Cinta Tak Bertepi untuk Pemimpin Masa Depan

Oleh Winny Widyawati 21 Sep 2013

I. Wanita dan Kecantikan

Tulisan ini dibuat pada saat kontes kecantikan wanita tingkat dunia Miss World 2013 sedang dilangsungkan di Bali Indonesia. Saat dimana seluruh mata dunia tertuju pada sosok-sosok menawan yang dimaklumatkan oleh segelintir fihak sebagai simbol kecantikan wanita di planet bumi ini.

Tak terbantahkan bahwa memang kata kecantikan telah lama disematkan pada kaum hawa. Segala sifat yang melekat kepada mereka segenapnya dianggap merepresentasikan keindahan. Tak heran jika segala symbol keindahan dihadiahkan kepada para pemilik kelembutan ini.

Bicara tentang kecantikan saya teringat sebuah tulisan seorang ulama pemilik pesantren Nurul Haramain yang sekaligus juga ketua forum kerukunan antar umat beragama di Lombok Barat, Hasanain Juaini yang menceritakan tentang perjalanan beliau ke India untuk menghadiri undangan dari penyandang dana Chennai Conference for Transformative Leader dan Global Green Economic sebagai salah satu dari 20 undangan terkait pernghargaan yang sebelumnya beliau terima yaitu Raymon Mag Saysay 2011 dari Pemerintah Philipina.

Dalam tulisan itu ada sebuah paragraf yang menggelitik hati saya, yakni saat beliau ditanyai oleh beberapa santrinya sepulang beliau dari negeri Bharata tersebut.

“Tuan Guru, Apakah wanita-wanita India itu benar cantik-cantik seperti yang terlihat di film-film” ?.

Sang Tuan Guru tersenyum, (Tuan guru adalah julukan atau panggilan kehormatan untuk orang yang dianggap berilmu / ulama di wilayah Lombok dan sekitarnya) dan jawaban beliau :

“Tidak berguna menjadi wanita yang cantik jika tak berilmu dan tak bisa menempatkan kemuliaannya sebagai wanita”.

Jawaban itu tak saja membuat murid-murid Tuan Guru terpana, namun terlebih-lebih saya yang membaca kisah itu di bentang ribuan mil dan ratusan jam dari tempat mereka berbincang saat itu. Kecantikan wanita memang sejatinya anugrah Tuhan yang patut disyukuri, tapi kecantikan bukan prestasi, yang pantas untuk dilombakan atau dipertandingkan, dimana akan ada yang menang dan kalah karenanya.

“Jika sudah merasa dan mendapat anugerah wajah yang cantik dan badan yang bagus ya syukuri saja. Itu sudah cukup. Tidak lantas dieksploitas dan diagung-agungkan, karena sesungguhnya kecantikan manusia tidak ada apa-apanya jika ia tidak berilmu alias kosong” (Hasanain Juaini).

Jadi, kontes-kontes ratu kecantikan dimanapun meski mengatas namakan pemuliaan gender atau bahkan dibalut dengan kemasan syari’at sekalipun, sesungguhnya merupakan hal paling bodoh yang pernah dilakukan umat manusia di persada dunia. Mereka menyesatkan banyak orang dalam memaknai kecantikan. Disadari atau tidak, perlahan tapi pasti manusia akan berkiblat kepada materi dan kebendaan serta hal-hal yang terkait dengan fisik.

II. Wanita dan Perannya

Jika membaca tokoh-tokoh dunia seperti Bill Gates pendiri Microsoft Corporation, atau Sergey Michaelovic Brin dan Lawrence Edward Page pendiri mesin pencari Google, atau pendiri situs blog WordPress, Matt Mullenweg, atau sang engineer jenius yang membanggakan bangsa atas prestasinya di bidang industri kereta api dan pesawat terbang Indonesia dan Jerman Baharudin Jusuf Habibie, yang pencapaian prestasi mereka berdampak sangat luas pada kehidupan orang banyak, saya selalu tertarik untuk melirik ke sisi hidup mereka lainnya yang harum dan beraura cinta, yakni Ibu dan istri mereka.

Masa lalu dan masa kekinian mereka tak lepas dari perempuan-perempuan luar biasa yang berkelindan didalam kehidupannya. Seperti yang tersirat dalam kata-kata yang diucapkan oleh Bapak BJ. Habibie saat mengakhiri sambutan atas penganugerahan gelar Dr HC di Balairung, Kampus UI, Depok, Sabtu (30/1/2010).

“Di balik seorang tokoh, selalu tersembunyi peran dua perempuan, yaitu ibu dan istri,”

Mengapa beliau menggunakan kata “tersembunyi” untuk segala yang telah dipersembahkan oleh kaum wanita kepada kaum lelakinya ? Entahlah, saya tak dapat mewakili Bapak BJ Habibie atas isi pidatonya. Namun, jika boleh kita menelusuri hikmah, kita akan segera menyadari sebuah kenyataan, bukankah pada kaum wanita Tuhan berkenan menyimpan rahimNYA ? tempat dimana bakal manusia baru bersemayam sekian lama hingga kelahirannya ?. Bukankah organ rahim memang tersembunyi letaknya ?. Namun ternyata ketersembunyiannya, bukan bermakna kehampaan, justru sebagai benteng bagi kehidupan yang baru.

Adalah Hasanain Juaini yang terkisah diatas adalah seorang pemilik pesantren khusus putri di Narmada Lombok Barat yang mendapatkan beberapa penghargaan dunia, diantaranya ialah Ramon Magsaysay dari pemerintah Philipina.atas jasa-jasanya melakukan konservasi alam besar-besaran dan berkesinambungan di Lombok Barat, serta menjadi tokoh kerukunan antar umat beragama dan menjadi salah satu kunci pembuka kemajuan kaum wanita di Lombok Barat bahkan hingga senusantara.

Masih teringat kata-katanya di sebuah tayangan acara ‘Kick Andy’ tanggal 2 Maret 2012, saat itu dalam sebuah segmen sang pembawa acara menanyakan kehidupan keluarga dan orang tuanya. Maka kemudian beliau mengisahkan seperti ini, ayahnya adalah seorang pria yang hebat, seorang pendiri pesantren di kampungnya dan juga salah seorang pegawai pemerintahan yang sederhana namun kuat dan sabar dalam menjalani kehidupan bersama ibunya dan 14 (empat belas) putra-putrinya. Mulai dari kemiskinan yang mengepung keluarga kecil mereka hingga musibah yang beruntun datang (misalnya kematian beberapa putranya berturut-turut pada usia mereka yang masih dini) serta kerja keras yang dipersembahkan dalam membina umat di kampungnya.

Ada penggalan cerita yang setiap kuteringat pastilah ku akan merinai air mata. Yaitu pada saat Hasanain Juaini ditanya oleh sang pembawa acara, siapakah orang yang beliau kagumi dalam kehidupannya, lalu beliau menjawab :

”Saya dikarunia ayah yang hebat. Begitu hebatnya ayah saya di mata saya, namun tiada yang melebihinya kecuali Ibu saya. Ibulah orang yang paling hebat dalam hidup saya”.

Lalu mengalirlah dari lisan beliau yang mulia tentang ibunda yang dikasihinya, seorang wanita yang bernama Hj. Jahrah Juaini. Selain memiliki jumlah santri yang lebih banyak, ia pun seorang wanita yang sangat excelence dalam mendidik anak-anak maupun para santrinya. .

Saat bunda Jahrah mulai sakit-sakitan dan semakin dekat pada saat kewafatannya, beliau berpesan kepada ustadz Hasanain agar dapat membangun pesantren khusus putri, untuk membentuk mereka menjadi kaum wanita yang unggul dan tangguh di kemudian hari. Inilah kira-kira penggalan pesannya :

” Anakku Hasanain, jika kau cinta kepada ibumu ini, didiklah para perempuan dengan benar, dengan begitu kau telah bermanfaat untuk bangsamu”

Amboi, seorang wanita sederhana di masa yang telah sekian dekade berlalu, namun sanggup mengucapkan kata-kata seberat itu di detik-detik menjelang wafatnya. Tak terbayangkan olehku, sedahsyat apa visi hidupnya.

Di kemudian hari putranya tersebut berhasil mewujudkan impian sang Ibunda. Hasanain Juaini berhasil mendirikan kembali pesantren diantara puing yang diwariskan ayahandanya, dengan misi memuliakan kaum wanita dan membuka jalan bagi mereka untuk turut terlibat dalam membangun dan memajukan bangsanya. Sebuah cita-cita mulia yang telah terlampaui kini.

Wanita ini dalam 15 tahun deritanya menanggung penyakit stroke, telah membuat sang suami, ayahanda dari Hasanain Juaini tetap setia menemaninya. Bahkan meskipun dirinya telah mempersilakan suami yang dicintai dan dijunjungnya untuk menikah lagi karena keterbatasannya kini telah membuatnya tak bisa lagi menunaikan tugasnya sebagai istri. Namun apa jawaban yang diberikan oleh sang suami :

“Bagaimana aku bisa meninggalkanmu untuk wanita lain dalam keadaanmu seperti ini, sedang disaat kau sehat pun tak terbetik sedikitpun untuk mengkhianatimu. Kau dapat menyaksikan dan membuktikan, bahwa engkau tidak pernah salah memilih lelaki ini menjadi pendamping hidupmu..”

Menitis air mataku, dan dalam renungku, saya kemudian menyadari bahwa tak terbantahkan, wanita ternyata memiliki pengaruh teramat besar. bahkan meskipun ia tentang soal kesetiaan suaminya. Dan sayapun meyakini,bahwa tiadalah apa yang didekap suami tercinta Jahrah Juaini ini, pastilah dari apa yang telah diwarisinya dari orang tuanya, terutama ibundanya.

Gambar

III. Wanita dan Peradaban

“Al-ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq“,

Ibu adalah sekolah yang utama, apabila engkau mempersiapkannya, maka engkau telah mempersiapkan generasi yang terbaik.

Kata-kata ini selalu terkenang dalam ingatan saya bahkan sejak saya menerimanya sebagai seuntai kalimat yang harus dihafal saat masih belajar mengaji di surau kami dahulu.

“Sebaik-baik wanita adalah wanita yang mempersiapkan dirinya untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya bahkan bagi anak manapun yang berada dalam pengasuhannya”

Nyata, itulah inti dari pertanyaan tak terjawab saya dahulu tentang wanita. Saat mata saya tersilap mengira wanita bisa berharga jika bagus rupa dan bentuk tubuhnya nya saja. Bahwa rupanya ternyata tak peduli meski ia serupawan dewi Afrodit, atau tak hirau meski ia sepandai Judith Polgar, tidaklah wanita akan sempurna kewanitaannya kecuali apabila ia mempersiapkan dirinya untuk menjadi seorang ibu yang baik bagi putra-putrinya.

Wanita tak cukup hanya menjadi sosok yang elok rupawan, tak genap hanya menjadi figur yang lemah lembut nan menggemaskan, namun akan sesuailah ia dengan fitrahnya apabila menjadi pribadi yang sanggup memikul beban seorang ibu.

Apa yang dapat kita katakan pabila berbicara tentang seorang ibu ? Ibulah tempat darimana anak-anak menemukan jalan kehidupannya. Ibu takkan rela memberi melainkan yang terbaik untuk buah hatinya. Karena memang kepada Ibu Tuhan menitipkan rahimNYA sebagai tempat tumbuh hamba-hamba kecilNYA, dan DiA tak meletakannya begitu saja kecuali disertakanNYA pula cintaNYA.

Dari sanalah rupanya sinar terang itu berpijar. Ibu yang memahami tugasnya mengetahui nilai hakiki keberadaannya, pasti akan menjalankan perannya dengan benar. Sehingga anak menerima didikan yang baik dan benar langsung dari mata air di telaganya sendiri.

Apa yang paling berharga dan membahagiakan selain dari anak-anak melihat tauladan yang indah itu bukan dari tempat yang jauh ? tauladan itu ternyata datang dari rumahnya sendiri, dari orang tuanya, dari ibunya sendiri ? jawabannya, tak ada.

IV. Pemilik Cinta Tak Bertepi

Demikianlah sejarah telah bercerita dari masa ke masa, bahwa pada akhirnya generasi yang satu akan digantikan generasi yang lain, dan pemimpin yang satu akan bersalin pemimpin yang lain. Semesta akan melihat, generasi mana yang unggul dalam menghadapi dunia dan segala permasalahannya. Dan hanya generasi terbaiklah dalam kepemimpinan yang hebat yang akan menjadi pemenang kehidupan dan memberi sebesar-besar manfaat bagi manusia lainnya.

Di tangan para Ibu yang menyadari perannyalah generasi hebat ini akan terbina dan lahir. Dengan kekuatan cintanya yang tanpa batas ibu sanggup memikul bebannya yang berat. Merekalah ujung tombak pendidikan yang pertama dan utama, barulah lembaga-lembaga pendidikan regional, nasional maupun internasional melengkapinya. Peran ibu tak dapat diabaikan, dari tangan merekalah generasi terbaik itu akan lahir.

Dalam pidato kehormatan penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay di Philipina yang dipersilakan kepadanya, di hadapan para jurnalis dari seluruh dunia, dan disaksikan presiden Philipina, Hasanain Juaini lugas berkata :

“Kepada anak-anakku di Pondok Pesantren Nurul Haramain Putri, Narmada, dan untuk seluruh murid-murid perempuanku di seluruh penjuru tanah air Indonesia, hadiah Ramon Magsaysay ini saya persembahkan untuk kalian semua. Ketahuilah, dalam piagam ini terdapat goresan tangan wanita cerdas berprestasi, Mrs. Carmencita T. Abella, dan goresan tangan Yang Terhormat Presiden Wanita bermental baja, Gloria Macapagal Arroyo. Beliau berdua telah turut membuka jalan bagi kalian untuk maju seperti mereka. Maka teruslah berjuang, dan teriakkanlah kepada dunia bahwa tanpa kalian kaum perempuan, tiang-tiang peradaban akan runtuh”.

Takzimku dihadapan amanah ini, betapa besarnya peran wanita sebagai ibu. Dan betapa banyaknya bekal yang harus dipersiapkan. Namun kita meyakini, dengan cintanya nan tak bertepi, ibu memiliki segalanya demi mengantarkan pemimpin kecilnya tuk sampai menjadi pemimpin di masa depannya.

#LombaBlogNUB

1 Komentar

susantidewi

27 Sep 2013 08:45

Astaghfirullahaladzim... saya menangis membacanya mba Winny. Membuat saya merenung, ternyata masih jauuuuh.... saya menjadi seorang ibu dan istri yg baik. Dan saya merinding membaca pidato Hasanain Juaini di paragraf terakhir tulisan mba Winny. Makasih sudah mau sharing, suatu pencerahan buat saya.