Senyumanmu Membuatku Seperti Hidup Kembali

Oleh Azhar Ilyas 18 Oct 2013

Melalui tulisan ini aku ingin berbagi sebagian cerita-cerita itu. Cerita di mana istana tidak hanya bisa dibangun oleh permata-permata. Tetapi juga cinta. Berulang kali badai datang, namun semakin membuktikan kasih sayang yang tak hingga sepanjang masa itu nyata. Tak kenal lelah, tak kenal keluh kesah, selalu memberikan dengan sepenuh ketulusan.

Namaku Azhar. Aku lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih sayang. Aku lahir dan dibesarkan di kota Banda Aceh, di ujung barat pulau Sumatera. Aku anak keempat dari enam bersaudara. Masa kecilku bisa digambarkan sebagai anak yang hidup dari keluarga sederhana. Bapakku seorang karyawan di sebuah BUMN Niaga. Ibu memilih profesi sebagai ibu rumah tangga.

Saat kecil aku merupakan anak yang boleh dibilang manja. Aku ingat aku masih ditunggui ke sekolah hingga kelas satu Ibtidaiyah (Sekolah Dasar). Aku baru berhenti minta ditunggui saat merasa malu ketika ada seorang murid perempuan yang baru di kelasku yang sering minta ditunggui oleh ibunya. Sekali waktu ia menangis sampai meraung ketika orang tuanya tiba-tiba tidak lagi terlihat di luar kelas. Sejak itu aku pun meminta agar Mamak tidak usah lagi menemaniku di sekolah.

* * *

Aku melalui masa-masa kecilku yang menyenangkan di kota Banda Aceh. Mamak adalah seseorang yang mendidik kami dengan penuh kesabaran dan ketulusan. Bersama-sama dengan Bapak, beliau mengajarkan kami bagaimana bersikap jujur dan berempati kepada orang yang hidupnya lebih susah. Beliau juga menjadi contoh bagi kami tentang ketegaran dan kesabaran dalam berjuang menghadapi kehidupan. Barangkali ini tidak terlepas dari latar belakang kedua orang tuaku.

Mamak lahir di sebuah desa di Indrapuri, Aceh Besar, 27 Kilometer dari kota Banda Aceh. Pada saat SMA, Mamak hijrah ke Banda Aceh untuk melanjutkan pendidikan ke SKAA Aisyiah, sekolah menengah kejuruan di bidang keterampilan keluarga. Semula Mamak ingin melanjutkan sekolahnya dan menjadi guru Taman Kanak-kanak (sekarang PAUD), namun akhirnya beliau memilih profesi sebagai seorang ibu rumah tangga.

Sementara Bapak juga lahir di Indrapuri. Sejak usia 10 tahun Bapak sudah menjadi yatim karena ayah beliau meninggal dunia. Sejak masa SMEP hingga SMEA (sekolah kejuruan bidang ekonomi) beliau tinggal di sebuah Panti Asuhan Seutui, Banda Aceh. Beliau kemudian kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala hingga menjadi Sarjana Muda. Berbagai pekerjaan dilakoni Bapak mulai dari menjaga warung nasi hingga akhirnya menjadi karyawan di sebuah BUMN niaga semenjak beliau kuliah. Kami juga pernah diajak untuk bersilaturahim dengan pengurus panti asuhan tempat ayahku dibesarkan tersebut.

Mamak sering sekali memberi sedekah kepada pengemis, walau hanya uang receh. Kebiasaan tersebut terus berlanjut hingga kini. Mamak selalu mudah terenyuh apabila menyaksikan mereka. Di sekolah kami dulu juga sering diadakan pengumpulan bantuan makanan manakala ada pengumpulan donasi untuk korban bencana banjir dan sebagainya yang dikoordinir oleh surat kabar lokal di kotaku. Mamak selalu mengajariku untuk melihat pakaian-pakaian yang masih layak pakai untuk disumbangkan. Meskipun sayang, namun aku tahu aku juga tak selalu memakainya lagi.

Selain empati, Mamak juga mengajarkan tentang kejujuran. Mamak selalu bertanya dengan lembut apakah kami sudah shalat. Pernah suatu waktu, aku berbohong karena ingin menyenangkan hati Mamak. Lalu muncullah perasaan bersalah pada Mamak. Akhirnya aku mengakui bahwa aku belum shalat. Mamak hanya tersenyum dan  membuatku merasa tenang dan lalu menunaikan kewajibanku.

Masa-masa setelah meninggalnya Nenek, yang sering menjadi kawan bercerita bagiku, adalah salah satu masa yang berat dalam hidupku. Aku sempat sering melamun dan berpengaruh pada prestasiku di sekolah. Namun Mamak selalu tersenyum manakala mengambil raporku, memberiku kekuatan bahwa apapun yang kuperoleh haruslah disyukuri.

Mamak juga menjadi tempat curhat buatku apabila aku memiliki masalah yang berat untuk dipendam sendiri, saat aku mulai memasuki masa remaja. Meskipun beliau sangat sibuk karena pekerjaan rumah tangga yang cukup banyak menyita waktunya, setidaknya sebuah senyuman ataupun nasehat kecil akan membuatku merasa tenang. Perlahan aku mulai aktif kembali dalam kegiatan belajar dan ekstrakurikuler di sekolah. Aku juga mengikuti beberapa organisasi lainnya seperti remaja mesjid dan mengajari anak-anak tetanggaku mengaji.

Aku juga masih ingat saat mendapat musibah tenggelam di laut Pantai Lampuuk waktu kelas 2 Madrasah ‘Aliyah (SMA). Saat aku pertama kali tersadar di rumah sakit, senyuman yang pertama kali kulihat adalah senyum Mamak. Senyuman yang membuatku merasa seperti hidup kembali. Setelah dirawat beberapa hari kemudian aku diizinkan pulang.

Saat yang tak bisa kulupakan adalah saat tsunami pada 26 Desember 2004. Waktu itu aku berlari mengajak Mamak dan Bapak ke rumah tetangga karena mendengar teriakan air laut naik. Di lantai dua rumah tetangga yang sedang dibangun itu kami berulang kali mengucap dzikir lantaran gempa susulan terus terjadi dan air laut terhampar di sekeliling kami. Merupakan suatu pemandangan yang amat tak lazim.

Mamak menunaikan shalat sunat, sementara aku dan Bapak duduk di sebuah sudut rumah, kami disodori Yasin oleh anak dari tetangga kami tersebut. Kami bertiga kemudian berpelukan saling mengucap maaf. Sementara itu adik dan abang-abangku sedang berjalan keliling kota melihat suasana setelah gempa. Mereka berhasil lari ke tempat yang tinggi dan jauh dari pusaran air tsunami. Air yang ada di sekeliling kami tidak deras dan merusak, namun cukup tinggi dan menggenangi sehingga kami perlu menunggu beberapa jam sampai air perlahan turun.

Aku menyaksikan ketegaran Mamak. Sejak hari kedua kami harus membersihkan rumah dengan Bapak yang harus pulang ke kampung sebentar untuk mengikuti pemakaman saudara kami yang meninggal dalam tsunami tersebut. Aku juga masih ingat bagaimana perjuangan kami hanya makan sedikit saja barangkali. Nasi satu piring yang masih tersisa dari rice cooker tetangga entah bagaimana bisa kami makan untuk berlima malam itu. Karena listrik padam maka malam itu kami hanya bisa memakan nasi tersebut, karena juga berbagi dengan tetangga lainnya yang ikut mengungsi ke rumah tetangga tersebut.

Keesokan paginya kabar yang terus berdatangan mengenai kejadian yang sebenarnya melanda tempat kami. Alhamdulillah masih ada bahan makanan yang tersisa karena belum lama diadakan walimahan kakakku. Mamak memanaskan sebagian bahan makanan yang masih utuh dari dalam kulkas yang sempat tertungkup ke tanah lantaran diombang-ambing oleh air yang masuk ke rumah. Kami memutuskan mengungsi pada hari ketiga lantaran banyak isu merebak bahwa wabah penyakit akan segera datang akibat banyaknya mayat yang ditemukan. Meskipun hal yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi.

Sesampainya di kampung, kami berbenah membereskan barang-barang dan pakaian. Aku merapikan sejumlah buku kuliahku yang sebagiannya masih sempat kuselamatkan. Mamak berteriak tak kuasa menahan haru ketika melihat bagaimana gambar tsunami berulang kali diputar di salah satu stasiun televisi. Satu bulan lamanya kami di kampung Indrapuri, kampung Bapak dan Mamak. Namun sejak minggu kedua kami setiap pagi sampai sore bergantian pulang untuk membersihkan rumah sedikit demi sedikit.

Saat paling membanggakan adalah saat wisuda. Meski aku sebenarnya berharap bahwa Bapak yang menemaniku lantaran sejak saat wisuda pengajian Bapak belum pernah sempat menemani. Alasan lainnya adalah salah satu motivasiku untuk kuliah adalah untuk membanggakan Bapak, lantaran Bapak sempat kuliah di Fakultas yang sama namun tidak menyelesaikan skripsinya karena sibuk bekerja mencari nafkah.

Hari itu Sabtu, 15 Mei 2010. Tibalah hari wisuda. Saat yang paling kutunggu setelah sekian lama. Akhirnya karena hanya satu orang tua saja yang boleh menemani, maka Mamak-lah yang ikut menemani. Aku sempat merasa resah juga, maklum ibu hanya sempat beristirahat sebentar karena memasak untuk syukuran wisudaku.

Aku berharap dengan menuntaskan kuliah bisa menjadi sebuah kebanggaan di hati mereka. Meskipun perjuangan yang sebenarnya barulah dimulai. Perjuangan mengabdikan ilmu dan pengetahuan bagi bangsa dan negara agar ilmu yang kita miliki dapat bermanfaat bagi orang banyak, sekurang-kurangnya tidak menjadi beban bagi orang lain.

Hari itu dari bangkuku di depan aku memandangi ke tribun belakang gedung AAC Dayan Dawood Darussalam tempat perhelatan wisuda digelar. Mamak dengan menahan kantuk duduk di bangku di tribun belakang. Aku mengikuti wisuda sampai selesai. Lalu aku berfoto dengan fotografer yang ramai di sekitar gedung bersama Mamak. Tak lupa sebelum pulang kuambil sebuah foto Mamak sedang memegangi ijazahku.

Terima kasih Mamak, apa yang kami lakukan terlalu sedikit membalas jasa-jasamu. Maafkan jika selama ini belum bisa memberikan yang terbaik untukmu, atau pun pernah melakukan sesuatu yang kurang berkenan di hatimu. Harapku selalu bisa menjadi pribadi yang jujur, peduli dan sabar dalam menghadapi kehidupan. Seperti apa yang telah Mamak ajarkan dan contohkan kepada kami. Aamiin.

Banda Aceh, 21 Oktober 2013

 

Tulisan ini dibuat dalam rangka Lomba Penulisan Artikel Blog Writing Competition dengan tema “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil” yang diselenggarakan oleh Sari Husada. Semoga dapat saling berbagi inspirasi.