No Tidak, Don't Jangan !!

Oleh Aizzah Nur 10 Oct 2013

“Jangan lari!”
“Jangan kesitu!!”
“Jangan nangis!!”
“Nggak boleh ngomong begitu!”

Jangan begini, jangan begitu, tidak boleh ini, tidak boleh itu dan masih banyak lagi jangan-jangan dan tidak-tidak yang sering saya dengar di lingkungan tempat tinggal saya. Biasanya kalimat-kalimat larangan itu terlontar dari mulut ibu-ibu kepada balita mereka. 

Beberapa tahun yang lalu saya tidak merasa terganggu dengan kalimat-kalimat itu. Sampai pada kesempatan saya menghadiri sebuah workshop parenting, saya baru mengerti bahwa kalimat yang biasa saya dengar sehari-hari dan saya anggap lumrah itu ternyata sangat berbahaya. Dari situlah kepedulian saya terhadap perkembangan balita mulai bertumbuh. 

“Berhenti menggunakan kata ‘tidak’ dan ‘jangan’!” 

Demikian Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, direktur Auladi Parenting School atau saya lebih senang memanggil beliau dengan sebutan Abah Ican yang ketika itu menjadi narasumber berpesan. 

Pesan itu melekat di otak saya dengan baik. Secara bahasa, kata ‘tidak’ memang menunjukkan bentuk kalimat negatif bukan? Begitu pula jika kita terapkan hal itu terhadap anak. Apalagi jika kita mau mempelajari lebih dalam lagi, bahwa sesungguhnya kemampuan otak manusia pada usia anak-anak adalah masa – masa emas, dimana mereka mampu mengingat bahkan meniru apa yang mereka lihat dan dengar dengan sangat baik. Pada usia-usia inilah karakter dan kepribadian seorang anak bisa kita bentuk ke arah yang positif. Maka dari itu, di usia dimana anak memiliki keingintahuan yang besar amat saya sayangkan jika kita membatasi perkembangannya dengan kata-kata ‘tidak’ ataupun ‘jangan’. Banyak kata-kata padanan pengganti lain yang bisa kita gunakan. Walaupun berdasarkan perspektif kita kata ‘tidak’ dan ‘jangan’ itu dimaksudkan untuk tujuan yang baik, kurang tepat rasanya jika melulu digunakan kepada anak-anak. Pilihlah kalimat dengan maksud yang sama namun dengan pemilihan kata yang lebih positif dengan nilai rasa yang lebih baik dan hangat.

Lantas, bagaimana kemudian saya menerapkannya? Saya belum menikah dan mempunyai anak. Referensi belajar saya pun terbatas. Well, no excuse!!  

Saya jadi mulai tertarik untuk mendalami tentang bagaimana memaksimalkan potensi anak pada periode perkembangan di masa-masa emasnya ini. Beruntung, saya mempunyai hubungan yang cukup baik dengan tetangga di sekitar tempat saya yang memiliki balita. Saya membandingkan respon anak saat dilarang dengan kata ‘tidak’ dan ‘jangan’ dengan kalimat padanan yang saya coba temukan sendiri. Berikut ini adalah perbandingan sederhana yang saya coba terapkan di lingkungan tenpat tinggal saya.

Dira dan Sri Mulyani adalah balita berusia dua tahun. Suka sekali berlari, berceloteh, dan bermain dengan hal-hal yang baru di sekitar mereka. Sri Mulyani adalah anak yang sering dititipkan ke saya dan hubungan kami terbilang cukup dekat. Oleh mamanya, Dira selalu dilarang berlari, 

“Jangan lari!” 

Dan apa berikutnya yang dilakukan Dira? Yap, dia justru semakin kencang berlari. Terjatuh dan menangis dengan kencang. Anda tahu apa yang dikatakan mamanya?


“Mama bilang juga apa? Udah jangan nangis!”

Dira justru menangis semakin kencang.

Saya mencoba untuk menggunakan perlakuan yang berbeda kepada Sri Mulyani. Ketika dia berlari, saya mengawasinya, sampai waktunya dia terjatuh, saya lantas menghampirinya, membantunya berdiri dan berdialog ringan dengannya,

“Sakit? Mana yang sakit?” Sri Mulyani dengan muka seperti ingin menangis menunjukkan lututnya. Saya usap sambil menasehatinya,
“Lain kali kalau lari harus hati-ha?”
“ti..” ia melanjutkan kalimat saya dengan suara cadelnya. 

Sambil menggandengnya pulang saya terus mengulang kalimat, “Kalau jalan pelan-pelan, kalau lari hati-hati.” Saya percaya, apa yang saya lakukan lebih memberi nilai positif pada Sri Mulyani. Tidak diperbolehkan menangis sama saja membatasi anak untuk mengeksplorasi perasaannya. Menangis itu adalah cara seorang anak belajar menunjukkan perasaannya. Jadi tidak apa-apa. 


Cerita lain, ketika Sri Mulyani melihat gunting tergeletak. Benar saja, dia mengambilnya dan kebingungan sendiri bagaimana menggunakannya. Mungkin beberapa Ibu akan serta merta melarang anak memegang gunting dan menyuruhnya segera meletakkan gunting itu. Tapi saya penasaran, apa jadinya kalau saya biarkan. Saya mendekatinya,
“Itu apa dek?”
Ia melihat saya, kebingungan menamai benda di tangannya.
“itu gun?”
“ting..” ia melanjutkan. 

Kemudian saya mengambil gunting dari tangannya dan mengambil kertas dari majalah. “sini liat mbak, begini cara pakainya..” Saya menuntunnya menggunakan gunting, kemudian saya serahkan padanya untuk melanjutkan. Saya mendampinginya. Luar biasa sekali hasilnya. Lima lembar kertas majalah sukses menjadi serpihan kertas oleh Sri Mulyani. Sampai saatnya ia bosan sendiri, ia kemudian meletakkan gunting dan menghampiri saya yang berada tidak jauh darinya. 

“Udah? Bosan?” ia mengangguk.
“Yuk sekarang kita rapihkan sampahnya.”

Saya hanya menemaninya memulai memunguti sampah bekas ia main gunting, 80% ia sendiri yang menyelesaikannya. Saya bangga, saya senang. Anak-anak tidak selamanya monster cilik yang harus selalu disikapi dengan ancaman dan intimidasi. Mereka adalah mahluk luar biasa yang butuh diarahkan dengan kesabaran, ketelatenan, dan pengawasan yang baik. Anak-anak adalah manusia kecil yang mudah sekali dialihkan perhatiannya. Selagi kita belum menemukan padanan kata pengganti ‘tidak’ atau ‘jangan’, pilihan lain yang bisa kita ambil adalah mengalihkan perhatiannya pada sesuatu yang lain.



Bertumbuh dengan lingkungan yang positif, dalam sebaik-baiknya batasan yang bisa kita upayakan, semoga saja anak-anak kita kelak bisa menjadi pribadi inspiratif yang mampu mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik. Amin

Ayo bunda, mari kita sama-sama belajar dan memperkaya diri dengan ilmu.. salam