Usaha Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia

Oleh Candra Dimas Aji 14 Mar 2012

Kehamilan adalah salah satu momen berharga yang sangat ditunggu-tunggu oleh setiap wanita didunia yang telah menikah. Momen dimana sang calon ayah dan ibu menunggu hadirnya buah hati meraka ke dunia. Namun terkadang terjadi sesuatu yang mengganggu sang ibu pada saat persalinan,sehingga beberapa ibu meninggal pada saat melahirkan. Terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi.

Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait dengan faktor akses, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kasus 3 Terlambat meliputi:

  • Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan
  • Terlambat dirujuk
  • Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan

Berdasarkan Riskesdas 2010, masih cukup banyak ibu hamil dengan faktor risiko 4 Terlalu, yaitu:

  • Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun) sebanyak 27%
  • Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6%
  • Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8%
  • Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun)

Penyebab tidak langsung lainnya risiko kematian ibu dapat diperparah oleh adanya anemia dan penyakit menular seperti malaria, tuberkulosis (TB), hepatitis, dan HIV/AIDS. Pada 1995, misalnya, prevalensi anemia pada ibu hamil masih sangat tinggi, yaitu 51 persen, dan pada ibu nifas 45 persen.10 Anemia pada ibu hamil mempuyai dampak kesehatan terhadap ibu dan anak dalam kandungan, meningkatkan risiko keguguran, kelahiran prematur, bayi dengan berat lahir rendah, serta sering menyebabkan kematian ibu dan bayi baru lahir. Faktor lain yang berkontribusi adalah kekurangan energi kronik (KEK). Pada 2002, 17,6 persen wanita usia subur (WUS) men derita KEK.

Tingkat sosial ekonomi, tingkat pendidikan, faktor budaya, dan akses terhadap sarana kesehatan dan transportasi juga berkontribusi secara tidak langsung terhadap kematian dan kesakitan ibu. Situasi ini diidentifikasi sebagai “3 T” (terlambat).

  1. Yang pertama adalah terlambat deteksi bahaya dini selama kehamilan, persalinan, dan nifas, serta dalam mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan neonatal.
  2. Kedua, terlambat merujuk ke fasilitas kesehatan karena kondisi geografis dan sulitnya transportasi.
  3. Ketiga, terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang memadai di tempat rujukan.

Hasil Riskesdas juga menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan ibu dan reproduksi umumnya rendah pada ibu-ibu di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Secara umum, posisi perempuan juga masih relatif kurang menguntungkan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan untuk dirinya sendiri dan anaknya. Ada budaya dan kepercayaan di daerah tertentu yang tidak mendukung kesehatan ibu dan anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang pada akhirnya terkait dengan kematian ibu dan bayi.

Pelayanan kesehatan merupakan tantangan berikutnya yang perlu ditangani. Termasuk di dalamnya adalah kualitas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah dan swasta serta penanganan disparitas akses pada kelompok rentan dan miskin. Data terbaru menunjukkan bahwa jumlah bidan di desa (BDD) yang menyediakan pelayanan bagi kelompok rentan dan miskin telah menurun.14 Bagaimana mengatasi situasi baru dan tidak terduga ini menjadi salah satu tantangan bagi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten. Keterbatasan sumber daya rumah tangga juga telah menghambat akses terhadap pelayanan dasar. Karenanya, inovasi mekanisme yang meringankan beban keuangan rumah tangga sangat diperlukan untuk menjamin akses mereka terhadap pelayanan.

Koordinasi dan pendanaan pembangunan antar institusi dan lembaga donor sangat krusial untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dan terfragmentasinya program, sehingga peningkatan kesehatan ibu lebih mudah dicapai. Keberlanjutan program juga menjadi tantangan yang harus diatasi dalam tahun-tahun mendatang.

Kebijakan dan program Prioritas nasional. Menurunkan kesakitan dan kematian ibu telah menjadi salah satu prioritas utama dalam pembangunan sektor kesehatan sebagaimana tercantum dalam Propenas. Kegiatan-kegiatan yang mendukung upaya ini antara lain meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi, meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi, meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, menanggulangi KEK, dan menanggulangi anemia gizi besi pada wanita usia subur dan pada masa kehamilan, melahirkan, dan nifas.

Dalam rangka percepatan penurunan AKI guna mencapai target MDGs tahun 2015, Direktorat Bina Kesehatan Ibu telah merumuskan skenario percepatan penurunan AKI sebagai berikut:

  • Target MDG 5 akan tercapai apabila 50% kematian ibu per provinsi dapat dicegah/dikurangi.
  • Kunjungan antenatal pertama (K1) sedapat mungkin dilakukan pada trimester pertama, guna mendorong peningkatan cakupan kunjungan antenatal empat kali (K4).
  • Bidan Di Desa sedapat mungkin tinggal di desa, guna memberikan kontribusi positif untuk pertolongan persalinan serta pencegahan dan penanganan komplikasi maternal.
  • Persalinan harus ditolong tenaga kesehatan dan sedapat mungkin dilakukan di fasilitas kesehatan.
  • Pelayanan KB harus ditingkatkan guna mengurangi faktor risiko 4 Terlalu.
  • Pemberdayaan keluarga dam masyarakat dalam kesehatan reproduksi responsif gender harus ditingkatkan untuk meningkatkan health care seeking behaviour.

Permasalahan kesehatan, termasuk kematian ibu, merupakan tanggung jawab bersama dan tidak akan dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan sendiri. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan terus menggalang kerja sama lintas sektor, baik dengan Kementerian/Lembaga lain, Pemerintah Daerah, sektor swasta, kalangan akademisi, organisasi profesi, serta masyarakat. Perhatian khusus dan upaya keras semua pihak tersebut menjadi modal bagi pencapaian target penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015