Sinergi Keikhlasan Antara Guru, Murid dan Walimurid.

Oleh binta almamba 21 Oct 2013

Beberapa hari yang lalu saya sempat merasa jengah dengan sebuah masalah yang terjadi dalam paguyuban (komunitas) wali murid di sekolah anak sulung saya, Fahri.

Masalah pertama, adalah saat anak-anak kami naik kelas 2 MI (SD), salah seorang wali murid mengembalikan buku paket dari sekolah karena menemukan di toko buku dengan harga yang lebih murah. Wali murid tersebut mengkalkulasi selisih harga total buku dari sekolah dan di toko kurang lebih seratusan ribu. Hmm.. padahal jika membeli di sekolah itu boleh dicicil selama 6 bulan (untuk meringankan walimurid yang ekonomi pas-pasan)

Pihak sekolah memang tidak mewajibkan membeli paket buku tersebut, namun selama ini selalu diorganisir oleh guru-guru sekolah. 

Masalah kedua terjadi lagi tak lama setelah anak-anak kami menghadapi ulangan harian. Soal-soal yang sudah diberikan nilai oleh guru-guru itu diberikan kepada murid-murid untuk dibawa pulang dan diperlihatkan kepada orang tuanya masing-masing. Kemudian ternyata ada beberapa soal yang kurang teliti mengkoreksinya dari beberapa murid. Hal itu dipermasalahkan dengan agak emosi, sampai-sampai walimurid itu meminta gurunya diganti, tak mau anaknya diajar oleh salah satu guru yang salah koreksi tersebut. Walimurid itu menilai guru tersebut kurang cakap dalam mengajar, dan dia kurang puas.

Kejadian beruntun yang terjadi belum genap 1 smester anak-anak kami belajar di kelas 2. Sungguh membuat banyak wali murid yang lain mengelus dada. Karena yang mengembalikan buku paket dan menuntut seorang guru diganti itu adalah orang-orang yang sama. Yang mana anak mereka termasuk siswa-siswa berprestasi. 

Betapa kejadian seperti yang saya ceritakan diatas mencerminkan hubungan yang kurang indah antara guru dan walimurid. Dua fihak yang harusnya bersinergi untuk memaksimalkan program pendidikan untuk anak. Banyak sekali terjadi sekarang seolah-olah orang tua murid adalah fihak pemakai jasa dan Guru sebagai penjual tenaga. Hubungan dengan guru pengajar anak-anaknya di sekolah dianggap seperti hubungan profesional antara seorang yang pengin punya rumah dan mempekerjakan tukang bangunan. Miris sekali…

Bukankah niat memasukkan anak kepada sekolah itu tak hanya untuk meraih prestasi akademik? namun juga diharapkan pendidikan moral dan kepribadian anak untuk bekal kelak ketika bermasyarakat. Namun ketika dalam prakteknya orang tua tak mencontohkan pekerti santun terhadap orang yang mengajar banyak ilmu kepada anaknya, maka rasanya sulit sekali akan menuai tujuan kesuskesan ilmu non akademiknya.

Ini pemikiran saya pribadi. Menurut teori-teori yang dibekalkan orang tua saya sendiri juga guru-guru -favorit- yang mengajari saya di berbagai jenjang pendidikan. Saya mengambil kesimpulan mendasar tentang cara mendidik saya untuk anak-anak saya, para pemimpin kecil, pemimpin untuk dirinya dan smoga kelak juga bisa mendatangkan kebaikan lingkungan terdekatnya.

Jika dalam novel -Negeri 5 Menara- karya A Fuady yang fenomenal dengan kata mutiara yang sudah seperti mantera sakti ‘man jadda wajada’ itu pada salah satu babnya diterangkan bahwa kunci kesuksesan dalam pendidikan akademik sekaligus non akademik itu kuncinya ada pada dua hal. Yaitu : 

1. Ikhlasnya guru yang mengajar, berapapun gajinya dan betapa susahnya sang murid menerima pelajaran dikerenakan IQ yang rendah. Atau sebab-sebab lainnya, maka dia tetap semangat mengajar, membagikan ilmu yang dimilikinya dengan harapan agar anak didiknya menjadi pintar, faham sekaligus mengamalkan (jika itu pelajaran dalam ilmu bermasyarakat atau tata cara ibadah keagamaan)

2. Ikhlasnya murid yang diajar. Timbal balik keikhlasan guru, maka jika muridnya tak ada kemauan belajar akan tetap sia-sia tak ada titik temu yang akan membuahkan kesuksesan.

Namun melihat berbagai kenyataan dunia pendidikan di zaman modern kini rasanya saya perlu menambahkan satu kunci lagi yaitu :

3. Ikhlasnya walimurid yang membiayai segala kebutuhan anaknya di masa belajar. Ikhlas menyerahkan sepenuhnya urusan murid kepada gurunya. Bukankah ketika hendak memasukkan anak ke sebuah lembaga tertentu sebelumnya sudah mencari info berapa biayanya dan juga adat istiadat yang berlaku di dalamnya. Jadi setelah yakin memasukkan, harusnya tak ada komplen dan membuat aturan sendiri di kemudian hari bukan? 

Bukan berati sebagai orang tua murid kita harus tunduk seratus persen semua kata guru, kritik untuk perbaikan juga perlu namun hendaknya disampaikan dengan cara yang santun dan jalur musyawarah yang kekeluargaan. Mengingat seperti kasus yang saya paparkan diatas, bahwa tak semua walimurid menghendaki guru itu diganti, tapi kenapa pendapat emosional satu dua orang harus diungkapkan sebelum musyawarah antar semua walimurid. Lebih eloknya hal itu dimusyawarahkan dahulu kemudian dibicarakan ke fihak sekolah melalui perwakilan salah satu walimurid yang paling bijak dan bisa mengatur bahasa komunikasi yang baik. 

Sebuah peristiwa yang terlanjur terjadi membuat saya terus belajar untuk mempraktekkan teori sinergi 3 keikhlasan tersebut. Saya tak ingin hanya berdo’a berdua saja bersama suami untuk kesuksesan anak-anak saya di masa depan. Namun saya juga ingin agar guru-guru anak saya turut mendoakan anak-anak saya (sebagai anak didik mereka). Maka saya tak akan pernah menganggap hubungan walimurid dan guru sebagai seolah-olah saya majikan yang memanggil dan membayar ‘tukang mengajar’ buat anak-anak saya, saya lebih menganggap bahwa saya sedang minta tolong mereka agar bersedia ikhlas membagi ilmunya karena tugas mendidik itu tak bisa saya lakukan seorang diri. 

Meskipun terkadang ada juga fakta bahwa ada oknum guru yang kurang baik, saya yakin masih sangat banyaaak orang-orang ikhlas yang berkeinginan kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini.

***