Alergi atau Intoleransi Makanan? Cek Bedanya

Oleh Nutrisi Untuk Bangsa 22 Apr 2021

Mungkin banyak di antara Bunda masih belum bisa membedakan apakah Si Kecil memiliki alergi makanan atau sekadar intoleransi terhadap makanan tertentu. Sekilas mungkin gejalanya mirip, namun sebenarnya kedua kondisi ini tidak sama lho Bun. Reaksi fisik terhadap makanan tertentu biasa terjadi, tetapi kebanyakan disebabkan oleh intoleransi makanan daripada alergi makanan. Namun memang intoleransi makanan dapat menyebabkan beberapa tanda dan gejala yang sama dengan alergi makanan, sehingga orang sering bingung. Jadi wajar kalo Bunda masih sulit membedakan keduanya.

Alergi makanan menyebabkan reaksi sistem kekebalan yang mempengaruhi banyak organ dalam tubuh, yang dapat menyebabkan berbagai gejala. Dalam beberapa kasus, reaksi alergi makanan bisa parah atau mengancam jiwa. Sebaliknya, gejala intoleransi makanan umumnya kurang serius dan sering kali terbatas pada masalah pencernaan. Orang yang memiliki intoleransi laktosa misalnya, masih bisa minum susu bebas laktosa atau minum enzim laktase untuk membantu masalah pencernaan.

Ada beragam penyebab intoleransi makanan. Laman Mayo Clinic menyebut beberapa faktor yang bisa berperan dalam kejadian intoleransi makanan, antara lain:

1. Tidak adanya enzim yang dibutuhkan untuk mencerna makanan sepenuhnya. Intoleransi laktosa adalah contoh yang umum.

2. Kepekaan terhadap aditif makanan. Dalam hal ini misalnya sulfit yang digunakan untuk mengawetkan buah kering, makanan kaleng, dan anggur dapat memicu serangan asma pada orang yang sensitif.

3. Stres atau faktor psikologis yang berulang. Mungkin terdengar aneh, namun tak jarang hanya memikirkan makanan bisa membuat sebagian orang sakit. Soal ini, para ahli juga tidak sepenuhnya memahami alasannya.

4. Sindroma iritasi usus. Kondisi kronis ini bisa menyebabkan kram, sembelit, dan diare.

5. Penyakit celiac (seliaka). Penyakit ini memiliki beberapa ciri alergi makanan karena melibatkan sistem kekebalan tubuh. Gejala yang muncul sering kali melibatkan masalah pencernaan serta yang tidak terkait dengan sistem pencernaan, seperti nyeri sendi dan sakit kepala. Namun, penderita penyakit celiac tidak berisiko mengalami reaksi alergi parah yang mengancam jiwa (anafilaksis). Kondisi pencernaan kronis ini dipicu oleh konsumsi gluten, protein yang ditemukan dalam gandum dan biji-bijian lainnya.

Menurut American Academy of Allergy, Asthma & Immunology (AAAAI), beberapa gejala intoleransi makanan dan alergi makanan serupa, tetapi mengenali perbedaan keduanya sangat penting. Mengonsumsi makanan yang kita tidak toleran terhadapnya bisa mendatangkan hal tidak menyenangkan, meski tidak mengancam nyawa seperti halnya alergi makanan parah.

Mari kita kenali lebih dekat intoleransi makanan vs alergi makanan. Respons intoleransi makanan terjadi di sistem pencernaan, hal ini terjadi ketika tubuh tidak dapat memecah makanan dengan benar, yang bisa jadi disebabkan oleh sejumlah faktor (kekurangan enzim, kepekaan terhadap aditif makanan atau reaksi terhadap bahan kimia yang terjadi secara alami dalam makanan). Dalam kasus intoleransi makanan, kita masih bisa makan dalam jumlah sedikit tanpa menimbulkan masalah.

Sedangkan reaksi alergi makanan melibatkan sistem kekebalan. Sistem kekebalan mengontrol bagaimana tubuh mempertahankan diri dari benda asing (alergen). Pada anak yang memiliki alergi terhadap susu sapi, sistem kekebalannya mengidentifikasi susu sapi sebagai penyerang atau alergen. Sistem kekebalan akan bereaksi berlebihan dengan memproduksi antibodi yang disebut Immunoglobulin E (IgE). Antibodi ini ‘berjalan’ ke sel yang melepaskan bahan kimia, menyebabkan reaksi alergi. Setiap jenis IgE memiliki “radar” khusus untuk setiap jenis alergen. Tidak seperti intoleransi terhadap makanan, alergi makanan dapat menyebabkan reaksi yang serius atau bahkan mengancam jiwa dengan makan dalam jumlah yang sangat kecil, bahkan hanya menyentuh atau menghirupnya.

Gejala reaksi alergi makanan umumnya terlihat pada kulit yaitu gatal-gatal, eksim, bengkak pada kulit , muntah, diare, kram, gatal atau bengkak pada bibir, lidah, atau mulut, gatal atau sesak di tenggorokan, sulit bernafas, hingga tekanan darah turun. Hal yang paling diwaspadai dalam reaksi alergi makanan adalah anafilaksis, reaksi alergi serius yang terjadi dengan sangat cepat. Gejala anafilaksis mungkin termasuk kesulitan bernapas, pusing atau kehilangan kesadaran. Tanpa pengobatan segera (menggunakan suntikan epinefrin (adrenalin) dan perawatan ahli), anafilaksis bisa berakibat fatal.

Makanan Pemicu Alergi

Makanan apa yang paling sering menyebabkan alergi makanan? Dikutip dari laman Johns Hopkins Medicine, sekitar 90 persen dari semua alergi makanan disebabkan oleh delapan makanan berikut ini, yaitu susu, telur, gandum, kedelai, kacang pohon, ikan, kacang-kacangan dan kerang. Telur, susu, dan kacang tanah adalah penyebab paling umum dari alergi makanan pada anak-anak, termasuk gandum, kedelai, dan kacang pohon. Kacang tanah, kacang pohon, ikan, dan kerang biasanya menyebabkan reaksi yang paling parah.

Hampir 5 persen anak di bawah usia lima tahun mengalami alergi makanan. Dari tahun 1997 hingga 2007, prevalensi alergi makanan yang dilaporkan meningkat 18 persen pada anak di bawah usia 18 tahun. Meskipun kebanyakan anak dapat “mengatasi” alerginya, alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon, ikan, dan kerang bisa terjadi seumur hidup.1

Menurut National Institute of Allergy and Infectious Disease, untuk menyebabkan reaksi parah pada orang yang sangat alergi tidak butuh makanan dalam jumlah banyak. Faktanya, hanya dalam jumlah 1/44.000 biji kacang tanah dapat menyebabkan reaksi alergi bagi anak yang memiliki alergi parah (anafilaksis).

Apakah alergi makanan bisa dicegah? Sayangnya sejauh ini tidak ada obat untuk mencegah alergi makanan. Tujuan pengobatan adalah dengan menghindari makanan yang menyebabkan gejala tersebut. Apabila Si Kecil mengalami alergi makanan, diskusikan dengan dokter untuk menemukan solusinya. Bunda perlu mengetahui jenis makanan yang memicu alergi Si Kecil dan menghindari makanan tersebut juga makanan serupa lainnya dalam kelompok makanan yang sama. Jika masih memberikan ASI dan Si Kecil ternyata didiagnosis alergi makanan, maka Bunda harus menghindari makanan yang membuat Si Kecil alergi. Sejumlah kecil alergen makanan dapat diteruskan ke Si Kecil melalui ASI dan menyebabkan reaksi.

Memang perkembangan alergi makanan tidak dapat dicegah, tetapi sering kali dapat ditunda pada Si Kecil dengan melakukan sejumlah langkah berikut: Berikan ASI selama enam bulan pertama, hindari memberikan makanan padat (MPASI) sampai Si Kecil berusia 6 bulan (atau sesuai saran dokter), hindari susu sapi, gandum, telur, kacang tanah, dan ikan selama tahun pertama kehidupan.

Perlu Bunda ketahui, Si Kecil yang mengalami reaksi makanan yang parah, dokter mungkin akan meresepkan perlengkapan darurat yang mengandung epinefrin untuk membantu menghentikan gejala reaksi parah. Konsultasikan dengan dokter anak untuk mendapatkan informasi lebih lanjut soal ini. Beberapa anak yang memiliki alergi makanan atas pengawasan dokter dapat diberikan makanan tertentu lagi setelah tiga sampai enam bulan untuk melihat apakah ia telah mengatasi alerginya. Banyak alergi mungkin bersifat jangka pendek pada anak-anak dan makanan dapat ditoleransi setelah usia 3 atau 4 tahun.

Referensi

https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-diseases/food-allergies-in-children

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/food-allergy/expert-answers/food-allergy/faq-20058538

https://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/library/allergy-library/food-intolerance