Tegaklah Pial

Oleh Praptaning Utami 21 Oct 2013

Tegaklah Jati

 
 
Selamat pagi anakku
Maafkan tidak ada segelas susu hangat untukmu
Maafkan tidak ada roti isi keju dalam bekal makan siangmu
Hanya ada uang tiga ribu, sisa bensin motor bapakmu
 
Ayo anakku, lekaslah naik motor bapakmu
Pergilah menuntut ilmu
Dengan semangat menggebu
Dan kecupan dahi dari ibu
 
Anakku,
Ibu bertemu gurumu di gang buntu
Beliau bercertita banyak tentangmu
Cerita yang membuat ibu terharu
 
Terima kasih anakku
Kau tetap mau melangkah maju
Dengan tekad bulat dan semangat menggebu                                                                                     
Aku titipkan Indonesia untukmu
 
 
 
 
Puisi itu saya yang membuatnya. Entahlah, suasana saat membuat puisi ini sangat sendu. Langit mendung disusul hujan gerimis dan keadaan rumah yang sepi. Sebelumnya saya ingin mengisahkan imaginasi saya tentang anak saya kelak dalam lomba blog ini. Namun, entahlah. Tiba-tiba saya teringat dengan seorang anak kecil yang hari lebaran lalu meminta saya untuk membuatkannya angsa origami dari kertas koran bekas bungkus tempe pagi itu. Saya sudah sangat terlatih membuat beberapa bentuk origami setelah sebelumnya Ceka, sahabat saya, “memperbudak” saya semalaman suntuk untuk membuatkan kejutan 200 origami untuk kekasih hatinya. Saya hanya dibayar empat bungkus es campur untuk pekerjaan sebahagia ini. Kali ini, harga yang dibayar untuk sebuah angsa origami kecil adalah sebuah senyuman. Sebuah senyuman kecil dari anak yang sudah memintanya. Aku hanya memandangi wajah lucu anak ini. Wajah seorang anak yang baru sebulan merasakan masa sekolah dasar. Tiga bulan terakhir ini, Namanya Pial Abdullah Jati
 
 
Aku membalas senyumnya dan ia mengajakku untuk melaksanakan agenda selanjutnya, bermain “ABC-an”. Untuk yang tidak tahu permainan ini, aturannya adalah membuat kesepakatan topik yang akan dimainkannya di awal permainan. Semisal buah. Kemudian seluruh pemain menyodorkan jari-jari tangan secara bebas. Berapapun jumlah jari yang ditunjukkan. Total seluruh jari menunjukkan inisial huruf yang harus dijawab. Saat jari total menunjukkan 100, maka harus menjawab buah yang dimulai dengan huruf J, jeruk, jambu, dll.
Saya bukanlah satu-satunya lawan bermain anak kecil ini. Kami bermain ber-enam, Aku, Pial, Sukma, Saras, Tio, dan Elmi. Mereka adalah adik-adik dan sepupu saya. Sangat menyenangkan permainan ini. Tawa dan gurauan mengiringi permainan kami. Sampai suatu ketika, ada variasi lucu dari permainan ini. Sasti menggunakan jari kakinya untuk permainan ini. Pial meniru Sasti menggunakan jari kaki. Dengan semangat Pial menghitung jari-jari untuk menentukan huruf apa yang harus dijawab. Ia menghitung jari kami satu per satu. Sampai di jari kakinya, dia menghitung satu kaki kirinya hanya satu huruf. Sejenak suasana hening.
 
Beberapa tahun lalu, kecelakaan sepeda motor yang dialami Pial kecil dan ayahnya. Menyebabkan kaki kiriya harus diamputasi sampai 10 cm dibawah lutut. Sekarang, kaki kirinya digantikan oleh sebuah kaki kayu palsu kecil yang setiap hari butuh perawatan harian dan tiap tahun harus diganti dengan yang baru. Setiap tahunnya, uang satu juta harus disiapkan untuk menggantikan kaki palsu karena ukuran kakinya yang membesar akibat pertumbuhan. Satu juta bukan angka yang kecil bagi keluarga ini. Paklik saya, seorang buruh pabrik semen dengan gaji yang tidak melebihi Upah Minimum Regional kabupaten Gresik sebesar 900.000. Harusnya bulan Mei yang lalu adalah jatuh tempo pergantian kaki palsu untuk Pial. Namun keterbatasan dana yang membuatnya terpaksa menahan rasa sakit karena kaki palsu yang sudah sangat sempit.
 
Malam sebelum takbiran, aku mendengar suara tangisan kecil dari kamar Pial. Bukan tangisan seorang anak kecil, tapi tangisan seorang perempuan. Bulu kudukku sempat merinding karena suara tangisan itu. Namun setelah beberapa saat, aku semakin tertarik untuk menelusuri asal suara tangisan tersebut. Suara itu suara tangisan Bulik Ibu Pial). Beliau menangis dengan suara yang sayup-sayup karena tidak ingin membangunkan Pial yang sedang tidur. Pemandangan seperti ini mengusik rasa ingin tahuku.
 
“Kenapa Bulik?” Tanyaku.
 
“Bulik kasihan sama Pial Nduk(Sebutan untuk anak perempuan), kaki palsunya sudah tidak muat. Kakinya sampai lecet dipakai berjalan,” Jawab Bulik
 
“Masha Allah Bulik. Yang sabar. In sha Allah ada jalan.”
 
“Bulik gak masalah uangnya Nduk. Bulik cuma rasanya miris dengar omongan Pial tadi pagi,’Buk, coba Pial kakinya gak bunting ya. Pial bisa jalan cari uag lebaran buat ibuk’,”
 
Bulir air mataku menetes begitu saja. Namun, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku. Aku hanya tersenyum ke Bulik dan meninggalkan Bulik sendirian di kamar bersama Pial yang sedang tertidur pulas. Aku meninggalkan sosok ibu luar biasa. Bulik memang bukan seorang wanita aktivis ataupun civitas pendidikan, tapi lebih dari itu. Bulik mengajarkan seorang makhluk Allah untuk menghilangkan rasa keegoisan yang tinggi. Bulik bahkan menjadikan seorang makhluk Allah menjadi sosok yang sangat luar biasa. Anak sekecil itu dengan ketegaran dan keihlasan yang luar biasa itu bukan karena tanpa alasan. Didikan Bulik yang membuatnya menjadi pribadi yang sebegitu dewasa di usianya yang masih anak-anak.
 
Bulik sempat bercerita dengan saya via telepon beberapa hari yang lalu kalau baru-baru ini guru Pial memberikan laporan kalau Pial sangat menonjol di bidang matematika. Bahkan di beberapa pelajaran yang lain. Seperti kata pepatah lama, selalu ada hikmah dari setiap masalah yang ada. 
  
 
 
 

“Tegaklah Nak, setegak namamu  “Jati”. Berlarilah sekuat yang kau bisa. Kalau kamu masih ingin lebih jauh berlari, tenang ada Ibuk yang akan membawamu berlari.”

Praptaning Budi Utami