Perjuangan Ibu Menjadi Ayah

Oleh Miftahul Jannah 21 Oct 2013

 

“Demi darahku yang mengalir dari air susumu, gumpalan daging dari setiap tetesan keringat kerja kerasmu, mental baja yang terbentuk dari penderitaan yang engkau jalani, aku berjanji akan tundukkan keadaan dari keterbatasan keluarga dan kembali berbakti padamu dan tiga orang adikku, ibu engkau berhasil jadi ayah bagi kami”

Saat mengingat peran ibu, berarti aku juga mengingat peran ayah karena ibuku sekaligus ayah bagiku. Secara kasat mata aku mempunyai ayah dalam keluarga, akan tetapi masalah gangguan kejiwaan yang menimpanya membuat beliau tak bisa melakukan tugasnya bak seorang ayah yang berkewajiban memberikan nafkah pada anak-anaknya. Namun beruntung kami mempunyai ibu yang sangat tegar, ibuku istri yang baik dan setia kepada suami, ayah bagi kami lima bersaudara. Meski sang suami atau ayah kami tak melakukan perannya dalam rumah tangga ibu selalu setia disampingnya dan rela berperan ganda menjadi tulang punggung keluarga. Menghadapi keadaan ini, ibu tak pernah mengeluh. Aku sendiri mulai tersadar akan kondisi keluarga kami semenjak aku duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama. Saat aku tumbuh remaja aku melihat sendiri bagaimana perjuangan ibu membanting tulang untuk menghidupi lima nyawa. Beliau selalu bekerja siang dan malam sebagai pengrajin perhiasan untuk memenuhi gizi dan nutrisi anak-anaknya yang memang sedang masa pertumbuhan. Setiap tiga hari sekali, beliau menerima upah dari pekerjaan pengrajin perhiasan sekitar Rp60.000. Uang inilah yang biasanya dibelikannya susu buat adik-adikku, sayur-mayur untuk memenuhi gizi kami, susu ala kadarnya, beras dan sembako lainnya yang mungkin bisa dibeli dari sisa uang yang diperoleh. Dengan jumlah rupiah yang kecil yang didapat tentunya memang tak banyak yang bisa dibeli. Akan tetapi ibu selalu berpesan untuk mensyukuri apa yang diberikan tuhan dengan syukur sedikit nutrisi yang dimakan akan terasa berkah dan manfaatnya. Ibu juga kerapkali berpesan terutama saat kami hendak tidur, beliau selalu berkata ‘kelak kalian harus dapat menaklukkan kondisi dan tumbuh menjadi anak yang berhasil jauh lebih baik dari kehidupan kita sekarang’. Perkataan inilah yang menjadi motivasi hidupku untuk meraih masa depan dengan keterbatasan yang ada. Meskipun memang aku sadar cita-citaku bak mimpi yang tak mudah diraih dan sedikit membutuhkan keajaiban. Sebagai tumbal dari mimpi atau cita-citaku dan ketiga adikku, saudara tertua kami Aryadi terpaksa harus melepas cita-citanya untuk menjadi seorang guru karena harus memilih putus sekolah saat masih duduk dibangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Kakak mengambil keputusan ini guna menjaga mimpi kami akan masa depan tetap hidup dan tak kandas karena keterbatasan ekonomi. Setelah putus sekolah, kakak memutuskan untuk bekerja juga sebagai pengrajin perhiasan. Empat tangan dan dua kepala bekerja diharapkan dapat membuat pemasukkan keluaga lebih besar sehingga beban ibu sedikit lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Kini peran ayah sebagai tulang punggung keluarga berada dipundak kakak tertua kami dan juga ibu. Baik ibu dan kakak terus berjuang tak kenal lelah mencari nafkah bagi kami. Ditengah kerja keras ibu dan saudara kami, ayah tetap tak mengalami perubahan, tetap tak ingat pada kewajibannya sebagai seorang ayah. Bahkan ayah menambah daftar kepala yang harus diberi makan ibu dan saudara kami. Sikap ayah yang tak ada keinginan untuk bekerja dan menjadi beban bagi ibu dan kakak tak jarang memancing amarahku yang tak tega melihat penderitaan ibu bertahun-tahun lamanya. Saat darah terasa mendidih didadaku sebab ingin marah pada ayah, ibu selalu memberikan nasehat untuk bersabar karena ayah sedang sakit dan beliau tentunya juga tak ingin demikian. Meski berkata demikian, ibu tetaplah manusia biasa dengan suara serak, mata berlinang dan bibir bergetar, aku tetap dapat melihat betapa letihnya beliau. Namun aku bisa mengerti maksud ibu supaya aku tumbuh menjadi anak yang sabar dan menghormati orangtua khususnya ayah kami bagaimanapun kondisinya. Nasihat ibu inilah yang seakan menjadi obat penenang dalam diriku saat dihadapkan pada kondisi yang sama. Dimataku ibulah yang terbaik, banyak istri yang mungkin minta bercerai sebab sang suami tak melakukan tanggungjawabnya dalam keluarga, tapi ibuku tidak, dia istri soleha dan ibu yang sempurna bagi kami. Banyak hal yang kami pelajari dari beliau bukan dari kata-kata akan tetapi dari perbuatannya. Meski caranya mendidik kami tak lazim dibandingkan orangtua lainnya, tapi inilah kehidupan kami dan aku dan keempat saudaraku tak pernah menyesali kondisi ini sebab kami yakin akan ada jalan dibalik itu semua cobaan ini. Sebagai seorang anak, satu hal yang harus aku lakukan sebagai anak kedua dalam keluarga menjadi orang yang berhasil. Apalagi saudara tertua kami telah mengubur cita-citanya dalam-dalam untuk kami, dipundakku harapan itu diamanahkan. Namun aku sadar ibu dan kakakku tak punya biaya bila aku meneruskan pendidikan dibangku perkuliahan. Oleh sebab itulah, usai lulus sekolah Menengah Atas aku beranikan untuk merantau pergi ke Provinsi Jambi menguji nasib disana. Sebelum berangkat ibu berpesan untuk belajar mandiri, bersikap tegar selama di kota orang, teruslah berusaha, jangan menyerah dan yang terpenting jangan meninggalkan ibadah shalat. Perkataan ini kembali menjadi motivasi bagiku di kota yang benar-benar asing. Setelah sampai di Jambi aku tinggal bersama keluarga paman di daerah Mayang Jambi. Sejak tiba di Jambi, paman selalu berusaha mencarikan pekerjaan bagiku. Akan tetapi rendahnya pendidikan dan minimnya pengetahuan dan skill yang aku miliki membuat pamanku kesulitan mencarikan tempat bekerja yang layak. Oleh sebab itulah, sebelum bekerja paman memintaku menempuh pendidikan D1 komputer jurusan desain media cetak. Kuliah yang aku jalani tidak rutin setiap hari, paling hanya berkisar 4 jam itupun cuma 3 hari dalam satu pekan. Disisa waktu luangku aku coba membayar kebaikan paman dengan membantu pekerjaan rumah tangga, mulai dari menemani anaknya yang masih balita, mengantarkan ataupun menjemput bibik atau istri paman bekerja. Semua hal yang mungkin bisa aku lakukan coba aku perbuat untuk orang yang telah berbaik hati menampung, membiayai pendidikanku dan memberikan jalan bagi masa depanku. Selama bersama paman, aku tak pernah lupa menghubungi ibu untuk memberikan kabar dan perkembanganku di kota orang. Ibu selalu berpesan ‘jangan menyerah dan jangan kecewakan pamanmu, jadilah anak penurut dengan melakukan apa yang diminta paman’. Berpegang teguh dengan nasihat ibu hidupku terus berjalan. Tak terasa satu tahun telah berlalu dan aku telah menyelesaikan pendidikan D1 komputer. Namun singkatnya masa pendidikan membuat kemampuanku masih sangat dangkal, tapi aku tak mau berkata di paman untuk meneruskan kuliah dan menjadi beban bagi keluarganya. Setelah selesai kuliah paman memperkenalkan aku dengan temannya yang juga bekerja di media lokal di Jambi. Aku mulai bekerja sebagai desain koran di Kabupaten Muara Bunggo Jambi. Dikantor pertamaku, misiku bukanlah untuk memetik pundi-pundi rupiah akan tetapi menimbah ilmu sebab tentunya di kantor baruku akan dapat dijumpai para master desain media surat kabar. Aku ingin belajar dari mereka sehingga aku lebih mahir. Aku mulai masuk kantor dan bekerja terhitung pukul 18.00-03.00 dini hari. Biasanya saat bekerja aku tak sungkan bertanya bila ada yang tak aku mengerti. Setelah cukup merasa punya kemampuan aku coba melamar juga dikantor media cetak di ibu kota Jambi yang jauh lebih menjanjikan. Meski banyak pelamar datang dari jenjang pendidikan D3 dan S1, berkat doa ibu dikampung aku mampu menembus ketatnya persaingan dan diterima di media besar di Jambi. Ditempat baru ini aku berada sejajar dengan mereka yang memiliki title sarjana ataupun diploma 3. Bagiku ini menjadi prestasi membanggakan sekaligus caraku menjawab doa ibu di kampung. Satu bulan bekerja, atasan memanggilku guna menawarkan bekerja di kantor media kecil yang baru didirikan. Dikantor baru ini aku masuk pagi sampai sore sementara malam aku bekerja ditempat sekarang. Tanpa basa-basi aku menerima tawaran yang cukup mengiurkan ini. Kini aku mempunyai dua kantor dan aku rajin bekerja keras guna membahagiakan ibu dan keluargaku di kampung. Tugasku saat ini meringankan beban ibu untuk menghidupi ketiga adikku. Aku dan kakak bahu-membahu membantu ibu tetap menjaga asa mimpi atau cita-cita ketiga adikku untuk tak takut bermimpi dan yakin bila sukses bukan cuma milik mereka yang mampu. Hasil kerja keras kami alhamdulillah berbuah manis, Adikku Putri anak ketiga ibu juga berhasil menyelesaikan pendidikan D1 komputernya dan kini telah bekerja diperusahaan percetakan di Palembang. Kini kami tiga bersaudara masih terus berjuang bersama-sama menjadikan dua adik kami Septi (9) dan Putra (5) menjadi rang yang berguna minimal bagi dirinya sendiri dan keluarga. Terakhir kisahku aku berpesan, “Terlahir sebagai anak telah sepatutnya kita berbakti dengan orangtua, bersyukurlah bagi kalian yang mungkin hidup lebih beruntung dari kami, tapi bagi yang kurang bernasib, janganlah menyerah !, teruslah berusaha tundukkan keadaan dan buktikan kepada dunia bila kita bisa, dimana ada usaha disitu ada jalan, doa ibu mengantarkan kita pada jalan kesuksesan, cintailah dan berbaktilah pada ibumu insaallah apa yang kamulakukan diberkahi oleh sang pencipta”.