman untuk anakmu sesering mungkin karena sesungguhnya ciuman anakmu syafakah dari muhibah kepada Tuhanmu
Didiklah anakmu karena mereka akan menemui masa yang bukan zamanmu.”

Cukup mengejutkan saya ketika putriku yang pertama menyebutkan cita-citanya di masa depan, ingin menjadi penulis. Ia memasuki usia enam tahun, kini sekolah di Taman Kanak-Kanak (TK). Entah apa maksud cita-cita menjadi penulis menurut pengatahuannya. Mungkin yang ia tahu, menjadi penulis karena dia sering melihat saya duduk di depan laptop jadoel, sambil jari mengetik di tuts keyboard.

Sesekali ia juga menengok layar laptop hasil tulisan saya sambil membacanya perlahan. Setiap hari, ia melihat saya sibuk sendiri tak peduli anggota keluarga lain sibuk mencari pulpen atau mainan kesayangan anak-anak yang hilang.

Tulisan saya biasa saya kerjakan, seputar laporan berita, atau tulisan ringan untuk di blog, artikel di Koran, atau tulisan untuk diikutsertakan dalam lomba. Suatu kata bijak mengumumkan, “buah tidak akan jauh dari tangkainya”. Ketika putriku sering melihat orang orangtuanya melakukan sesuatu pekerjaan berulang-ulang, ia ingin mencoba menirunya bahkan ingin menjadi apa yang ia lihat dan dengar.

Sekedar upaya, kadang-kadang saya bercerita kisah-kisah inspiratif yang masih dijangkau akal anak-anak seusianya. Misalnya tentang kisah 1001 malam yang melegenda itu. Salah satu tokoh sudah anakku kenal, Aladin dam lampu ajaibnya, Abu Nawas, Simbad si pelaut dengan kisah 7 kali pelayarannya yang mendebarkan.

Dari kisah itu sedikit banyak putriki memahami bahwa hidup ini penuh perjuangan. Ketakutan terhadap gelombang lautan tidak hanya dirasakan ketika melaut, tetapi di setiap sesi kehidupan di manapun mengarunginya. Ombak ibarat rintangan dan lautan ibarat luasnya kehidupan. Siapapun yang berani hidup, ia harus berani menghadapi ombak, gelombang dan badai.

Selain mendengarkan kisah-kisah imajinatif, ternyata putriku juga memiliki bakat dalam melukis. Pernah suatu saat, ia melukis saya yang sedang berjalan, berkacamata dan bersarung bahkan beberapa kali sempat menjadi juara lomba melukis. Dalam melukis, ibunya yang memasukkan putriku les melukis setiap hari sabtu usai sekolah.

Benar, bahwa anak-anak mengimajinasi apa yang dia lihat dan apa yang ia dengar. Pantas para ahli menyebutkan, usia tersebut merupakan golden age yang mesti diperhatikan baik perkembangan otaknya melalui asupan nutrisi yang seimbang juga asupan mental yang benar.

Untuk urusan makanan, isterku sangat perhatian. Meski bukan makanan yang mewah, minimal mencukupi kebutuhan nutrisi yang mereka butuhkan terutama perkembangan otaknya.

Kami juga perlahan mengajarkan etika, bagaimana berjalan di hadapan orang banyak dalam adat Indonesia yang harus membungkukkan badan sedikit supaya tidak diangap tidak sopan di samping mengajarkan ritual keagamaan yang dianut keluarga. Perlahan kami juga melatih anak-anak bagaimana minum dan makan yang baik, berdoa, bersyukur atas apa yang didapat hingga mengajarkan cara bertanya atau menjawab pertanyaan dari orang lain.

Sejak dini, saya dan isteri mengenalkan kepada anak-anak hak dan kewajiban. Jangan coba-coba mengambil barang orang lain di manapun berada baik terlihat atau bersembunyi. Jika tidak memiliki suatu barang mainan kami sarankan bersabar hingga suatu saat diberi rizki segera membelinya jika memang urgen untuk dimiliki.

Kami berkeyakinan, sejak usia dinilah masa yang tepat untuk mengajarkan tidak coba-coba mengambil hak orang lain dengan cara apapun. Bukankah tindakan korupsi yang menyengsarakan rakyat dan Negara kini akibat keinginan memiliki hak orang lain tanpa kendali. Tak peduli halal atau haram yang penting keinginan sendiri terpenuhi.

Jika putriku jajan ke warung dan ternyata ada uang kembalian, mesti diketahui berapa kelebihannya. Setelah itu bisa diberikan atau diambil karena memang ia tidak membutuhkan.

Kembali pada cita-cita di atas, kami berharap anakku menjadi penulis yang jujur, taat terhadap moral dan etika. Di manapun mereka berada, hakikatnya menjadi seorang pemimpin minimal untuk dirinya dan teladan bagi ligkunga sekitarnya.  Tentu harapan lebih luas, kejujuran, saling menghargai, beraklaq baik itu bisa dimiliki semua orang hingga pada akhirnya menjadi satu kesatuan, sebuah komunitas yang sangat massal. Mereka, anak-anak inilah kelak menjadi penerus bangsa dan Negara, menjadi seorang pemimpin sesuai kapasitas dan perannya masing-masing. Semoga. (*)