Anakku Bukan Fotokopi Diriku

Oleh w widjoraras 08 Oct 2013

“Juara harapan ketiga, diraih oleh peserta nomor… sembilan. Widyasaraswati!”

Beberapa detik aku terkejut. Nomor dan nama anakku disebut. Kudorong lembut anakku, yang dengan gembira segera lari naik ke panggung. Tak kusangka anakku jadi juara harapan ketiga lomba karaoke anak yang diselenggarakan oleh salah satu pusat hiburan keluarga di kota ini. Prestasi yang cukup membanggakan, karena dari tujuh belas peserta kategori A (TK – SD kelas 2) dia urutan terbaik keenam. Ini kedua kalinya ia ikut lomba, dan pertama kalinya lomba tingkat kota. Ia meraih juara untuk kedua lomba tersebut, meskipun belum yang nomor satu.

Anakku suka menyanyi. Musik adalah sahabatnya. Sejak dalam rahimku, ia hanya bisa ditenangkan dengan alunan musik. Kaset musik Mozart untuk ibu hamil nyaris kusut kusetel tiap malam untuk menenangkan dirinya yang super aktif bergerak tanpa henti. Kecerdasan musik anakku berkembang sangat kuat. Sejak sekitar umur tiga tahun, ia dengan mudah mengulang irama lagu setelah mendengarkan 1-2 kali saja. Setelah sekolah, ia lebih mudah mengingat syair lagu dan menyanyikannya kembali. Aku sangat mendukungnya. Akhirnya, empat bulan lalu aku berhasil menemukan guru terbaik untuk melatihnya menyanyi. Anakku sangat menikmati latihan vokalnya. Seringkali berdua dengan gurunya ia keasyikan menyanyi hingga melewati jatah satu jam sesi latihannya.

Anakku Bukanlah Aku

Aku? Aku bisa menyanyi, bisa baca not, menyiulkan lagu-lagu kesukaanku, dan waktu kecil pernah les electone. Tetapi menyanyi hanya ada di ruang privatku, bukan di ruang publik. Di pesta perkawinanku dulu, aku tampil memalukan saat menyanyi. Akibat mengingkari nada dasar yang telah disepakati sebelumnya, aku gagal berduet mesra dengan suamiku. Hahaha… Kenapa? Entahlah.. Mungkin aku grogi, demam panggung, atau tidak konsentrasi. Jadi, bisa dipastikan anakku mendapatkan gen cerdas musik dari bapaknya, termasuk jiwa seninya yang kental. Tak hanya menyanyi, anakku juga suka sekali menari dan menggambar. Selain seni, anakku mendapatkan gen mampu bersosialisasi sangat baik dari bapaknya. Ia mudah bergaul dengan siapa saja. Mulai dari anak yang lebih muda, hingga orang yang jauh lebih tua. Baik perempuan maupun laki-laki. Ia akrab dengan satpam di sekolahnya hingga bos-bos di kantor properti di sebelah tempat kerjaku dulu. Meskipun demikian, anakku bukan fotokopi bapaknya ataupun aku, mamanya. Semirip apapun antara orang tua dan anaknya, mereka adalah dua pribadi yang berbeda. Ini yang aku kadang lupa. Aku kadang membandingkannya dengan diriku. Padahal anakku adalah pribadi yang unik, tak ada duanya di dunia. Oleh karenanya dia harus diperlakukan seperti apa adanya dia, bukan disamakan dengan aku atau orang lain.

“Waktu kecil dulu, Mama tak perlu diomelin untuk bangun pagi. Tak pernah terlambat ke sekolah. Kamu ni gimana sih? Ayo bangun!” Omelan seperti itu kadang lepas dariku saat dia malah menarik selimut dan bersembunyi di baliknya alih-alih bangun di pagi hari yang dingin. Kuakui kadang caraku terlalu keras padanya, mengingat dia baru berumur 6 tahun. Hingga sekarang, aku masih mencari cara jitu untuk membuatnya bangun pagi tanpa harus mengomel dan apalagi membandingkan dengan diriku. Cara ampuh terbaru adalah menyuruh si Milo, anjing kecil kesayangannya masuk ke dalam rumah. Tak perlu banyak kata, bisa dipastikan sebentar kemudian anakku akan menjerit-jerit menyuruh Milo berhenti mengganggunya dan keluar dari kamar. Setelah itu, dengan sendirinya anakku akan bangun dan bersiap-siap ke sekolah.

Mendukung 100 Persen yang Disukainya

Dulu aku berpikir bahwa diperlukan setidaknya sebuah bakat supaya seseorang bisa sukses. Ternyata aku salah. Malcolm Gladwell dalam bukunya berjudul Outliers menunjukkan bahwa orang-orang sukses kelas dunia memiliki kesamaan rahasia soal latihan. Mereka, entah itu Mozart, the Beatles, atau Bill Gates, menunjukkan prestasi luar biasa setelah berlatih lebih dari 10.000 jam. Menurut penelitian, tak ada istilah bakat. Yang ada adalah ketekunan berlatih hingga memiliki jam terbang sangat tinggi (lebih dari 10.000 jam itu tadi). Richard Koch, seorang konsultan, pebisnis, dan penulis kelas internasional, membeberkan rahasia prinsip 80/20 untuk meraih sukses. Prinsip ini menyatakan bahwa 20% upaya kita mengarahkan pada 80% hasil. Richard Koch menyarankan kita fokus (pada 20%), yaitu pada hal-hal yang paling kita inginkan dan sukai.

Untuk itulah aku berjanji pada diriku sendiri untuk mendorong anakku mengembangkan apa yang disukainya (bukan apa yang aku ingin dia kerjakan!). No matter what. Aku akan selalu mendukungnya 100 persen. Menyanyi, menari, menggambar, dan berinteraksi dengan banyak orang, itu adalah hal-hal yang disukai anakku dan dilakukannya dengan antusias. Aku harus mendorongnya tekun berlatih hal-hal yang disukainya itu. Setelah 10.000 jam, kesuksesan luar biasa akan menjadi kado terindah baginya (dan bagiku tentu saja).

Apa artinya bagiku? Aku menjelma jadi asisten guru tari dan nyanyinya. Kebayang kan aku yang sewaktu kecil menolak latihan menari, kini harus mendukung kegemaran anakku menari? Supaya mudah, biasanya aku rekam sesi latihan dengan gurunya dengan ponselku. Di rumah aku tinggal mengawasi dirinya berlatih sambil sesekali membetulkan beberapa hal sesuai arahan gurunya. Kadang aku memintanya mengajariku. Dengan antusias dia akan segera jadi guru dan memberiku contoh. Sepertinya, dia menyukai saat sesekali bisa menyuruhku melakukan sesuatu dan menjadi lebih tahu dibanding mamanya. Menemaninya latihan di rumah bukanlah hal yang sulit. I can handle it. Yang tak kusangka adalah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsipku dan di luar keterampilanku.

Aku tak suka dan jarang sekali memakai make up. Aku hanya memakai pelembab wajah di pagi hari. Itupun aku rewel memilihnya, yaitu yang tak mengandung paraben. Lipstik? Mungkin hanya 1-2 kali per tahun aku memakainya. Menurutku inner beauty lebih penting daripada olesan lipstik dan teman-temannya. Ketika anakku harus pentas, aku mengalami dilema. Aku tak mendukung anak-anak kecil berdandan untuk tampil di panggung. Di sisi lain, aku tak bisa begitu saja menentang kebiasaan yang telah mengakar kuat ini. Kompromi harus kulakukan. Aku memastikan dandanan anakku tidak tebal, dan segera menghapusnya usai acara. Aku berusaha mendapatkan kosmetik paling alami yang bisa kudapatkan. Aku memelototi bahan yang tercantum di kemasan kosmetik sebelum membelinya. Kupilih yang paling sedikit atau sama sekali tak mengandung alkohol dan paraben. Tak banyak produk yang memenuhi kriteriaku. Kosmetik natural dan aman langka di negeri ini. Akhirnya aku berhasil menemukan produsen produk ramah lingkungan. Aku sedang menunggu kiriman perona mata dan lipstik berbahan alami untuk mendandani anakku lomba tanggal 15, 18 dan 19 Oktober ini.

Selain make up, urusan tatanan rambut dan kostum juga memusingkan kepala. Saat lomba sekitar seminggu lalu, aku melakukan sendiri riasan wajah anakku (membuatnya tampak cerah di panggung tanpa harus menor!). Aku menyasak rambut dan membuat jambul di kepala anakku. Itu pertama kali kulakukan dan untung berhasil. Untuk lomba nyanyi mendatang, anakku memilih tampil bergaya princess. Ia akan memakai gaun putih yang dikenakannya Natal lalu, lengkap dengan mahkota. Aku sempat keluar masuk toko mencari aksesoris yang cocok. Beberapa hari lalu aku berhasil merangkai satu set perhiasan mutiara tiruan dari manik-manik, terdiri dari sebuah choker, dua gelang, dan sepasang subang. Tak kusangka aku berhasil membuat kerajinan tangan macam begini mengingat sedari kecil aku tak sabar dan terampil dengan segala macam kerajinan tangan (psst.. dulu aku berhasil membujuk ibuku menjadi ghost crafter, alias yang membuatkan kerajinan tangan untukku :D).

Berbagai Nasihat dari Berbagai Penjuru

Aku sangat cocok dengan guru vokal anakku. Ia pelanggan juara nyanyi di masa mudanya. Suara emasnya merdu mengalun tandem dengan suara peserta didiknya saat berlatih. Ia tak hanya mengajari teknik vokal dan menyanyi kepada murid-muridnya. Ia menanamkan prinsip bahwa mengikuti lomba bukanlah untuk mencari juara. Ia mendorong murid-muridnya tekun berlatih demi menampilkan yang terbaik. Menjadi juara adalah bonus yang setelah memberikan penampilan terbaik. Si guru ini rupa-rupanya beraliran seperti Malcolm Gladwell ya?

“Ingat Widya, menang tak boleh sombong, kalah tak boleh nangis,” demikian pesan suamiku bagai memberikan mantra kepada anakku. Tak hanya guru nyanyinya yang memberi nasihat kepada anakku. Meskipun anakku jarang bertemu dengan bapaknya yang bekerja di kota lain, mereka berdua sangat dekat. Setidaknya tiap dua hari sekali mereka asyik bercanda dan ngobrol di telepon. Sering anakku menantang bapaknya bermain kartu atau monopoli via telepon (ya, dia memainkan bagiannya dan bapaknya). Saat bermain berdua, bapaknya tak selalu ngalah, supaya anakku sesekali mengalami kekalahan. Ini menjadi latihan anakku untuk bersikap ksatria menerima kekalahan.

Salah satu juri di lomba yang kemarin juga memberikan nasihat. Sebelum memulai lomba, ia mengajak semua peserta naik ke panggung, menyanyi bersama, dan saling bersalaman sambil mengucapkan “selamat berjuang” satu sama lain. Ia mengingatkan anak-anak untuk bersaing dengan sehat. Aku juga mengajak anakku bersaing sehat, misalnya tetap membagi informasi tentang lomba dengan teman, yang saat lomba adalah saingannya.

Aku mendukung berbagai nasihat dari banyak orang untuk anakku. Justru aku berterima kasih, karena itu meringankan tugasku. Aku merasa kadang anakku sulit mengikuti nasihatku. Mungkin karena sejak aku berhenti bekerja dan menjadi full time mother saat ia berusia dua tahun, aku selalu bersamanya 24jam per hari. Bisa kumaklumi jika dia bosan mendengar segala macam nasihat mamanya. Untuk itu, aku memberinya banyak kesempatan bergaul dengan orang dewasa lain, termasuk untuk mendapatkan nasihat. Ketika nasihat orang lain sama dengan nasihat mamanya, anakku cenderung bersedia mendengarkan dan melakukannya. Yang perlu kulakukan adalah mengingatkannya akan nasihat-nasihat itu.

Kini anakku mulai berprestasi dalam menyanyi. Kubiarkan dia menyanyi berjingkrakan di atas kasur. Ia semangat ikut latihan menari seminggu sekali. Sambil mendengarkan lagu, ia menari-nari di depan cermin. Ia hobi membaca. Ia mudah bergaul. Ia mulai bisa renang. Berbagai keterampilan dan kemampuan baru yang dimilikinya perlahan memberikan tambahan percaya diri kepadanya. Ia dengan senang hati giat berlatih dan menyiapkan dirinya sebaik-baiknya jauh hari sebelum pentas. Prestasi akademik? Juga bagus karena dia menyukai semua pelajarannya.

Kubayangkan anakku akan disebut orang sebagai Leonardo da Vinci versi perempuan. Hehehe… Iya, aku tak boleh mendikte pilihan hidupnya. Anakku bukan fotokopiku. Pada saatnya nanti, ia akan mampu memilih yang terbaik baginya. Ia akan meraih prestasi luar biasa. Menjadi kebanggaan dan kebahagiaan bagiku saat menyaksikannya.(R)

(nyoman selem alias rarasati alias wrenges widjoraras)

#LombaBlogNUB