Pelita-pelita Kecil

Oleh Lala Amiroeddin 16 Oct 2013

Saya pernah disentil seorang teman ketika memberi caption foto anak pertama saya yang sedang melambai dengan kalimat “Future first lady”. Dengan pedas teman – yang seorang laki-laki – itu mengingatkan saya dengan menulis komentar: “First Lady only? She could be a president herself!

Sungguh mengenai sasaran menohok perasaan menghunjam kedalam kalbu.

Foto

Menjadi orang tua diawali dengan doa yang baik yang bahkan dimulai sejak anak masih dalam kandungan. Diikuti saat kelahirannya saat awal sang anak menyapa dunia, banyak kerabat dan sahabat yang mendoakan dan mengharapkan kebaikan  untuk bayi maupun orang tuanya. Tapi yang paling utama adalah doa dan harapan orang tuanya yang dititipkan melalui pemberian nama yang sarat maknawi yang indah pula diucapkan dan sejuk didengar. Itulah awal dari mimpi akan masa depannya yang indah, semoga terwujud kelak saat mereka menjalankan hidup atas pilihan-pilihan mereka sendiri. Bukan sekedar hidup menuai sukses, tetapi juga bahagia lahir batin dan selamat dunia akhiratnya, bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang tua serta masyarakat sekitarnya.

Ketika mendekap dan memandang wajah bayi yang baru saya lahirkan sepertinya jutaan flashing pictures berebutan mengisi pikiran. Sekelebatan bayang-bayang dari harapan dan rencana dan mimpi-mimpi melintas silih berganti. Ada yang selaras antara 100 bayangan dengan 100 bayangan lain, dan ada pula yang saling bertentangan. Seperti keinginan agar mereka haus untuk menjelajah dunia serasi dengan keinginan agar mereka menguasai berbagai bahasa. Tetapi membayangkan membagi waktu mereka agar dapat belajar berbeda-beda bahasa membuat saya gentar karena takut merampas hak bermain masa kanak-kanaknya. Namun semua yang simpang siur yang melintas dalam pikiran itu sebenarnya berujung pada satu tujuan. Yaitu anak-anak yang mampu jadi pemimpin, setidaknya memimpin dirinya sekaligus menjadi pelita yang menerangi dan menginspirasi dunia sesuai doa yang sarat disisipkan dan dirangkai dalam nama: Raissa Caiannika dan Fiamma Khalishabira.

Teman saya tadi telah mengingatkan saya untuk berusaha meraih rahmat atas doa saya (dan suami), yang diikuti upaya maksimal guna mewujudkannya dalam pilihan-pilihan saya sebagai ibu untuk membesarkan anak-anak menjadi selaras dengan doa dalam nama mereka.

Menjadi Ibunya Raissa dan Fiamma

Latar belakang saya dan suami yang walau ada persamaannya namun banyak juga perbedaannya. Suami saya datang dari satu etnik yang sama dan tumbuh dikotadimana etnik mereka merupakan kelompok mayoritas. Warisan budaya dari etnik suami sangat terasa dalam keseharian kehidupan mereka, mulai dari penggunaan bahasa daerah sampai ke hidangan kuliner sehari-hari. Sebaliknya, orang tua saya berasal dari etnik-etnik perantau yang berbeda dan menetap diJakartatempat bertemunya multi etnik. Untuk berkomunikasi sehari-hari kami tidak menggunakan bahasa daerah manapun di rumah, alih-alih kami malah menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang hampir seimbang porsinya. Bahkan bahasa Inggris adalah bahasa rahasia orang tua saya ketika saya masih kecil dan belum mempelajarinya. Bila mereka ingin mengatakan sesuatu yang tidak ingin dimengerti oleh saya dan adik-adik, mereka akan berbicara menggunakan bahasa Inggris. Karenanya saya dan adik-adik sudah menjadi terbiasa dengan bahasa Inggris sedari kecil, dan menjadi bahasa kedua setelah secara formal mulai mempelajarinya di sekolah-sekolah lanjutan.

Dengan latar belakang yang berbeda itulah saya dan suami sepakat untuk mengambil hal-hal baik dari pengalaman hidup kami dan belajar dari pengalaman hidup orang lain yang kami kagumi dalam membesarkan anak-anak. Dimodifikasi dengan harapan kami masing-masing, dan kompromi bersama, kami berdua berupaya agar anak-anak memiliki pengalaman dan kesempatan yang lebih baik daripada kami. Dan disitulah kami mengambil garis pembatas dalam berperan menjadi orang tua. Kami membatasi diri untuk berperan sebagai penyedia kesempatan, sebagai penyemangat dan yang paling penting (berusaha) menjadi panutan yang baik. Peran  inilah yang terus saya usahakan dalam peran sebagai ibu. Kebetulan kedua anak saya semuanya perempuan, dan dengan sendirinya menjadikan mamanya sebagai role model mereka.

Menjadi panutan dimulai dari yang termudah, dengan misalnya mencontohkan menjadi istri yang melayani dan mengurus kebutuhan sehari-hari suami. Setiap pagi akan terdengar pertanyaan rutin saya: “Papa mau sarapan apa?”, dan lain sebagainya. Setelah itu saya bakukan pertanyaan yang serupa kepada kedua anak saya. Setelah itu, saya mulai menyiapkan sarapan sesuai permintaan masing-masing. Saya juga membiasakan diri untuk selalu pamit dan mencium tangan suami ketika akan keluar rumah di depan anak-anak. Harapan saya, dari contoh ini anak-anak dapat belajar untuk menjalankan hak dan kewajiban dengan ikhlas dan cinta.

Juga bagian dari upaya memberi teladan adalah dengan memilih menjadi ibu bekerja di luar rumah dengan dukungan suami. Dengan menjadi ibu bekerja di luar rumah, saya ingin memberikan contoh baik menjadi individu yang mampu mandiri tidak sepenuhnya tergantung pada suami. Selain itu dengan melihat ibunya bekerja tetapi masih bisa memasakkan sarapan untuk keluarga, semoga anak-anak bisa belajar tentang kesetaraan perempuan dalam koridor dan kadar yang sesuai tanpa perlu merasa terkungkung, tanpa perlu melanggar respek atas norma-norma yang berlaku di bumi yang kami pijak dan langit yang kami junjung.

Sebagai ibu bekerja, saya sering mengajak anak-anak ke kantor biasanya untuk menjemput saya. Mereka melihat saya berkomunikasi dengan rekan kerja saya dalam dua bahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris tanpa kendala. Semoga mereka bisa mengambil contoh baik seperti saya mengambil contoh baik dari orang tua saya dulu untuk menikmati kefasihan berbahasa asing sedini mungkin. Saya percaya menguasai banyak bahasa membuka kesempatan mengakses ilmu pengetahuan dan kearifan. Berdasarkan pengamatan atas teman-teman saya yang menguasai beberapa bahasa, kemampuan tersebut membuat mereka lebih dinamis dan lebih mudah menjalin pertemanan.

Peran sebagai ibu yang saya nikmati karena sesuai dengan hobi jalan-jalan saya adalah memastikan anak-anak mempunyai kesempatan melanglang buana. Saya sangat percaya berpergian ke berbagai tempat di luar maupun dalam negeri akan membuka wawasan dan mengajarkan banyak hal kepada mereka. Berpergian ke luar negeri, mereka akan belajar menjadi kaum minoritas sehingga semoga akan mengasah kepekaan dan empati kepada yang termarjinalkan saat mereka sedang menjadi bagian mayoritas. Mengunjungi pelosok-pelosok nusantara, melihat yang berbeda secara fisik dan kultur padahal sebangsa diharapkan dapat mengajarkan mereka untuk mencintai perbedaan dan tentunya negara yang mampu menyemburatkan warna indah dalam keterbatasan apalagi dalam kelebihan. Saya bersyukur mendapat kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat di dalam dan luar negeri sebagai bagian dari pekerjaan sehingga saya dapat membekali mereka oleh-oleh pengalaman yang membangkitkan rasa ingin tahu mereka tentang dunia di luar zona nyaman mereka.

Raissa dan Fiamma adalah bintang dalam kompas kehidupan saya. Mereka lah bintang yang membimbing setiap langkah saya menjalani kehidupan sebagai insan warga dunia, seorang Indonesia, seorang anak, seorang istri, dan seorang ibu. Peran saya sebagai Ibu adalah selalu berusaha mengenal mereka lebih dari yang ada di permukaan, lebih dari sekedar mendengarkan keinginan mereka, tetapi mencari yang sumbu yang masih tersembunyi agar kelak dapat menyala dan menerangi jalan mereka untuk bisa memimpin dirinya menjadi manfaat. Bukan hanya sekedar menjadi contoh sukses namun menjadi pelita yang cahayanya berpendar jauh menerangi.