Belajar Dipimpin, Memimpin, dan Mencetak Pemimpin dari Bunda

Oleh Syarfina S. Malem 21 Oct 2013

Sejak kecil, saya sering menjadi saksi kelahiran seorang bayi. Meski hanya mendengar tangisan pertamanya dari luar ruangan bersalin, saya selalu terkesima, tersenyum sendiri, lalu berlari mencari ayah dan berkata, “Yah, dedek bayinya udah lahir… ” seolah merasakan kehadiran adik sendiri.

Ya. Bunda saya seorang bidan yang rela dijemput kesana kemari (turun ke desa-desa) untuk menolong persalinan di rumah yang bersangkutan. Sering ketika saya bangun tidur, ayah yang membuatkan saya susu dan menyiapkan sarapan pagi. Bunda sudah pergi ketika fajar dan belum kembali karena tugasnya menolong persalinan belum selesai. Baru di tahun 2001, karena kondisi keamanan di Aceh yang sedang tidak kondusif serta bidan desa juga telah banyak, bunda kemudian memutuskan menerima pasien di rumah saja. Salah satu kamar di rumah mungil kami harus rela dijadikan tempat praktek.

Mungkin karena itulah saya sangat menyukai bayi. Tidak terbayang sama sekali sebentar lagi saya akan memiliki bayi sendiri. Dulu, bunda tidak akan mengizinkan saya masuk hingga bayi sudah dimandikan, sudah wangi, ibunya sudah segar, keluarganya sudah ceria, dan pasien sudah bisa dikunjungi. Selanjutnya bunda akan memanggil saya yang sudah tidak sabaran melihat bayi. Mencium pipinya lalu mengenalkam diri, “Hai adik manis, kenalkan ini kak Fina, kita berteman ya?” seolah bayi mengerti, dia pun menggerak-gerakkan tangannya dibalik kain yg membaluti tubuhnya.

Benar-benar unforgetable. Begitu polosnya saya berbicara dengan bayi sampai-sampai keluarga pasien ikut tertawa mendengarnya. Sekarang saya baru tahu, di momen itu justru bunda sedang memberikan saya pelajaran langsung tentang mencintai sepenuh hati. Menghormati orang lain meski dia bukan keluarga kita. Menjadi kakak yang baik untuk adik-adik saya kelak.

Bunda saya memang wanita karir, menjadi pegawai negeri artinya siap mengabdi. Namun kesibukannya bekerja tak pernah membuat ia lupa akan kewajibannya sebagai ibu. Memasuki usia empat tahun, bunda sudah mulai ketat dengan ajakan shalat, mengaji, dan puasa. Di bantu ayah, bunda menargetkan saya sudah harus bisa baca tulis sebelum masuk SD. Dan hasilnya sempurna, kelas 1 SD saya sudah bisa baca, karena saat di rumah saya sering latihan baca dari koran-koran dan majalah yang dibeli ayah. Namun tak urung, prestasi itu membuat saya bosan di sekolah. Bu guru selalu saja mengajarkan mengeja, sedangkan saya sudah bisa baca. Karena bosan, saya pun sering menulis sendiri kekesalan itu di buku coretan atau membaca cerita-cerita di buku Bahasa Indonesia hingga tamat tanpa sepengetahuan guru.

Tak di sangka, orang tua saya ternyata sedang mencari bakat dan minat saya, agar potensi itu segera bisa dikembangkan sejak dini. Melihat saya suka membaca, saya dibelikan majalah “Anak Sholeh” dan “BOBO” yang sedang tren di era itu. Keranjingan membaca membuat saya kemudian suka menulis. Ayah sering memancing saya dengan satu kalimat, kemudian saya harus menyambung cerita dari kalimat itu terus hingga tamat. Nah kalau sudah selesai, saya akan bacakan di depan bunda ketika bunda sudah pulang kerja. Tidak mudah membuat bunda mendengar cerita saya, beliau memberi syarat akan mendengar jika saya mau makan sayur dan ikan (karena saya hanya suka makan nasi dengan telur ceplok plus kecap).

“Makan ikan yang banyak, Nak. Kalau makan kepalanya,kita bisa jadi pemimpin, kalau makan tengahnya, bisa jadi sekretaris, kalau makan ekornya, bisa jadi bendahara.” Saya mengenang kata-kata Bunda di satu waktu makan siang.

“Kalau gitu kakak (sebutan untuk diri saya) mau makan kepala ikan aja biar bisa jadi ketua kelas.”  Tangkas saya semangat.

Ah, Bunda selalu saja bisa masuk ke dunia anak-anak, bukan malah memaksa anaknya memahami dunia orang dewasa. Itu yang selayaknya harus dipahami setiap ibu, bahwa mereka pernah merasai masa kanak-kanak tapi anak-anak belum mengenal dunia dewasa.

Saya merasa perjuangan bunda tidak sia-sia, dan saya bangga padanya. Kelas 6 SD saya terpilih jadi ketua kelas, saya aktif mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah dan ekstrakurikuler. Dan di tahun yang sama, puisi saya di muat di majalah BOBO. Saya dapat hadiah crayon dari majalah BOBO, mendapat hadiah buku dari wali kelas karena melaksanakan tugas ketua kelas dengan baik selama wali kelas berhalang hadir, dan mendapat hadiah piano kecil dari bunda karena menjadi juara kelas.

gaya jadul saya masa kecil

Seiring berjalannya waktu, saya sepenuhnya tahu, bahwa saya bisa jadi ketua kelas bukanlah hanya karena makan kepala ikan, tapi karena bunda dan ayah telah jauh-jauh hari mempersiapkan diri saya agar kelak bisa menjadi pemimpin bijak, minimal untuk diri sendiri dan kemudian bermanfaat untuk orang lain.

Sekarang, di saat saya di izinkan Allah akan menjadi calon ibu, insya Allah, saya sadar tugas seorang ibu tidaklah ringan. Awal mula mendidik bayi bukanlah ketika ia lahir, tapi sejak dalam kandungan, peran ibu sangat dibutuhkan. Anak-anak kita nantinya selayaknya dicetak tidak hanya sekedar mampu merangkul dunia, tapi juga menjunjung akhirat. Ini ada beberapa metode yang saya dapatkan dari membaca buku-buku parenting dan selanjutnya saya aplikasikan untuk membentuk calon pemimpin kecil bangsa yang mahir dan juga amanah:

1. Metode Membaca Al-Quran. 

Saya yakin Al-Qur’an yang biasa dibacakan setiap hari akan memberikan efek psikologis bagi ibu dan bayi. Ketika bayi menikmati lantunan ayat suci Al-Qur’an, dia akan mendapat ketenangan dan rangsangan edukasi yang baik. Cara lainnya, saya biasanya memutarkan MP3 bacaan Al-Qur’an, dan didekatkan ke perut, tidak lupa memilih volume dan bacaan yang pelan agar bayi nyaman saat mendengarnya.

2. Metode Doa.

Saya mengajak si kecil berdoa bersama-sama setiap ada kesempatan. Ketika membaca doa sambil dengan rabaan dan sentuhan lembut di perut.

3. Metode Bercerita.

Saya bercerita tentang Nabi dan Rasul dengan memilih bahasa yang ringan. Sembari berharap anak saya kelak bisa meneladani sifat-sifat para anbiya’

4. Metode Silaturrahim.

Sering mengikuti pengajian, mengunjungi kerabat, dan acara-acara bermanfaat lainnya, agar calon bayi merasakan keceriaan. Namun usahakan menghindari perbincangan yang tidak baik dan tidak mendidik. Saya juga kadang memilih suasana yang sehat, jika banyak bapak-bapak perokok di sekitarnya maka saya usahakan menjauh sedikit demi sedikit.

Selain itu, sebagai ibu hamil, saya juga dituntut menjaga nutrisi agar janin sehat. Pada Trisemester I, saya benar-benar harus memperhatikan gizi seimbang, karena disaat itulah modal tumbuh optimalnya sang bang bayi. Di trisemester II dan III, laju pertumbuhan janin akan berjalan cepat, maka saya juga tetap harus memperhatikan lebih pada zat gizi serta agar memperoleh energi yang cukup. Bunda menyarankan saya minum susu SGM Bunda, produk PT. Sari Husada, setiap hari. Susu ini mengandung nutrisi lengkap untu ibu hamil: energi 115 Kkal, Lemak 15 kkal (asalm linoleat omega 6 90mg), Protein 6g, Karbohidrat 20g, Natrium 80mg, Kalium 240mg, DHA 15mg, kolin 27mg, Biotin 6mcg, Klorida 140mg, Kalsium 360mg/saji, Fosfor 186mg/saji,Vit D3 105 IU/saji, Zat Besi 15.9 mg/saji, Asam Folat 471 mcg/saji. Awalnya, saya seperti bukan minum susu. Susunya rasa jeruk seperti jus, cocok untuk ibu hamil yang tidak suka susu. Rasanya enak dan wangi. Disajikan dingin juga nikmat. :)

Bunda tetap setia menuntun dan mengarahkan saya untuk mampu mencetak pemimpin kecil berikutnya yang sehat dan cerdas. Dan tentu saja bekal saya tidak hanya sampai disitu, perjalanan masih panjang. Saya akan terus berusaha belajar bagaimana mendidik dan mengayomi anak-anak agar menjadi insan yang berakhlak mulia.

Pernah saat kecil saya bertanya, “Emang bisa perempuan jadi pemimpin?”

“Bisa donk! Kakak dirumah aja udah jadi pemimpin, anak pertama tugasnya kan memimpin adik-adiknya. Mempimpin bukan berarti bos loh, tapi menyayangi, mendoakan, dan terus berbuat baik sama adik.” Jawab Bunda sambil menjahit sarung bantal untuk calon adik saya.

Saya (4 th) dan adik saya, Zaidan (1,5 th)

Dan bunda tak hanya sekedar bicara, saat ini bunda menjabat sebagai ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) cabang kabupaten Aceh timur, beliau membuktikan bahwa perempuan juga bisa memimpin. Bunda mengajarkan saya bagaimana bersikap saat dipimpin, memimpin, dan mencetak calon pemimpin.

Bahkan hingga saat ini, saat suami saya sedang melanjutkan S2 nya di Tunisia dan dengan beberapa alasan saya tidak bisa ikut, bunda setia menemani saya USG, mengontrol makanan saya, menyemangati dan menguatkan saya. Beliau tidak hanya berperan untuk pemimpin kecilnya yang sebentar lagi akan menjadi ibu, namun juga berperan untuk calon pemimpin kecil anaknya.

Bunda dan Saya (sekarang)

Saya bersyukur dilahirkan dari rahim seorang ibu yang luar biasa, sebagaimana saya juga berharap bisa menjadi ibu yang hebat untuk anak-anak saya kelak.

Terima kasih Bunda ^_^

Tulisan ini diikutsertakan dalam #LombaBlogNUB  “Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil”. Mari saling berbagi dan menginspirasi.