Listening To Understanding

Oleh ayua 18 Oct 2013

 

Apakah anda pernah mendengar teriakan anak-anak yang begitu bersemangat ketika ditanya cita-cita mereka kelak? Seperti “Aku ingin jadi dokter! Aku ingin jadi arsitek! Aku ingin insinyur!Aku ingin jadi Presiden!”, orangtua mana yang ngga tersenyum ketika anaknya pun memiliki cita-cita yang tinggi dan sangat bersemangat saat mengucapkan cita-cita nya. Naluri orangtua untuk membantu si kecil pun jadi bangkit dan ngga akan pernah luntur untuk memimpin si kecil.  

Untuk itu, bagi seorang anak, peran orangtualah yang sangat penting dalam semasa hidupnya. Bahkan, banyak dari anak-anak nya yang mendedikasikan orang tua mereka sebagai role model nya. Kunci terbesar dari terwujudnya hal tersebut adalah komunikasi yang baik diantara keduanya. Orangtua mau mendengarkan anaknya dan anaknya pun mau mendengarkan orangtua nya. Itulah akar dari terciptanya komunikasi yang baik untuk membantu membimbing si kecil mewujudkan setiap mimpi-mimpi nya.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Dewi Lestari dalam bukunya yang berjudul Filosofi Kopi, “dewasa itu bukan ditentukan dari banyaknya uban di kepala.”, iya, kalimat tersebut sangatlah benar meskipun memang semakin kita tua, semakin banyak pengalaman yang didapat. Namun, pada kenyataan nya zaman terus berubah dan kita (orangtua) tidak lah lagi berada di zaman dulu. Setiap pengalaman yang telah diukir oleh para orangtualah yang harus banyak dibagikan kepada anak-anak kita.

Anak-anak kita boleh gagal, perbanyaklah gagal karena dari kegagalan itu, karena dari kegagalan itu menandakan anak tersebut telah mengalami banyak pengalaman yang kelak anak akan mendapatkan pencapaian yang sangat besar. Orangtua disini berkewajiban untuk selalu memastikan kepada anaknya kalau mereka akan selalu ada. Mereka akan selalu mengawasi tanpa anak-anak merasa diawasi. Oleh karena itu, ngga ada salahnya jika orang tua mau mendengarkan anaknya dan berbagi apa yang anak ketahui dan orangtua mendengarkan apa yang mereka tidak ketahui. Serta tidak lah lupa untuk saling mendukung satu sama lain.

Seperti pada pengalaman saya sendiri sebagai anak yang kini sudah berusia 20 tahun, saya telah menjalani banyak keadaan suka-cita dalam keluarga ini. Sebelum saya berumur 20 tahun, saya sendiri telah banyak memperjuangkan satu hal di keluarga ini. Satu hal tersebut adalah kebebasan. Kenapa kebebasan? Karena kebebasan itu abstrak. Kebebasan itu sangatlah diperlukan untuk mengetahui arti dari kebebasan sebenarnya; yang juga sekaligus untuk mengetahui batasan-batasan yang ada dalam diri kita. Sayangnya, saya tidak mendapatkan hal itu. Saya ingat waktu dulu saya pernah menempel tulisan “BEBAS” dan “FREEDOM” di dinding kamar saya karena saya sudah ngga tahu lagi harus bagaimana yang akhirnya saya ungkapkan keinginan hati saya itu lewat dinding.

Salah satu penghambat dari munculnya kebebasan itu adalah overprotective. Mendengar kalimat “mungkin karena kamu anak satu-satunya” atau “karena terlalu sayang sama anak nya.”, kalimat tersebut berubah menjadi failed. Kita bisa nunjukin kalau kita sayang sama seseorang dengan cara lain, contohnya dengan cara mengerti dia, mendukung, dan lain nya. Pada kenyataan nya, menjadi orangtua yang overprotective itu ngga banyak manfaat yang dapat diambil untuk mereka sendiri maupun si kecil.

Sudah saatnya orangtua sadar kalau mendidik anak dengan overprotective itu ngga baik layaknya menggenggam pasir dengan erat yang semakin digenggam akan semakin jatuh. Sudah saatnya setiap orangtua sadar bahwa ngga semua cara mendidik anak itu sama. Seperti cara anak belajar itu tidak lah sama. Ngga semua anak bisa duduk berjam-jam di kursi dan mengerjakan soal-soal karena ada juga anak yang bisa belajar sambil mendengarkan lagu. Juga udah saat nya orangtua sadar kalau kepintaran anak itu bukan diukur dari “orang yang pintar itu yang nilai matematika, fisika, IPA nya selalu mendapat nilai A.”, karena semua orang dapat tumbuh sukses dengan kemampuan terbaiknya masing-masing.

Untuk itu, yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah bagaimana caranya mengerti apa mau dari anak dan mendukung sepenuhnya. Terutama untuk seorang ibu. Kita tahu kalau seorang ibu memiliki jalinan perasaan yang kuat terhadap anaknya sejak lahir. Oleh karena itu, jika seorang ayah gagal mengerti anaknya, maka seorang ibu lah yang harus mengambil alih keadaan itu dengan menjelaskan nya kepada sang ayah.

Alhamdulillah, setelah saya masuk ke dunia perkuliahan ini saya dapat merasakan apa yang saya mau meskipun ini semua berjalan sedikit demi sedikit. Bersyukur juga saya dipertemukan dengan seorang psikolog dan tante saya yang mampu merubah sikap kedua orangtua saya itu.

Melihat saya sendiri yang sudah berumur 20 tahun, saya menyadari kalau hidup yang sebenarnya pun akan saya hadapi, yaitu menjadi seorang ibu. Saya pernah bercerita kepada seorang sahabat saya bernama Medina Ayunda tentang masa depan dan waktu itu saya bercerita bagaimana nanti jika saya jadi seorang ibu.

“Jadi Med, pokokknya kalau aku nanti punya anak, aku mau anak aku itu deket banget sama aku, suami aku, dan teman-teman aku sendiri. Aku ingin dia bisa anggep aku sebagai seorang ibu nya dan teman nya. Aku mau anak aku itu nanti selalu ingat pulang ke rumah, aku ngga akan membatasi jam pulang malam dia tapi aku bakal berusaha supaya dia ingat pulang, rindu rumah, rindu keluarga. Aku mau bikin gimana caranya anak ku itu mau cerita apapun sama aku. Cerita dari mulai dia mabal, coret-coret dinding, numpahin makanan orang, salah naik taksi, dimarahin guru di sekolah, dan apapun itu aku sangat ingin mendengarnya dan aku ngga akan marahin dia. Tapi lebih ke mengarahkan dia. Aku ingin dia ngga ragu untuk bilang dia lagi ada dimana. Intinya sih aku ingin anak ku itu terbuka sama aku sejak kecil sampai dewasa biar ngga ada beban di hati nya dan dia pun bakal senang menjalani hidup ini yang kelak dia juga bakal merasakan nya” , seperti itulah cerita saya kepada Medina di malam hari.

#LombaBlogNUB