Membentuk Karakter dengan Teladan

Oleh Dian Khristiyanti 18 Oct 2013

 Siapa sih, yang tak mau anaknya menjadi anak yang disiplin dan bertanggung jawab? Siapa pula yang tak mau anaknya menjadi pribadi yang jujur dan dapat dipercaya? Saya yakin, semua orang tua pasti ingin memiliki anak yang berkarakter terpuji ini. Anak berkarakter adalah anak dambaan orang tua, yang nantinya diharapkan dapat menjadi pioner dalam memajukan bangsa ini.

Namun, menjadikan anak sebagai pribadi berkarakter bukanlah hal yang mudah, bukan pula hal yang instant. Tak ada istilah sim salabim dalam dunia pendidikan. Dan, sekolah pertama bagi anak untuk membentuk karakternya adalah keluarga, di mana ibu dan ayah memiliki peranan yang sama pentingnya.

Pendidikan seorang anak dimulai ketika ia berada di dalam kandungan.  Anak dalam kandungan sudah dapat merasakan kasih sayang yang diberikan oleh orang tuanya. Bahkan, ia juga dapat merasakan emosi yang sedang dialami oleh ibunya. Tak hanya merasakan, keadaan emosi yang dimiliki sang ibu akan berpengaruh pula pada kepribadian anak. Misalnya, ibu yang ketika hamil senantiasa dalam keadaan sedih atau marah, anak yang dilahirkannya pun akan memiliki emosi yang kurang stabil misalnya mudah rewel atau mudah marah. Demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, seorang ibu hamil hendaknya menjaga agar emosinya stabil agar anak yang dilahirkannya nanti adalah anak dengan emosi stabil pula. Tentu saja, dukungan dari suami sangat berarti dalam hal ini karena bagaimanapun keadaan yang terjadi di lingkungan ibu hamil sangat memengaruhi kondisi fisik dan mentalnya.

Ketika anak lahir, mulailah pendidikan secara nyata dilakukan. Pendidikan bukan hanya mengajarkan baca, tulis, dan hitung saja seperti yang selama ini dipahami oleh sebagian besar orang. Pendidikan karakter merupakan hal mendasar yang harus kita berikan kepada anak untuk sebagai dasar untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Percuma saja menjadi anak dengan nilai matematika yang bagus, dengan nilai IPA yang luar biasa, jika dia tidak berkepribadian yang baik, bukan?

Mendidik karakter anak  dilakukan secara informal, dengan situasi yang seolah-olah tak dikondisikan seperti di sekolah. Mendidik karakter tidak menggunakan silabus, tetapi ada tujuan yang harus dicapai, dengan langkah-langkah yang dikondisikan oleh orang tua tanpa disadari oleh anak. Selain itu, orang tua juga dapat memanfaatkan kejadian insidentil untuk memasukkan nilai karakter pada anak. Nilai-nilai ini harus diterapkan secara konsisten dan berkesinambungan agar terpatri dalam ingatan dan menjadi pijakan bagi tindakan anak sehari-hari.

Misalnya, nilai religius kita tanamkan dengan kebiasaan beribadah sesuai agama masing-masing dengan melibatkan anak dalam aktivitas ibadah tersebut. Bagi pemeluk agama Islam, misalnya dengan membiasakan anak mengikuti shalat berjamaah di rumah atau di masjid. Dan ini tentunya harus dilakukan setiap saat agar anak terbiasa melakukannya.

Selain kegiatan yang bersifat rutin, orang tua dapat memasukkan nilai-nilai karakter melalu kejadian insidentil. Misalnya, ketika kita melihat sampah yang berserakan di jalan, kita bisa menunjukkan kepada anak bahwa yang demikian itu tidak baik. Kita bisa mengatakan akibat-akibat yang terjadi jika sampah dibuang sembarangan dan tindak lanjutnya, jika anak membuang sampah, harus dikondisikan agar dia membuang sampah  pada tempatnya. Bila dalam perjalanan anak hendak membuang sampah bungkus jajannya, bisa kita sampaikan padanya, “Disimpan dulu di tas, ya, Nak. Nanti kita buang kalau sudah menemukan tempat sampah.”

Demikian yang senantiasa saya lakukan jika menjemput atau mengantar anak saya ke sekolahnya di TK. Jarak rumah yang cukup jauh membuat kami sering menemui hal-hal yang dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan karakter. Selain masalah kebersihan tersebut, saya juga memanfaatkan lampu merah untuk memasukkan nilai kedisiplinan. Di mana pun, kapan pun, bagaimanapun kondisi jalan, jika lampu merah saya selalu berhenti. Bahkan, ketika lampu kuning pun, saya memilih mengurangi kecepatan dan berhenti tepat saat lampu merah menyala. Berbeda halnya dengan pengendara lain yang banyak melanggar lampu merah (terutama jika belok ke kiri). Melihat yang seperti ini, selalu saya katakan padanya,” Nak, lihat orang itu. Tidak boleh ditiru, ya. Lampu merah kok dilanggar.” Anak pun paham dan ketika ada orang yang melanggar lampu merah dengan lantangnya ia berkata, “Buk, itu ada orang melanggar lampu merah. Salah tuuhh…” Saya pun langsung menanggapinya dengan pujian baginya dan ajakan untuk tetap berdisiplin mematuhi peraturan lalu lintas jika dia besar nanti.

Memang tak mudah mendidik anak. Tapi, dengan ketelatenan dari orang tua, karakter yang baik akan terbentuk. Namun, tak boleh dilupakan bahwa menyuruh anak untuk melakukan kebaikan tak ada gunanya jika orang tua tak memberi contoh. Misalnya saja, kita mengomel, menyuruh anak untuk menjaga kebersihan tetapi kita sendiri tak mau melakukannya. Kita ribut jika anak berteriak keras-keras, sedang jika kita lupa bahwa kita pun berteriak pada anak. Kita pusing karena sulit memerintah anak untuk disiplin waktu, sementara kita juga sering melalaikan waktu. Mendidik anak hendaknya memberikannya contoh, teladan terbaik yang dapat dilihat dan ditiru oleh anak karena anak adalah peniru paling ulung di muka bumi ini. Ibaratnya, anak adalah cermin diri kita. Jadi, sebelum menjadikannya pribadi yang berkarakter, jadikanlah diri kita, orang tua, sebagai pribadi yang berkarakter teladan bagi anak. Kita tentu tak mau semuanya sia-sia belaka, bukan?

Salam,

Dian