PERAN IBU UNTUK SI PEMIMPIN KECIL

Oleh Tio Devi Lishanti 21 Oct 2013

Saat 120 hari usiaku sebagai janin di tubuh ibuku, salah satu takdir yang Tuhan catatkan untukku adalah bahwa kelak aku akan menjadi ibu dari dua anak yang memiliki kemiripan fisik hampir 100%. Mereka disebut kembar. Sampai 24 tahun usiaku, hal ini tak pernah sekalipun terlintas dalam khayalanku, hingga waktu itu benar-benar tiba.

Merasakan ada tiga kehidupan dalam satu tubuh adalah suatu keajaiban. Saat dokter kandungan mengatakan wajar jika sesak yang kurasakan lebih berat dibandingkan kehamilan anak tunggal, karena ada 3 jantung yang berdetak di dalam tubuhku. Ukuran perut yang lebih besar dua kali lipat membuatku sulit beraktivitas. Berjalan, duduk, bahkan tidurpun terasa kepayahan. Flek yang beberapa kali kualami di trisemester awal kehamilan membuat dokter mewajibkanku untuk beristirahat total sampai aku melahirkan, karena dikhawatirkan akan terjadi keguguran atau kelahiran bayi prematur jika aku melakukan banyak aktivitas. Bisa dibayangkan bagaimana melewati hari-hari selama 9 bulan hanya dengan makan dan tidur saja? Makan, muntah, harus dipaksakan makan lagi. Semakin bertambah usia kehamilan, makan sedikit saja sudah terasa begitu sesak. Tidur sulit, pinggang dan pinggul sakit, terus-terusan tidur dengan posisi miring. Jika posisi tidur miring ke kanan, sulit rasanya berpindah ke posisi miring kiri, hanya untuk berganti posisi tidur saja perut ini terasa berat sekali digerakkan. Duduk lama terasa sesak, kaki bengkak, berjalanpun sulit. Masya Allah, perjuangan yang benar-benar sulit untuk dilewati. Semoga anak-anakku jadi anak yang tangguh, dan semoga semua pengorbanan ini diganjar oleh Allah dengan digugurkannya dosa-dosaku. Aku menanti masa melahirkan dengan lebih sering membaca dan menghafal Al-Qur’an, dan membaca buku. Aku menggunakan Al-Qur’an untuk menstimulasi perkembangan otak janin. Harapanku, semoga setelah lahir kelak anak-anak merasa dekat dengan Al-Qur’an dan mudah menerima ilmu.

29 Desember 2010, pukul 09.30 wib suara tangisan lantang memecah hiruk pikuk ruang operasi. Lengkingannya tinggi, mengabaikan tubuhku yang menggigil dahsyat akibat efek bius. Hanya satu hal yang kurasa, jantungku berdebar lincah menegakkan seluruh syaraf. Rabbi..merdu sekali tangisan itu. Ya, tangisan bayiku! Tak buang waktu, kembali perutku terasa diobok2 dan hap, sesuatu ditarik keluar dari dalamnya. Pukul 09.37 wib, masya Allah..ia menyapa tak kalah lantang, tak kalah merdu, tak perduli pada lendir darah yg menyelimuti tubuhnya. Ia hanya ingin mengabarkan, aku lahir ummi, menyusul saudariku! Oh Allah, itu satu lagi, bayiku!. Kami menamai mereka Hurayya Hafuza (bidadari pemberi semangat) dan Almira Rumaisha (putri yang mendamaikan). Penuh harap meminta pada Allah agar mereka tumbuh dan berakhlak baik seperti namanya.

* * *

Merawat dan membesarkan Ayya-Aisha kulakukan dengan berbekal ilmu yang seadanya. Teori dari buku-buku yang kubaca ternyata tak mudah dipraktekkan. Hari-hari yang kujalani bersama putri kembarku adalah waktu-waktu yang luar biasa. Saat usia mereka 9 bulan, Allah berkehendak aku merawat mereka seorang diri dirantau orang, oh, tidak sendiri, berdua dengan suamiku. Ya, berdua saja. Apakah aku selalu tersenyum melewati hari-hariku? Tentu saja tidak. Disaat aku ingin menangis maka aku akan menangis. Bukan untuk merutuki keadaan, tapi untuk mengumpulkan kekuatan dan energi baru. Bukankah airmata bagi wanita adalah sumber kekuatan baru? (cari pembenaran,hehe).

Aku berharap tiada hari yang dilalui Ayya-Aisha tanpa pembelajaran, baik bagi mereka maupun bagi ummi dan abinya. Saat berusia kurang lebih 1 tahun, membongkar lemari baju dan rak piring adalah permainan yang amat seru bagi mereka karena baru di usia itu mereka punya lemari baju khusus untuk mereka sendiri. Kubiarkan saja mereka melakukannya. Kupikir daripada mereka terpaku di layar televisi lebih baik mereka bereksplorasi sendiri walaupun dengan begitu kerjaanku jadi bertambah dengan memberesi isi lemari yang berantakan. Sehari bisa berkali-kali terjadi. Aku hanya menarik nafas panjang mencoba menahan diri untuk tidak memarahi mereka. Ah, biarlah pikirku, tak tega rasanya memutus kebahagiaan yang mereka rasakan saat membongkar isi lemari itu. Menggenggam baju-baju, menariknya keluar dari lemari juga dapat melatih kemampuan motorik kasar bayi. Biarlah lelah umminya bertambah, asalkan anak-anak mendapatkan manfaat dan pembelajaran dari apa yang dilakukannya.

Anak adalah peniru ulung. Setelah isi lemari kosong, tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan, mereka mencari permainan lain. Di saat itulah aku mulai melipati dan menyusun kembali baju-baju yang berserakan tersebut. Walaupun tengah asyik dengan permainan lain, ternyata Ayya Aisha melihat dan merekam di kepalanya apa yang kulakukan. Di lain hari, aku terkejut dibuatnya, bagaimana tidak, setelah Ayya Aisha membongkar isi lemari, ternyata mereka memasukkan lagi baju-baju yang berserakan itu ke dalam lemari walaupun tetap dengan kondisi yang berantakan. Alhamdulillah, sudah bertambah lagi kepintarannya.

Saat Ayya-Aisha mulai bisa berbicara, lebih banyak hal yang mereka tiru, termasuk dalam ucapan. Misalnya, tiba-tiba saja Ayya memuji adiknya persis seperti yang kulakukan. Atau Aisha yang mencoba menenangkan kakaknya yang manangis saat bangun tidur persis seperti yang kulakukan. Dari situ aku belajar untuk terus berusaha menjaga sikap dan ucapan. Aku tak ingin anak-anak meniru hal-hal tak baik yang dia contoh dari umminya. Misalkan saja disaat aku marah dan sedikit meninggikan nada suara, di lain hari ternyata salah satu dari mereka memarahi saudarinya persis seperti yang kulakukan. Duuh..aku seperti bercermin, rasanya sangat menyesal telah memberi contoh yang tidak baik. Jika disaat marah aku tetap bisa bersikap lembut, pasti nantinya anak-anak juga akan melakukan hal yang sama, bahkan akan terbawa sampai mereka dewasa.

* * *

Mengajari Ayya Aisha toilet training juga merupakan pengalaman yang begitu berharga. Padahal mereka baru terbiasa memakai diapers saat umurnya di atas 1 tahun, tapi saat usia 20 bulan aku mulai membiasakan mereka untuk tidak lagi memakai diapers kecuali saat tidur malam dan berpergian. Rasanya woww..luar biasa, benar-benar membuat stress :-D . Jika sepanjang pagi-malam sebelum tidur seorang anak bisa pipis 10 kali, jika ada dua anak maka 20 kali lah aku harus mengelap pipis-pipis yang berceceran di lantai selama seharian. Kepala pusing dan mata berkunang-kunang hampir selalu kualami. Jongkok berdiri jongkok berdiri berkali-kali benar-benar membuat tubuh seperti hilang keseimbangan. Belum lagi jika ada yang tiba-tiba terpeleset di lantai bekas pipis yang masih licin itu disaat aku membawa yang pipis ke kamar mandi. Puufff…lengkaplah sudah..terkadang berharap ingin pingsan saja,hahaha… Jika suamiku sedang ada di rumah, beliau yang dengan sabar berulang-ulang memberitahu pada anak-anak “adek/kakak, kalau mau pipis kasih tau ummi atau abi ya, pipisnya di kamar mandi”. Aku juga berulang-ulang mengingatkan “liat tu d’aisha terpeleset. Makanya kakak pipisnya di kamar mandi ya, jangan di lantai dapur/ruang tamu/kamar, biar adek dan kakak gak terpeleset”. Alhamdulillah akhirnya toilet training nya membuahkan hasil. Beberapa minggu kemudian ayyasha mulai pinter memberi tau saat mereka ingin pipis, walaupun sering kali masih kebablasan juga. Memang tidak instan, semua butuh waktu dan aku harus mencoba berdamai dengan waktu. Aku percaya mereka mengerti bahwa jika pipis sembarangan bisa membuat orang lain celaka (jatuh di lantai yang licin) walaupun di lain waktu mereka melakukannya lagi. Tugas orang tuanya lah untuk terus-menerus mengingatkan. Semakin sering diingatkan pasti semakin mudah bagi anak-anak untuk mengingatnya. Alhamdulillah sekarang ayyasha sudah sangat jarang pipis di sembarang tempat. Mereka langsung kasih laporan saat mau pipis atau pup, alhamdulillah rasanya bahagia tak terkira :)

Setelah melewati fase merawat bayi, kini saatnya membekali karakter di fase toodler Ayya Aisha. Semakin besar usia anak, semakin berat pula PR bagi orang tua. Aku ingin melatih anak-anak untuk mandiri, jujur, dan berani menghadapi kehidupan nyata ketimbang memaksa untuk menjadi anak yang pintar dengan nilai-nilai tinggi di raport nantinya. Aku ingin membekali anak-anak dengan karakter yang kuat, dengan nilai-nilai perjuangan, karena itulah yang akan membuat mereka menjadi kaya dan bisa bertahan dengan baik saat menjalani roda kehidupannya nanti. Aku ingin anak-anak menjadi anak yang sholeh, bukan hanya secara personal, namun juga secara sosial. Peka terhadap orang lain, dan bisa memberi pengaruh positif di lingkungannya. Dawna Markova selama menjadi Guru dan Peneliti, ia berkesimpulan bahwa anak yang gagal di sekolah dan kehidupan itu mayoritas karena prilaku dan etika moralnya dan bukan karena dia tidak pintar. Etika prilaku moral ini biasanya di wariskan oleh orang tuanya dari generasi ke generasi secara turun termurun.

Lalu apa yang harus kulakukan untuk mewujudkan hal itu? Adalah dengan memperbaiki diriku sendiri. Dimulai dengan meminimalisir melakukan kebiasaan-kebiasaanku yang tak baik dihadapan anak-anak, belajar mengontrol emosi, bersabar meladeni interupsi-interupsinya di saat aku sedang konsentrasi menyelesaikan tugas-tugas kuliah, meluangkan hati untuk menundukkan badan dan menatapnya saat mengajakku berbicara ketika aku sedang sangat repot dengan pekerjaan rumah tangga. Kesabaran orang tua saat mendengarkan anak bicara, akan membuat anak merasa dihargai dan diperhatikan. Hal ini kelak menjadi modal anak untuk berani menyampampaikan pendapat dan bisa menerima pendapat orang lain. Aku juga membiasakan mengucapkan salam, memeluk, mencium dan membacakan do’a ditelinga Ayya Aisha ketika ia bangun tidur. Lalu menutup hari dengan meminta maaf sebelum tidur jika dalam sehari ini ada hal tak baik yang kulakukan dan melukai perasaan mereka.

Begitu penting peran kasih sayang dalam pengembangan ruh, kepribadian dan keseimbangan jiwa anak-anak. Teguh tidaknya pendirian dan kebaikan perilaku seorang anak bergantung banyak sejauh mana kasih sayang yang diterimanya selama masa pendidikan. Kondisi keluarga yang penuh dengan kasih sayang menyebabkan kelembutan sikap anak-anak. Anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan perhatian akan memiliki kepribadian yang mulia, suka mencintai orang lain dan berperilaku baik dalam masyarakat. Kehangatan cinta dan kasih sayang yang diterima anak-anak akan menjadikan kehidupan mereka bermakna, membangkitkan semangat, melejitkan potensi dan bakat yang terpendam, serta mendorong untuk bekerja/berusaha secara kreatif.

* * *

Aku selalu memuji usaha yang mereka lakukan untuk dirinya sendiri walau saat tak berhasil sekalipun. “Horeee…k’Ayya dan d’Aisha pinter, udah bisa pakai celana/jilbab/sandal/sepatu sendiri…tapi ini masih terbalik nak, kita buka lagi yaaa.ini kanan, ini kiri..” dan tampaklah binar-binar bahagia dari wajah mereka. Hingga suatu hari mereka yang saling mengoreksi satu sama lain. Misalnya saat memakai sandal. Tiba-tiba Aisha berkata “ayek Ayya..Ayek ndal” (baca : terbalik Ayya..terbalik sandalnya). Lalu dengan setengah paksa ia menarik sandal yang sudah dipakai kakaknya dan memakaikannya kembali. Terkadang benar, namun terkadang tetap terbalik juga, hehe..di lain waktu Ayya juga melakukan hal yang sama pada adiknya. Jika masih salah juga, baru ummi yang ikut membenarkannya sambil mengingatkan mana kanan dan kiri. Aku memuji saat anak-anak pipis di kamar mandi, bukan di sembarang tempat. Saat anak-anak bangun tidur dan tidak menangis, saat anak-anak berhasil memakai celana, baju, dan jilbabnya sendiri walaupun terbalik, dan pujian terhadap hal-hal sederhana lainnya.

Memuji adalah hal baik yang harus dibiasakan, khususnya memuji anak. Pujian terhadap anak bisa memberikan pengaruh terhadap perkembangannya. Pujian dapat membuat anak termotivasi untuk melakukan sesuatu. Jikapun anak melakukan kesalah terhadap apa yang dilakukannya, pujian yang disertai dengan arahan akan membuat anak merasa dihargai dan diperhatikan oleh lingkungannya (keluarga). Di lain waktu, saat anak kembali melakukan kegiatan yang sama, anak akan melakukannya dengan lebih baik lagi dan dengan suka cita.

* * *

Aku yakin tak ada anak di dunia ini yang tak pernah bertengkar dengan saudaranya. Begitu juga dengan putri kembarku. Perang sabil (perang saudara) pun kerap kali mewarnai hari-hari mereka. Penyebab yang paling sering adalah karena berebut sesuatu. Pakaian, mainan, sendal, kursi, bahkan berebut perhatian umminya. Mereka bisa saling menarik, memukul, bahkan menggigit. Jika ada yang menangis dan berlari padaku, yang kulakukan adalah berjongkok, menatap wajahnya, dan bertanya “kenapa anak ummi? mana yang sakit? diapain sama adek/kakak? Maafin adek/kakak ya nak..” tanpa menyuruh saudarinya untuk minta maaf, tetapi kuucapkan dihadapan saudarinya yang menatap dengan wajah merasa bersalah. Aku berharap saat mereka sudah mengerti keharusan meminta maaf ketika berbuat salah, mereka akan dengan sukarela mengucapkannya sendiri tanpa harus disuruh, dan dengan suka rela juga memaafkan. Namun terkadang tangisan anak-anak membuat kepalaku nyut-nyutan jika sedang merasa sangat lelah. Jadi ada kalanya kubiarkan saja mereka bertengkar. Kekuatan cinta seorang ibu laksana sihir peri, hanya dengan mengusap-usap bagian badannya yang terkena gigitan/cubitan lalu mengecupnya, ia akan langsung berhenti menangis lalu kembali bermain lagi bersama saudarinya. Terkadang aku merasa rugi jika ikut tersulut emosi dengan pertengkaran anak-anak, karena sekejap saja mereka sudah bermain dan tertawa lagi bersama, sedang sakit kepalaku karena marah-marah belum tentu juga langsung sembuh, haha..

Sejumlah penelitian telah membuktikan, bahwa pertengkaran antar saudara ini baik untuk perkembangan mental dan emosional anak, dan juga meningkatkan kedewasaan dan kemampuan bersosialisasi. Aku percaya apapun yang dilalui oleh seorang anak akan mempengaruhi tumbuh kembangnya, termasuk pertengkaran. Tugas orangtuanyalah yang harus mencari cara bagaimana agar pertengkaran itu bisa menciptakan pengaruh yang baik terhadap perkembangan mental dan psikologis anak.

Seperti diberitakan the guardian, Dr Claire Hughes, penulis buku Social Understanding and Social Lives, semakin kakak beradik merasa saudaranya sebagai pengganggu, semakin mereka belajar untuk mengontrol emosi dan bagaimana mereka bisa mempengaruhi emosi satu sama lain. Hughes menambahkan, kakak beradik yang tidak akur, akan sering berargumentasi di mana anak tertua akan cenderung menjatuhkan adiknya. Namun mereka berdua akan mendapatkan pelajaran yang kompleks tentang komunikasi dan seluk-beluk pemilihan kata dan bahasa. Namun, jika pertengkaran yang terjadi sampai melukai fisik, orang tua harus segera melerainya, memberi anak kesempatan untuk menjelaskan apa yang terjadi, kemudian menjadi mediator; membantu anak mencarikan solusi dari masalahnya. Di sinilah anak-anak belajar bagaimana memahami diri mereka sendiri, mengontrol emosi, belajar berlapang dada memaafkan dan berdamai kembali, karena kemampuan ini akan berguna sepanjang hidup mereka.

Namun begitu, terjadinya pertengkaran juga harus diminimalisir. Misalnya, menghindari kompetisi dengan mengembangkan sikap saling menghargai dan mengembangkan keunikan masing-masing anak. Ajarkan anak untuk saling berbagi dan mengantri. Beri reward kepada anak yang mau lebih banyak berbagi dan lebih sering bersabar mendahulukan saudaranya dalam waktu tertentu yang telah disepakati bersama.

* * *

Hal yang tak boleh luput dari keseriusan orangtua adalah mendo’akan anak. Sebanyak apapun teori yang dipelajari, bagaimanapun praktek yang dilakukan, akan menjadi tak berarti jika orangtua tak melibatkan Allah di dalamnya. Do’a orangtua adalah pelita dalam kehidupan anak. Do’akanlah anak-anak kita, agar mereka tak tersesat dalam perjalanannya. Mintalah pada Sang pemilik kehidupan, agar kita diberi kekuatan, kesabaran seluas samudra, dan kemudahan untuk menuntun anak-anak menuju kebahagiaan hakiki dalam hidupnya. Semoga, insya Allah.