Nenek, ibu dan saya

Oleh Utami Utar 15 Mar 2012

Peribahasa “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” boleh ada. Namun dalam urusan ini, saya tak mau jadi buah yang mewarisi sesuatu dari orangtua saya.  Sesuatu itu adalah sakit.
 
Beberapa waktu yang lalu saya pulang ke kampung halaman di Salatiga karena ibu saya sakit. Beberapa minggu terakhir saya sudah membicarakan mengenai hal ini dengan adik-adik saya. Dan seperti biasa, setiap kali saya telepon ibu mengatakan bahwa dirinya sehat tak kurang suatu apa. Kebetulan, saya harus ke Semarang dalam rangka legalisasi ijazah. Jadilah saya atur supaya saya punya waktu untuk mengantar beliau ke dokter. 
 
Saya tahu dari adik-adik bahwa ibu sudah berobat di dokter keluarga beberapa minggu terakhir ini dan sudah diberi obat untuk menjaga tensi darah tetap stabil. Namun rupanya keluhannya tak kunjung reda: sesak nafas. 
 
Hari Selasa adalah jadwal ibu berkunjung ke dokter keluarga ini. Ketika pulang ibu terlihat sangat down, terpukul, galau, risau dan sangat tidak tenang. Ternyata dokter ini memberikan rujukan agar ibu ke rumah sakit, menemui dokter penyakit dalam.
 
Dengan segala rayuan akhirnya ibu berhasil kami ajak ke rumah sakit. Setelah mendaftar, kami menuju ruang periksa awal, tempatnya diperiksa tensi dan ditimbang badan. Tensi 160/100 dari dokter keluarga pagi harinya berubah menjadi 120/80. Sesuatu yang sangat tak biasa bagi ibu saya yang sudah sejak lama mengidap hipertensi. Karena tidak yakin, kami minta ditensi ulang. Hasilnya sama. Bahkan kami minta ditensi dengan alat yang kebetulan baru datangpun hasilnya sama. 
 
Dokter penyakit dalam yang ditunggu akhirnya datang. Wajahnya manis, ramah, dan masih sangat muda. Beberapa pemeriksaan pun dilakukan, termasuk tensi diukur ulang. Hasilnya? 115/70. Lalu dokter mengukur denyut nadi dengan tangannya. Hasilnya? 150. Ini termasuk tinggi karena orang sehat seharusnya berkisar 60-100.  Lalu dokter meminta ibu saya menjulurkan kedua tangan lurus ke depan dadanya. Terlihat tangan ibu saya tak bisa diam. Gemetar hebat disertai sesak nafas. Melihat gejala-gejala ini, dokter meminta perawat melakukan rekam jantung.  Hasilnya? Denyut naik menjadi lebih dari 300 per menit. 
 
Akhirnya dokter memanggil saya dan memberitahu bahwa ibu saya harus dirawat di ICU dan menawarkan sayalah yang bicara dengan ibu. Dengan pertimbangan profesionalitas, saya meminta dokter yang menjelaskan hal ini, dengan saya ikut membujuk supaya ibu mau dirawat. 
 
Saat itu kebetulan ICU penuh dan dokter merujuk rumah sakit di Semarang atau Solo. Dengan beberapa pertimbangan, saya mengajukan usul supaya dirawat di rumah sakit itu, di ruang yang dekat dengan ICU supaya jika terjadi sesuatu lebih cepat ditangani. Singkat kata, ibu saya akhirnya dirawat. Malam pertama dilalui dengan begitu selang-selang menempel di tubuhnya. 
 
Pagi hari, ketika melakukan kunjungan, dokter mengatakan bahwa keadaannya sudah relatif stabil. Dengan pertimbangan ini, saya mengusulkan untuk memindahkan ibu ke kamar yang lebih nyaman supaya beliau bisa beristirahat dengan baik. Ketika mengurus kepindahannya inilah saya tahu bahwa diagnosa dokter adalah: ibu saya menderita AF (Atrian Fibrilasi) yaitu gangguan pada jantung, yang pada kasus ini disebabkan karena terlalu aktifnya kelenjar tiroid. Dari hasil foto rontgen juga diketahui bahwa selain AF, jantung ibu juga mengalami pembengkakan yang cukup hebat. Ini yang menyebabkan sesak nafas.
 
Beberapa hari berlalu, sampai tiba hari kelima kami di rumah sakit. Ketika itu pagi hari dan ibu sudah mulai boleh duduk, belajar jalan dan bicara agak banyak. Saya, adik dan bapak memancing pembicaraan mengenai sakit ibu ini. Di luar dugaan, ibu mengatakan bahwa dokter yang membantu beliau sewaktu melahirkan adik saya 30 tahun yang lalu sudah memberitahukan bahwa beliau sakit jantung. Ini yang tak saya mengerti. Memendam sakit seorang diri selama itu!
 
Saya sempat ngobrol dengan bapak dan beliau mengatakan bahwa apa yang dilihatnya pada ibu selama di rumah sakit sama persis dengan apa yang dialami nenek saya. Lalu saya sampaikan bahwa kalau kasusnya seperti itu, haruskah saya khawatir bahwa saya juga akan mengalaminya? Beliau menjawab, “Jangan punya pikiran seperti itu. Keturunan yang dominan adalah dari garis bapak.” 
 
Amankah saya? Tentu tidak. Saya juga membaca buku bahwa sangat besar kemungkinan saya akan mengalami penyakit yang sama. Takutkah Saya? Nanti dulu. 
 
Dari cerita mengenai nenek dan ibu, saya belajar satu hal. Nenek tak diketahui penyakitnya sampai beliau meninggal (karena dibawa ke rumah sakit dalam keadaan sudah tidak sadar) dan ibu saya membuka rahasia sakitnya setelah ditutup rapat selama 30 tahun yang berarti separuh dari usianya kini. Saya tak mau seperti keduanya. Saya harus lebih alert terhadap alarm yang dikirim tubuh saya. Saya juga akan semakin terbuka kepada orang terdekat (suami dan anak-anak) mengenai apa yang saya rasakan, bukan untuk bermanja-manja tapi supaya mereka tahu keadaan saya yang sebenarnya.  
 
Usia adalah rahasia Illahi dan saya ingin menikmati sisa hidup bersama suami dan kedua anak saya dengan lebih berkualitas. Menjaga pola makan sehat adalah salah satunya. Dan ini yang saya upayakan sejak saya hamil anak pertama 18 tahun yang lalu. Berusaha memenuhi nutrisi sejak anak-anak dalam kandungan adalah langkah awal yang saya lakukan sebagai (calon) ibu, disambung menyusui mereka untuk waktu yang cukup.
 
Bicara mengenai kualitas hidup, saya punya keyakinan bahwa esok harus lebih baik dari ini. Kalau nenek meninggal di usia 80 tahun, ibu mendapatkan serangan di usia 61 tahun dan usia saya kini 42 tahun; saya akan menekankan kepada menantu saya kelak (kedua anak saya laki-laki) bahwa nutrisi dan kesehatan sangat penting diperhatikan. Termasuk keterbukaan mengenai kondisi kesehatan. 
 
O ya, saat saya menulis ini, ibu saya sudah keluar dari rumah sakit dan jadwal kontrolpun sudah menjadi sebulan sekali. Wajahnya yang semula sembab sudah kembali seperti sedia kala. Semoga ibu semakin sehat dan menikmati hari tuanya dengan lebih tenang. 
 
Tulisan ini disertakan dalam Lomba Blog Nutrisi untuk Bangsa